Menanti Pemimpin Garis Pinggir

Sumber gambar di sini

Tegasnya, garis pinggir itu keberpihakan bagi mereka yang selama ini dimiskinkan oleh sistem. Itulah pemimpin dari garis pinggir, dan kita menanti itu.


Hari yang dinanti sudah semakin dekat. Selasa 22 Januari masyarakat Sulsel kembali merayakan perhelatan akbar guna menyalurkan suara kepada pasangan kandidat yang  diharapkan membawa perubahan yang berpihak pada semua golongan.

Ya, sejak dimulai pertama kali Pilgub Sulsel tahun 2007 lalu, harapan akan terbukanya keran kebebasan yang merata bagi masyarakat sipil untuk menentukan pilihannya dirasa sangat membantu. Betapa tidak, masyarakat sudah bisa melacak akar sejarah sang sosok pemimpin yang akan maju dalam pemilihan.

Secara partisipatif masyarakat sipil akan membentuk kelompok-kelompok kecil untuk menjelaskan identitas pilihan mereka. Hal ini bisa dilihat di kota maupun di desa, kelompok ini akan mengorganisir sendiri dukungan yang akan diberikan kepada pasangan kandidat yang didukung, dan mereka siap berbeda. Hal ini menunjukkan kuatnya pengaruh tokoh masyarakat yang dijadikan pemimpin dalam komunitas tersebut. 

Pada tingkat yang lebih kritis, kelompok yang sudah terbentuk menolak hubungan kaki tangan dari calon yang akan mereka dukung. Karena mereka ingin berhubungan langsung dengan kandidat. Realitas ini menunujukkan keterbukaan informasi dan kesadaran masyarakat dalam mengisi kebebasan politik mereka. Namun sekaligus sangat rentan untuk diarahkan menuju konflik horisontal. Atas nama fanatisme, sesama kelompok pendukung dari calon yang berbeda akan saling menujukkan superioritas kelompok atas klaim wilayah. Meski kelompok-kelompok ini masih satu lokasi.

Di sisi lain, terorganisirnya masyarakat sipil adalah kekuatan yang bisa melawan arus modal dalam pemilihan (money politic). Hal ini hanya bisa diredam dengan kesadaran kritis warga. Karena mereka sudah paham kalau tujuan perhelatan pemilihan kepala daerah bukanlah menunggu santunan instan para calon.

Namun intelektual partai atau para pemikir dalam tim sukses sangat mafhum dan sepakat akan keampuhan kelompok-kelompok masyarakat sebagai basis suara. Kelompok ini akan disokong dengan sejumlah atribut identitas guna menegaskan dukungan

Dan yang seksi adalah pengecatan pintu gerbang lorong pemukiman. Meski di dalam pemukiman tersebut, suara belum tentu seragam. Namun siapa yang kuasa, maka dialah yang berhak akan penguasaan identitas pemukiman. Sehingga dengan demikian, jika kebebasan berkumpul ini tidak didasari dengan sikap toleransi antar warga. Akibatnya bisa fatal dan berdampak sistemik sejarah dalam ingatan masyarakat untuk kelangsungan pemilihan-pemilihan berikutnya.

Narasi Kepemimpinan 

Sejarah kepemimpinan di Sulawesi Selatan adalah sejarah dari pusat. Hal itu tak dapat dipungkiri mengingat narasi yang ada. Di masa lalu kerajaan menjadi pusat dari semua itu. Dari dalam istanalah dimulai segala mimpi dan aturan yang diperuntukkan bagi masyarakat. Dalam lalu lintas kepemimpinan itu, semua syarat sudah diamini. Tak ada lagi syarat lain. Karena turunan kepemimpinan semuanya bermuara dari balik singgasana. Namun di sana ada kualitas yang terjaga, integritas dan sikap kuat seseorang yang didaulat jadi pemimpin. Ia memang lahir dari rahim istana, tapi sekaligus berasal dari titik paling pinggir dari kultur masyarakat (baca: mewakili kaumnya).

Di awal kemerdekaan ketika tahapan pertama pembangunan transisi politik garis pusat dibangun. Sulsel dan daerah-daerah di dalamnya (Kabupaten/Kota) merupakan turunan garis dari Pusat (Jakarta). Garis lurus membentang tanpa halangan untuk menjangkau daerah terjauh. Tahapan kedua terjadi setelah reformasi. Pusat-pusat itu kemudian dileburkan ke dalam satu pusat tersendiri. Namun pada saat bersamaan membuka pintu lebar bagi berdirinya ruang-ruang pinggir di daerah.

Pada satu sisi, dimulailah era pengingatan kembali akan sejarah ingatan kultur masyarakat. Kerinduan sosok yang berasal dari kaumnya sendiri. Sosok yang tak membuat jarak dari jalur yang dilalui bersama. Karena pada tahapan  pertama, di mana Negara membuat garis pusat  ke daerah yang sesunguhnya telah memotong kultur transisi kepemimpinan dari balik singgsana. Karena akses itu sudah terputus, maka orang-orang yang dulunya lahir dari rahim istana menghadapi dua pilihan. Garis pusat dan garis pinggir.

Sisi lainnya terjadi sebuah pembiaran dari melebarnya garis-garis pusat yang membentuk dirinya dari kekuatan modal dan membangun konektivitas dari sumber pusat. Maka semakin jelaslah pertarungan di daerah untuk merebut suara-suara yang tercecer itu.

Pewaris Kepemimpinan

Sulawesi Selatan merupakan ibu tiri dari semua daerah (Kabupaten/Kota), dan Makassar menjadi rumah singgah dari anak-anak itu. Sekaligus Sulsel dan daerah lainnya adalah pusat atas dirinya sendiri karena telah mewarisi garis pusat dari sumber pusat. Wilayah ini masing-masing merawat garis pinggir untuk membuka pewaris kepemimpinannya. Dan aturannya sudah jelas, siapa yang paling banyak meraih suara, maka dialah pewaris itu.

Ya, pewaris kepemimpinan ada di tangan para pemilih. Bukan lagi di balik singgasana atau sumber pusat. Jika pilihannya sudah seperti ini, maka kita bisa menepis kekuatan modal dengan kekuatan kesadaran. Kalau selama ini garis pusat selalu mendominasi alam bawah sadar pikiran kita, lalu membawanya ke alam utopia yang tak terjamah. Dimana kita selalu ditinggalkan usai perhelatan.

Jika demikian, maka sudah waktunya kita beralih ke garis pinggir. Sebagaimana disebutkan sebelumya, garis pinggir adalah sosok dari kaum kita sendiri, ia berbicara dan bertindak berdasarkan kebutuhan kaumnya. Ia takkan lari kemana-mana, karena asalnya memang dari pinggir. Tapi bagaimana mengenalinya di tengah serbuan garis pusat yang semakin padat.

Dalam transisi politik sekarang ini, memang memungkinkan semua garis terakomodasi. Bahkan garis pusat dan garis pinggir bisa berbaur dalam satu rel sekalipun. Itu memang pilihan di tengah kegalauan mempertahankan ideologi. Selanjuntya garis pusat itu ditandai dengan penetrasi partai sebagai wujud mutakhir dalam pengelompokkan suara masyarakat. Di dalamnya boleh jadi tempat tinggal warisan anak-anak keturunan kerajaan masal lampau. Namun siapa yang bisa menjamin kualitas dan integritas jika menilik sepak terjang partai-partai yang dominan membentangkan garis pusat tersebut.

Lalu sejauh mana garis pinggir itu melawan, tentu dibutuhkan pra kondisi yang harus lahir dari kesiapan masyarakat dalam menjawab kebutuhan akan sosok pemimpin. Pada situasi demikian, kelompok masyarakat yang ada bisa memulai kerja aktif dengan menjawab kebutuhan kelangsungan hidup dan mengidentifikasi pemimpin yang berpihak pada garis pinggir.

Sekali lagi, peranan kelompok masyarakat sangat berperan besar untuk melawan kekuatan modal. Dan hal itu hanya bisa diimbangi dengan penguatan kesadaran. Karena pada dasarnya, masyarakat punya sejarah ingatan akan sosok pemimpin yang diidamkan. Yakni sosok yang lahir dari kaumnya sendiri, berbicara dan bertindak berdasarkan kebutuhan kaumnya. Tegasnya, garis pinggir itu keberpihakan bagi mereka yang selama ini dimiskinkan oleh sistem. Itulah pemimpin dari garis pinggir, dan kita menanti itu.

_

Dimuat di Tribun Timur, 22 Januari 2013



Komentar

Postingan Populer