Teologi Tawuran


Ada banyak pemicu mengapa tawuran di kalangan masyarakat terdidik (mahasiswa) kerap terjadi. Di antarnya, karena ego kelembagaan yang terbagi ke dalam sejumlah fakultas. Bahwa fakultas A, misalnya, jauh lebih superior dibanding fakultas B atau yang lain.

Kemudian dengan pola pikir yang singkat dilakukanlah agresi kekerasan untuk mempertahankan diri (manusia dan paham dasarnya), yang mungkin juga untuk mempertahankan ego kelembagaan tadi.

Menguatnya keidentitasan yang terjal ini membuat kelompok mahasiswa harus membedakan kalau kita bukan mereka. Sehingga rasionalitas kekerasan menjadi sesuatu yang harus ditegakkan untuk membuktikan keidentitasan itu.

Secara holistik, bom pemicu tawuran dapat dilihat pada pola pendidikan yang begitu mengekang dengan segala tetek bengek aturan kampus yang membosankan. Diperparah lagi dengan warisan ingatan senioritas yang terus terpelihara secara kikuk, yakni hubungan senior dengan junior yang sebatas hormat semata dan bukan sebagai panutan yang harus diteladani. Hasil akhirnya, disaat ada pemicu konflik sedikit saja, maka ramai-ramailah turun tanganmengatasnamakan kelompok untuk saling berseteruh sebagai bagian dari akumulasi kekecewaan dan kegelisahan yang dialami dalam kultur akademik sekaligus di lembaga kemahasiswaan.

Membaca Teologi

Realitas yang dihadapi bila ada pihak yang bertikai, maka masing-masing mangatasnamakan kebenaran. Mengingat repotnya mendamaikan kasus yang terjadi di lapangan bila sudah merasa benar sendiri, dan diperunyam lagi dengan adanya korban di antara dua belah pihak yang bertikai.

Olehnya itu, perlu melacak kembali pola kebertuhanan (teologi) yang selama ini dianggap sudah tuntas apabila berakhir di rumah-rumah ibadah atau terjebak pada ritual simbolik semata.

Kata teologi berasal dari Yunani, theos merujuk ke Tuhan dan logos berarti ilmu. Sederhananya, menyangkut pemahaman manusia tentang Tuhan.

Secara umum dapat dikategorikan ke dalam dua pola teologi yang terus berseteruh di masyarakat, lalu dijadikan pandangan dasar atas berbagai masalah. Pertama. teologi konservatif, berupa tradisi kepercayaan turun temurun diwariskan dari leluhur yang dijadikan pandangan hidup dan nilai-nilai sosial. Bagian ini kemudian dicampurbaurkan atau sengaja dicocokkan terhadap pandangan agama. Kedua, teologi liberal atau tepatnya simbol kaum rasionalis dengan diktum pemahaman otentik terhadap Tuhan yang mencakup zat, sifat, dan perbuatan (Husein Herianto, 2000)

Pandangan konservatif bekerja dengan menempatkan sifat Tuhan seperti maha adil,bijak, pengasih, dan penyayang. Doktrin ini dipertahankan dengan posisi Tuhan yang maha berkuasa dan berkehendak, sehingga implikasinya di wilayah sosial berubah menjadi, orang yang jahat bisa saja masuk surga lalu sebaliknya orang yang alim meringkuk di neraka.

Karena baik dan buruk semuanya ciptaan Tuhan dan tidak mungkin Tuhan mengingkari ciptaannya sendiri. Ajaran teologi seperti ini menjadi sangat mudah untuk dimanfaatkan. Maka, tak jarang banyak orang melakukan tindakan apa saja untuk memperkaya diri, seperti korupsi atau memukuli orang seenaknya tanpa beban. Sebab, untuk menebusnya cukup dengan mengucap Asthagfirullah al Azim saja atau membangun rumah ibadah (masjid). Toh, Tuhan juga yang menentukan baik buruknya.

Simpulan akhir dalam memberikan jawaban dan menawarkan solusi terhadap kasus semisal, tawuran, menapikan manusianya sebagai pelaku dalam permasalahan konflik yang terjadi. Sebab tawuran yang terjadi dimaknai sebagai suatu permainan yang sudah diskenariokan Tuhan. Jadi, posisi para pelaku tawuran tak lebih sebagai pemain yang tidak tahu masalah karena itu semua sudah menjadi takdir.

Paham liberal (rasionalis) ini merupakan pola teologi yang lebih menekankan batasan permasalahan pada diri manusia. Apa saja yang menjadi tindak tanduk manusia dalam kesehariannya itu lahir dari manusianya sendiri. Sehingga, untuk menengarai kasus tawuran, solusinya ada pada si pelaku sendiri (manusia). Karena manusianya tidak memahami zat, sifat, dan perbuatan Tuhan. Jadi, agresi terhadap sesama manusia tidak terelakkan.

Jadi, manusia menjadi yang tersudut dan melupakan sebab yang lain di lapangan. Karena sifat Tuhan yang maha pengasih tak terpahami sehingga muncul agresi untuk mempertahankan diri.

Teologi Alternatif

Kedua pola teologi di atas sudah berdalih dengan segala kesimpulan dalam menanggapi dan menawarkan solusi. Tetapi, bagaimana dengan hasil akhirnya, dan bagaimana pula dengan kondisi pola pikir manusia.

Kegiatan kebertuhanan yang selama ini dijalani sangatlah sempit sehingga muncul keterpisahan dalam segala hal. Ketakwaan tak lebih sebagai kesalehan individu dan hubungan sosial merupakan aktifitas lain yang terpisah dari aktifitas keagamaan.

Sebagaimana diketahui bersama, kedua pola teologi yang telah dijabarkan sudah bekerja sepanjang atau mungkin sebaya dengan sejarah hidup manusia. Namun, solusi yang ditawarkan malah kewalahan dengan sendirinya dan konflik horizontal (tawuran) hari ini masih terus terjadi.

Teologi alternatif atau teologi kritis merupakan antitesis. Teologi ini memfokuskan pada upaya menyingkap nama-nama dan sifat Tuhan dalam keseluruhan eksistensi.

Mengingat Tuhan bukan hanya di tempat ibadah saja tetapi harus diimplementasikan ke dalam aktifitas keseharian kita sebagai manusia. Agar hubungan manusia dengan Tuhan bukan hubungan majikan dan budak. Kemudian, hubungan manusia dengan manusia adalah ruang yang harus saling melengkapi. Hal ini dimaksudkan agar derajat kemanusiaan kita tidak jatuh ke titik terendah, karena manusia merupakan ciptaan yang paling mulia di antara ciptaan-Nya.

Sudah waktunya membenahi diri dengan memikirkan ulang pola-pola kebertuhanan yang kita terapkan selama ini di dalam kehidupan bermasyrakat. "Orang yang mukmin bukan sekadar percaya kepada Tuhan, jika tidak ada kesadaran sosialnya, ia masih tergolong kafir," tulis  Asghar Ali Engineer, pemikir Islam modern dari India.
_

Dimuat diTribun Timur 24 November 20011



Komentar

Postingan Populer