Siapa yang Mengingat Kita, Catatan yang Lupa Buat Teman-teman PPIM (Bagian 8)
Pertemuan
Kecil dan Perjumpaan
Saya
menyepakati janji dengan Bim bertemu di Warkop Cappo di jalan Sultan
Alauddin, Makassar. Jika diingat, ini pertemuan dari waktu yang lama sejak Bim
melepas masa lajangnya. Entahlah, apa yang membuatnya mengajak bertemu. Saya tahu, ia sibuk dengan profesinya yang sekarang, dosen di
Universitas Muslim Indonesia (UMI). Terlebih lagi, karena kini ia tinggal di
Samata, Gowa.
Sejak Anton
bertolak ke Jakarta menempuh studi strata duanya di Universitas Indonesia. Saya,
Bim, dan Awal. Tak pernah lagi bertemu. Hanya berjalin komunikasi di Facebook atau berkirim pesan pendek. Itu pun sangat jarang dan
terbilang sesuai kebutuhan informasi saja.
Wall Group Facebook PPIM pun sepi. Saya menghitung, sudah lima bulan grup
itu tidak menampilkan status para anggotanya. Termasuk saya.
Saya menduga
kalau sepi itu akibat dari kejenuhan. Soalnya, cuma saya, Bim, Anton, Awal, dan
Jamil yang sering mengumbar status. Sebab lainnya, anggota yang masuk di grup boleh jadi tak memiliki hubungan emosional dengan PPIM. Karena pengguna
akun yang diusulkan Bim tak pernah aktif di PPIM. Kemungkinan yang lain,
perilaku online teman-teman sangat jarang.
Ditambah dengan kesibukan masing-masing.
*
Pertemuan
kecil itu berlangusng juga di sisa sore menjelang magrib. Tepatnya, Kamis 11
Oktober 2012. Saya tiba lebih awal di warkop yang disepakati. Saya melongo ke
dalam, menatap meja dimana sebelumnya saya duduk di situ bersama Bim. Meja itu
masih kosong. Saya memerhatikan lebih jeli lagi. Rupanya Bim belum datang.
Kutatap penunjuk waktu di layar hape. Pukul lima yang disepakati memang belum
pas. “Ah, saya terlau cepat datang.” Gumamku. Saya mengirim pesan pendek
perihal posisiku. Bim membalas agar saya masuk saja memesan kopi. Ia masih di
suatu tempat berbincang dengan kawannya.
Sekitar 20
menit saya duduk membaca koran dan meneguk kopi. Akhirnya Bim tiba. Ia mengajak
untuk pindah meja. Lebih ke dalam dekat bartender.
“Maaf, hari
pernikahanmu, saya tidak datang,” sapaku.
“Eis,,sudahlah,” balasnya.
Cerita
selanjutnya, ia membahas soal karier dosennya dan jelajah dunia politik yang
sedang ditanjak. Suatu hari, ia mendampingi salah satu calon Gubernur bersosialisasi di jalan Dg. Tata III. Raut mukanya dilumuri senyum. Saya
berusaha menebak kalau pada saat itu ia tampil sebagai pembicara. Memediasi
komunikasi warga dengan calon Gubernur. Saya keliru. Wajah berseri itu
rupanya bekas peristiwa yang tak diduganya. Dalam sosialisasi itu, ia bertemu
dengan sosok perempuan. Dulunya pelajar yang juga aktif di PPIM, Siska
Ayu dari SMU Negeri 16. Kontan saya ikut kaget dan tersenyum.
Ya, Saya ingat
sosok itu. Rambutnya panjang sebahu, selalu diikat ke atas. Melingkar hingga
ke belakang. Kalau tidak salah, Siska Ayu memiliki lesung pipi, sepasang mata
sipit, gemar memakai tas samping, dan kaos kakinya selutut. Satu-satunya
perempuan dari SMU Negeri 16 yang selalu meluangkan waktu untuk kegiatan PPIM.
Sayang, Bim
tak sempat bertukar nomor kontak.
“Tetapi itu
bukan masalah,” tegas Bim.
*
Seminggu
setelah pertemuan kecil di Warkop Cappo. Kali ini saya yang mengalami
perjumpaan yang tak terencana dengan pelajar yang dulu aktif di PPIM. Siapa dia!
Begini ceritanya:
Selepas magrib,
saya berkunjung ke toko buku Gramedia, lantai dua Mall Ratu Indah. Begitu tiba,
rak pertama yang selalu kutuju adalah, pajangan ragam majalah. Saya ingin mengecek
edisi terbaru majalah favoritku, majalah Sastra Horison. Kali ini saya
beruntung. Majalah itu sudah ada, tetapi selintas kulihat majalah fashion.
Karena segelnya terbuka. Maka saya meraih majalah mahal itu.
Belum berapa
lembar saya mengeja halamannya. tiba-tiba ada yang memberi salam di sampingku.
Saya pun menoleh dan sejenak terpaku. Awalnya kupikir, pengucap salam itu hendak
melintas. Tetapi ia mematung, kutangkap wajahnya. Perempuan berbadan tambun yang
mengenakan jilbab besar. Kira-kira berusia 35 tahun, dugaku.
Saya memicingkan mata memandang lekat wajahnya. Ia tersimpuh, sepertinya saya kenal. Di sampingnya, berdiri sosok lelaki berpakaian serba hitam, badannya atletis. Wajahnya mengingatkan sesuatu. Saya kembali menduga, kalau lelaki itu saya kenal baik.
Saya memicingkan mata memandang lekat wajahnya. Ia tersimpuh, sepertinya saya kenal. Di sampingnya, berdiri sosok lelaki berpakaian serba hitam, badannya atletis. Wajahnya mengingatkan sesuatu. Saya kembali menduga, kalau lelaki itu saya kenal baik.
Aha! Betul sekali. Perempuan yang kutebak sekenanya berusia 35 tahun itu, adalah Yuni dan lelaki di sampingnya bernama Anas. Keduanya siswa SMU Negeri 5 Makassar. Saya hilang kendali. Beberapa detik suasana hening. Pengunjung lain di toko buku itu rasanya seperti semut yang lalu lalang. Kecil sekali. Karena saya menangkap, kalau kami bertigalah yang paling besar saat itu.
“Sepuluh
tahun, baru kita ketemu lagi,” saya memulai pembicaraan.
“Ha! Sepuluh
tahun!” Yuni kaget.
“Iya, kita terpisah
tahun 2004!”
Anas masih
diam.
“Delapan
tahun. Bukan sepuluh tahun.” Yuni mencoba menghitung.
“Iya. Delapan
tahun” Anas membenarkan.
Kami bertiga
tersenyum. Kurasakan suasana berangsur normal. Anas lalu menceritakan
kronologinya:
“Sebenarnya
saya sudah mau pulang, Lalu di pintu keluar saya bertemu Yuni. Ia lalu
mengarahkan saya melihat sosok di pojok rak majalah ini. Lihat di sana, itu
Daus," terang Anas.
“Oh, begitu. Jika tidak salah, dulu badanmu
kurus, Anas. Dan, kau Yuni, badanmu sangat tambun.” Menyambung pembicaraan.
“Iyalah, saat ini anakku sudah dua,” balas
Yuni.
Selanjutnya.
Usai bertukaran nomor kontak, pembicaraan melebar ke mana-mana. Tak lupa Yuni
mengajukan tanya soal wafatnya Arief. Rupanya ia membaca seri tulisan yang saya
posting di grup. Saya pun menjelaskan sesuai yang kuketahui. Anas lalu
memunculkan sosok teman-teman lainnya. Seperti Irex (SMU Negeri 11), Ipa (SMU
Negeri 4), Arya (SMU Negeri 1), dan beberapa teman-teman yang lain yang tak
lagi diingat namanya.
Saya bilang,
kalau teman-teman yang disebutkan itu, sepenunya saya putus komunikasi. Saya
hanya menjaling komunikasi dengan Anton, Awal, dan Bim. Kami berempat pernah
sepakat untuk bertemu dua kali dalam sebulan. Akan tetapi, Anton merantau ke
ibu kota. Jadi, kesepakatan itu batal dimakan waktu.
“Sekarang Kak
Anton berada di mana,” Yuni menyela.
“Dia sekarang
lanjut S2 di UI, Bim jadi dosen di UMI. Lalu, lelaki tambun berkacamata, si
Awal. Ia bekerja di Komisi Penanggulangan Aids,” jawabku menjelaskan.
Perihal
pembicaraan yang lain. Seputar kegiatan masing-masing, tanpa pertanyaan dari
keduanya. Saya menjelaskan aktifitas yang sedang kulakoni, berikut membeberkan
beberapa rencana. Anas dan Yuni kemudian bergantian menjelaskan ritme
kehidupannya, begitu tanya kuajukan. Sekitar sepuluh menit perjumpaan yang tak
terduga itu. Yuni pamit. Ia bersama
suami yang membopong bayinya. Lima menit selanjutnya. Saya masih berbincang
dengan Anas. Ia bercerita banyak soal pekerjaan dan hobi turingnya menunggangi scooter.
*
Anas sosok
pelajar yang dulu kurus. Seragamnya selalu rapi. Kalau berbicara, senyumnya
selalu melebar. Saya mengingatnya, ketika ia ikut serta ke kantor Pemda Maros guna
mengurus keperluan izin outbond di
Bantimurung.
Yuni pernah
menjabat ketua OSIS di sekolahnya. Siska Rini, karibnya, selalu
memanggilnya I Bondeng karena
perawakannya yang bertubuh mungil dengan postur badan yang agak gempal. Saya
ingat, di suatu hari saya dan Bim berkujung ke rumahnya di jalan Sunu.
*
“Ok, saya
pamit Kak Daus,” Anas pun pamit.
“Baik, kapan-kapan kita janjian bertemu,” ucapku.
Saya merasakan
kembali situasi yang tidak normal. Keadaan berbalik. Kali ini, saya merasa seekor
semut yang menyusuri lorong yang penuh dengan buku. Agak lama saya
merasakannya. Hape lalu berdering. Kueja pesan pendek yang
menanyakan keberadaanku.
Saya selalu
benci dengan perpisahan. Apapun situasinya.
Dengan langkah
berat, saya menuju pintu keluar Mall besar itu. Ingatanku menangkap peristiwa
di tahun 2003. Di pintu utama pusat perbelanjaan ini. Rombongan PPIM pernah singgah di aksi pertama guna membacakan seruan penolakan invasi militer AS ke Irak.
Saya selalu
benci dengan perpisahan, apapun situasinya. Tetapi, apa daya. Kita semua sudah membangun jejak hidup masing-masing. Di titik hati terdalam, saya merindukan kalian
semua, anak-anak zaman di PPIM. Sungguh.
*
Makassar, 18
Oktober 2012
Komentar