Jelajah Malam dengan Kue Putu di Kota Daeng
Jika anda sering jelajah malam mengelilingi kota
Makassar dengan berkendara roda dua atau roda empat, sudah pasti anda pernah
melihat penjual kue Putu. Tapi apakah anda pernah singgah dan mencicipinya?. Jika
belum, ada baiknya anda segera mencobanya.
Beberapa penjual kue tradisional khas Sulawesi Selatan ini salah satunya bisa dijumpai di sudut pasar Toddopuli Raya yang dikelola oleh Hj. Marawiah. Menempati sebuah lapak kecil. Ia mulai berjualan pada pukul empat sore hingga pukul sepuluh malam, dengan dibantu seorang anaknya, Hj. Marawiah mengelola beberapa jenis kue putu yang semuanya memiliki cita rasa khas yang berbeda.
Pertama, Putu soppa yang berarti ditusuk, kue putu jenis ini bentuknya bulat
memanjang berwarna putih yang ditaburi kelapa parut dipermukaannya. Kedua, Putu cangkir yang memiliki bahan dasar tepung ketang, pada umumnya kue
putu ini berwarna cokelat, karena tepung ketangnya dicampur
dengan gula merah yang di dalamnya berisi kelapa parut.
Namun ada juga putu cangkir yang berwarna putih karena tidak
dicampur dengan gula merah. Ketiga,
ialah putu ambon, jenis ini tidak
jauh berbeda dengan putu cangkir baik
dari penggunaan bahan dasarnya maupun bentuknya yang menyerupai cangkiri
(gelas)
terbalik.
Hanya saja isi dalamnya bukan kelapa parut melainkan gula merah. Jenis terakhir adalah putu pesse atau biasa disebut pesse palu yang berarti dipijit atau ditekan ke dalam takaran. Berbeda dengan jenis putu lainnya, putu pesse ini tidak lagi dikukus karena bahannya sudah dimatangkan sebelumnya, yakni beras ketang digoreng dulu sebelum diolah menjadi tepung yang dalam pembuatannya tepung dicampur dengan kelapa parut dan parutan gula merah hingga merata.
Hanya saja isi dalamnya bukan kelapa parut melainkan gula merah. Jenis terakhir adalah putu pesse atau biasa disebut pesse palu yang berarti dipijit atau ditekan ke dalam takaran. Berbeda dengan jenis putu lainnya, putu pesse ini tidak lagi dikukus karena bahannya sudah dimatangkan sebelumnya, yakni beras ketang digoreng dulu sebelum diolah menjadi tepung yang dalam pembuatannya tepung dicampur dengan kelapa parut dan parutan gula merah hingga merata.
_
Sudut lain keberadaan penjual kue putu di Kota Daeng ini bisa dijumpai di Jl. Tamalete
I di pinggir lapangan Perumnas yang berada pas depan gedung PLN Sulselbar. Berbekal
grobak, Dg. Halijah melakoni hidupnya sebagai penjual kue putu sejak sepuluh
tahun yang lalu.
Sama dengan Hj. Marawiah yang juga merupakan sepupunya. Ia pun memulai jualannya pada sore
hari hingga larut malam. Hal itu dipilih dikarenakan prospek penjualan di malam
hari jauh lebih menjanjikan karena Dg. Halijah maupun Hj, Marawiah menghabiskan
rata-rata 15 liter untuk masing-masing putu cangkiri, putu soppa, putu ambon, dan 6
biji kelapa untuk putu pesse.
Dalam penuturan Dg. Halijah, kegiatan menjual kue putu
ini ia lakukan sebagai bentuk perjuangan ekonomi keluarganya. Ia memiliki anak
yang masih sekolah dan jelas membutuhkan biaya. Ia tak memiliki kegiatan ekonomi yang lain. Jadinya, ia
menantang
dinginnya malam kota Makassar dengan menjajakan kue putu. Ia sendiri dibantu oleh anaknya
dalam melakoni pekerjaan yang sudah dikerjakan sejak datang di Makasar awal
tahun 90-an.
_
Lengkapnya jelajah malam menelusuri titik-titik penjual
kue Putu juga mesti singgah di depan pasar Pa’baengbaeng
yang merupakan penjual kue putu yang paling lama di kota Daeng ini. Yakni Hj. Dg. Marannu yang mengelola kios kue Putu sejak pertengahan
tahun 70-an. Ketika saya berkunjung ke sana, tampak para pengunjung yang selalu
ramai dan rela mengantri demi mencicipi enaknya kue putu buatannya. Menurut
pengakuan Dg. Sahid anak lelaki Hj. Dg. Marannu, tak jarang ada pembeli yang
sudah memesan terlebih dulu untuk menghindari antrian. Mengingat proses
pembuatan kue putu ini lumayan lama.
_
Komentar