Perlawanan Sastra: Antara Kejujuran dan Kebohongan
Saya
sepakat kalau karya sastra merupakan bentuk
perlawanan. Sebagaimana ingatan sejarah mencatat pada medio 1960. Taufik
Ismail dengan puisi merekam gerakan mahasiswa yang
melawan pemerintahan Soekarno yang kemudian terangkum dalam buku: Tirani dan
Benteng. Selanjutnya ada Pramoedya Ananta Toer yang seakan menulis ulang sejarah
Indonesia melalui Tetralogi Buru. Lalu Seno Gumira Aji Darma yang memparodikan tirani presiden
Soeharto melalui cerpen Kematian Paman Gober.
Saya
menganggap ketiga karya di atas sebagai perlawanan terhadap kebusukan pada zamannya yang mungkin masih relevan hingga sekarang. Karya itu lahir akibat pertautan pembuat karya dengan realitas. Di dalamnya tentu saja
ada perspektif dan dugaan. Karena itulah perkara teks yang mengunci realitas
dan menuntut pertanggung jawaban pembuat karya pada masyarakat.
Sastra Sebagai Media
Sastra
membutuhkan dua nyawa untuk tetap ada. Yakni kekuatan imajinasi dan kenyataan
yang dilengkapi dengan ukuran-ukuran agar tetap disebut sebagai karya sastra. Menurut
Plato, kenyataan hanya ada dalam ide sedangkan teks yang diaktualkan hanyalah
pantulan dari ide tersebut. Plato menggugurkan pandangan Aristoteles pada
realitas dalam teks kalau misalnya ada ide yang memproyeksikan “Gunung Emas” Karena “Gunung Emas” hanya ada dalam ide dan mustahil menjumpai di alam
nyata.
Kalau
kemudian dasar kreatif penulisan karya sastra ada pada dua nyawa. yang menjadi
lokomotif
sastrawan dalam berkarya, lalu sejauh mana batasan
atas kedua teori ini, dan bagaimana pula pengukuran kadar kesusastraannya, juga bentuk pertanggung jawaban terhadap nilai
sosial yang telah dipinjam.
Sampai
di sini, saya teringat kasus Shalman Rusdy yang dihujat oleh Imam Khomeni
karena novel Satanic Verses mengandung pelecehkan terhadap Nabi
Muhammad SAW. Artinya, tentu ada sejumlah dusta yang terekam dalam teks dan
kedangkalan ide (pengetahuan) dalam karya tersebut, sehingga Imam Khomeni mengeluarkan
fatwa mati kepada penggubah novel
tersebut. Meski Salman Rushdie pernah difasilitasi dalam
sebuah seminar untuk menjelaskan karya tersebut, tapi ia menolak. Lalu di manakah
tanggung jawab pembuat karya?
Dalam sejarah perkembangan kreativitas umat manusia
yang menempuh jalan sastra dalam menulisan kesaksian, perlawanan, ekspresi, dan
propaganda. Adalah suatu bukti kalau sastra adalah media yang paling sederhana
dan digemari. Misalnya, ada sebuah karya yang sangat berbeda dari karya
sastrawan yang sudah terkenal. Karena pembuat karya tersebut melanggar
“aturan” penulisan karya sastra yang mapan. Namun karya itu kemudian
memiliki komunitas pembaca. Terlepas kalau karya itu digolongkan kedalam sastra
pop atau biasa disebut ciklit atau
tenlit yang kadar sastranya sangat kurang.
Bagi penulis pemula yang mencoba menulis karya
sastra berupa cerpen, puisi, dan novel yang merupakan bentuk rangkuman
deskripsi pengalaman dalam menuliskan kesaksian dan ide. Artinya bahwa, sebuah
karya lahir karena ada injeksi semangat berdasarkan data dari dunia nyata untuk
selanjutnya diolah ke dalam struktur teks agar menjadi bacaan yang memungkinkan
pembaca dapat memahami dan pengarang bisa mempertanggungjawabkan secara ide
(gagasan, konsep, ilmiah, rasional, dan filosofis)
Kalau
kemudian menyepakati sebuah karya sastra selalu jujur-jujur saja, lantas
bagaimana kalau kemudian ada seorang penguasa yang dikenal zalim kemudian meminta kepada seseorang yang dikenal pandai meramu kata untuk
dibuatkan puisi yang memuji tentang dirinya
atau mencoba menyembunyikan kezalimannya melaui sebuah karya sastra. Karena
bukankah sastra (puisi) merupakan salah satu media yang sangat efektif dalam
menyampaikan pesan.
Apakah
kejujuran yang dimaksud dalam sastra tidak pada koridor baik dan buruk, moral
dan amoral?
Kalau bukan dalam takaran itu, lantas apa lagi
yang bisa dibanggakan dari sebuah karya sastra.
Mencoba Jujur
Y.B. Mangunwijaya dalam bukunya Sastra
dan Religiusitas (1992) mengingatkan kalau sastra yang baik pada dasarnya
selalu religius. Sifat ini ditandai bukan pada kementahan paradigma akan makna
religiusitas yang sebatas menggunakan kosa kata keagamaan, tapi lebih jauh
dijelaskan kalau religius yang berasal kata latin ‘relego’ yang berarti:
memeriksa kembali, menimbang-nimbang dan merenungkan keberatan hati nurani.
Nah, dari sini dapatlah kita jabarkan fungsi sastra
di tengah masyarakat yang tidak hanya menggunakan bahasa sebagai penyampai
informasi yang jujur. Karena kita ketahui kalau bahasa selalu mengalami
perkembangan yang berakibat “kelunturan” pada suatu karya yang menggunakan
bahasa tersebut. Sebagai contoh karya sastra kuno seperti Mahabrata tidak
lagi hidup sebagai sastra, tetapi sebagai filsafat (Budi Darma : 1995). Selain
itu bisa juga dikatakan kalau sastra adalah sebuah rekaman lokalitas pada
periode tertentu.
Karena sastrawan
berada pada posisi penerjemah
realitas yang ia bakukan ke dalam teks, maka ia secara penuh bertindak mengarahkan
jalannya cerita yang akan dibangun. Mengingat secara sadar kalau di luar sana,
ada pembaca selaku penafsir lain atas realitas yang dimaksud dalam karya. Emha Ainun Nadjib mengingatkan kalau persoalan
mendasar kesusastraan adalah apakah karya itu ‘bagus’ atau ‘tidak’
menurut apa atau siapa.
Di ruang inilah semua sejarah sastra mengalami guncangan, pergeseran, timbul
tenggelam, peralihan rupa dan keyakinan.
Akhirnya segala ruang dialog dan medan kerja kreatifitas
para pencipta karya sastra tidak dipasung oleh “rezim estetika”, karena
sesungguhnya tak ada kompetisi dalam mencipta sebuah karya untuk dikatakan baik
atau tidak. Setiap sastrawan bergerak atas kemerdekaan kreatifitas pengetahuan dalam
mencipta sehingga yang terjadi adalah ruang dialog untuk saling mengingatkan
dan mengapresiasi. Hal ini sangat dimungkinkan sepanjang sastrawan tidak sekadar
menggunakan nyawa khayalan dan realitas dalam berkarya yang
sifatnya bombastis semata. Tapi tetap menjaga karya sebagai cerminan sikap melihat
realitas sosial yang ditekskan. Dan tentu saja bertanggung jawab supaya dirinya
bukan pembohong kreatif yang negatif.
***
Makassar,
26 Februari 2013 (Revisi)
Dimuat di Fajar, 10 Maret 2013
Dimuat di Fajar, 10 Maret 2013
Komentar