Pakaian Dalam Itu, Wajah Kita Semua
![]() |
Foto: M Farid W Makkulau |
Sosok
itu muncul dari kerumunan penonton, mukanya tertutup dengan cawat berwarna
putih yang nyaris sama dengan rambutnya yang beruban. Tak lama kemudian ia
melepasnya. Beberapa penonton bertepuk tangan, selebihnya terpaku. Ratusan
pasang mata fokus mengintai gerak lelaki tua itu.
Tak
lama berselang, sosok perempuan tampil menari, memainkan gerak dengan
selendang. Seolah bersambung, muncul lagi lelaki memainkan ritme lain. Ia
membawa sesuatu. Ranting bunga kaktus yang telah dibuat serupa kalung. Salah
satunya ia kalungkan di leher penonton. Ia pun menari dengan lumuran butiran
beras setiap geraknya. Penonton makin hanyut.
Pristiwa
berikutnya, giliran seorang lelaki tambun berkaos hitam muncul. Ia juga membawa
sesuatu. Konsentrasi penonton ambigu ketika barang bawaannya itu perlahan
menguak. Sebagian tertawa saat pementas itu melemparkan celana dalam ke tubuh
pementas lainnya. Namun lebih banyak yang memalingkan wajah untuk sementera.
Meski dalam pementasan ini penonton sudah dituntun dengan narasi verbal. Tetap saja
belum bisa menerima teror itu.
Teror
terus berlanjut, dimulai ketika seorang penonton terlibat. Ia perempuan. Bangkit
untuk menari dan tertanam ke sebuah lakon. Tepatnya, ia melengkapi tema yang
tengah berlangsung. Sejenak menghilang di balik kamar, lalu muncul kembali dengan
meringis. Ia mungkin menyesal. Karena pementas yang tadi mengajaknya telah
berhasil merebut pakaian dalamnya (bra) Teror makin menjadi. Penonton miris,
dan musik terus bergemuruh.
***
![]() |
Foto: Ulla |
Asdar
Muis RMS yang menyebar teror itu perlahan menyeimbangkan emosi penonton.
“Lihatah pakaian dalam
itu, tak lagi dibutuhkan setelah sekian lama menjaga harga diri kita. Kini
nasibnya berakhir sebagai lap untuk membersihkan kompor, lantai, dan apa saja
yang dianggap kotor.”
Wajah
yang berpaling itu mulai fokus kembali.
“Pakaian dalam itu
layaknya para pahlawan yang telah kita hapus di benak kita” Asdar Muis RMS makin menggelegar.
“Kita lupa, dan memang
sengaja melupakan orang-orang yang telah berjasa buat kita”
“Kita adalah pakaian
dalam itu”
“Kita sibuk menolak
kongres Lady Gaga dengan kekhawatiran yang akut. Namun mata kita tak pernah
nanar memelototi candoleng-doleng”
Asdar
Muis RMS berlalu dan menanggalkan celananya untuk penonton.
***
Adegan
di atas adalah pementasan komunitas seni yang didirikan oleh Asdar Muis RMS tahun
2001 silam. Setelah 11 tahun, barulah ia berlabuh di kampung halamannya, Pangkep.
Tepatnya di Warung PKK Matampa (26/9/2012) yang disaksikan ratusan pasang mata
dari guru dan siswa. Pagelaran ini sungguh sebagai pelepas dahaga, mengingat
minimnya pagelaran seni di kota tiga dimensi ini.
Selain
adegan teatrikal, pada pagelaran ini juga menampilkan kepiawaian Ahmad Ansari
(Pak Anca) memaingkan ide di atas kanvas. Maka lahirlah dua bua lukisan yang
bertajuk: ‘Duka Bisssu’ dan ‘Ekspresi Sapi Berbunyi’.
Totalitas
Asdar Muis RMS dalam memainkan lakon sunggulah tidak biasa. Apa saja dijadikan
properti untuk menyambung pembacaan penonton. Ia tak berhenti pada pembacaan
esai semata. Asdar Muis RMS merasa perlu untuk menjadikan tubuhnya sebagai
bagian pementas. Penonton pun merasa kaget sebelum bangga ketika Asdar Muis RMS
memotong kumis, janggot, dan rambutnya untuk merealitaskan tema esai yang
sedang dibacakan. Ia berteriak dengan bahasa kaumnya (lokal).
“Disekitar kita terlalu
banyak yang dikatte (Bugis: potong)”
“Katte itu, katte ini,
anggaranpun dikatte”
Beberapa
guru salaing berbisik: ‘betul itu, gaji
kita sering dikatte’
Emosi
penonton semakin larut ketika essai bertema ‘Ibu’ diteriakkan. Tak sedikit yang
menitikkan air mata. Pembacaan esai ini seakan menghadirkan cermin waktu di pangkuan
masing-masing penonton.
“Berkarung-karung uang
tak dapat menggantikan posisi Ibu”
Kira-kira
analogi yang demikianlah yang didendangkan. Memaksa kita untuk menemukan sosok
ibu beserta laku yang pernah diperbuat terhadapnya. Adakah kita telah berbakti
sebenar-benarnya bakti kepada sosok telah melahirkan wujud kita. Penonton sepi
dalam renungannya.
***
Makassar,
27 September 2012
Komentar
wah pasti seru yah pementasannya,..
Asdar Muis terlihat masih dengan SEPATU TUHAN nya :D