Pengamputasian Budaya Lokal dalam Penanganan Bencana


Pertanyaan mendasar yang selalu muncul ketika terjadi bencana akibat gejala alam seperti banjir bandang, longsor dan lain sebagainya, di mana korbannya masyarakat pedesaan di suatu pemukiman terpencil, ialah mengapa mesti mereka yang menjadi tumbal dari kecamuk alam apabila benar kalau musibah itu murni bencana alam.

Karena bukankah jika memakai asumsi yang demikian maka berarti menisbahkan sesuatu yang terjadi pada kekuasaan Tuhan yang maha berkehendak, lalu mengapa masyarakat pedesaan terpencil yang menjadi pelengkap deritanya sebuah bencana. Bukankah mereka jauh dari perangkat dosa sebagaimana yang terjadi di daerah perkotaan?

Persfektif di atas menunjukkan sikap pasif dalam melihat suatu bencana yang selalu beranggapan kalau musibah yang terjadi merupakan takdir dari Tuhan. Kemiskinan persfektif seperti ini meloloskan asumsi kalau campur tangan manusia terhadap perubahan bentang alam bukanlah salah satu faktor, akibatnya masyarakat yang telah menjadi korban cukup dilihat sebagai bentuk percontohan ujian dari Tuhan.

Perpindahan masyarakat untuk membangun suatu pemukiman hingga ke pelosok terpencil seperti tinggal di kaki gunung. Tentunya dipicu oleh banyak situasi, di antaranya faktor manusia yang tak cukup punya kuasa untuk tinggal di daerah perkotaan atau daerah pemukiman yang lebih terjangkau jalur transportasi. Sehingga secara alamiah manusia bergerak mencari tempat di mana ia bisa tinggal menyambung hidup. Singkatnya, persoalan untuk tinggal di daerah terpencil atau tidak adalah masalah ekonomi dan politik.

Selanjutnya masyarakat yang meninggali daerah pemukiman tersebut mulai menata tata aturan dalam menjaga hubungan dengan alam sekitar, tak jarang dari interaksi ini lahir berupa kerangka acuan (local wisdom) sehingga dapat kita saksikan kelahiran hukum adat yang menyakralkan hutan atau tempat-tempat tertentu untuk tidak melakukan aktifitas keduniaan yang berlebih.

Realitas ini dapat kita telaah kalau pada dasarnya komunitas masyarakat telah membuktikan sebentuk regulasi berdasarkan kapasitas pengetahuan yang telah dikembangkan berdasar pada interaksi terhadap alam sekitar di mana ia tinggal. Hal itu jelas sebagai penyeimbang dari sikap kerakusan manusia yag selalu menginginkan kelebihan pelengkap dunia.

Tetapi lambat laun, jaringan pandangan dunia hedonistik melalui tatanan globalisasi yang hendak menciptakan pseudo kenikmatan hidup di dunia, merancang strategi penghancuran regulasi lokal yang telah dilahirkan komunitas masyarakat.

Menurut Milton Friedman, salah seorang teoritis peletak dasar neoliberalisme, menyodorkan saran berwatak kolonial yang menganjurkan jalan suatu perubahan dengan menciptakan suatu krisis dalam makna yang seluasnya. Terjadinya bencana alam atau bencana yang lain adalah diangggap sebagai suatu kebetulan yang menguntungkan, namun bila bencana tidak terjadi, maka diwajibkan untuk membuat skenarionya. Karena dengan jalan seperti itulah suatu tatanan baru dapat diciptakan. Dalam makna yang lain dapat disebutkan kalau terjadinya suatu bencana alam atau bencana ekologis yang sejauh ini sudah sangat sulit untuk dibedakan adalah suatu keuntungan bagi segolongan orang tertentu yang berpandangan positivistik melihat alam.

Bencana yang telah terjadi selama ini jika ditelaah lebih jauh maka dapat kita saksikan kelompok tertentu yang bergerak untuk mengambil keuntungan. Lihat misalnya, kasus lumpur lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur yang mengakibatkan volume pengungsi yang sangat luar biasa. Masyarakat tak memiliki pilihan kecuali meninggalkan tanahnya. Dari sinilah babak baru penguasaan terjadi, di mana korporat perusahaan berusaha mengambil alih area tanah yang sudah ditimpah bencana. Kasus ini tentulah sebagian kecil dari beberapa kasus bencana yang telah terjadi.

Membaca Ulang UUPB

Hal yang paling mendasar jika telah terjadi suatu bencana besar, ialah hak masyarakat terhadap tanahnya seperti yang sudah disinggung di atas, pada wilayah inilah rentan terjadi “bencana” konflik antar warga, pemerintah, dan pihak yang memiliki kepentingan tertentu.

Garis besar Undang-Undang Penanganan Bencana (UUPB) Nomor 24 Tahun 2007, hanya menjelaskan secara detail bentuk tanggung jawab pemerintah baik pusat maupun daerah dalam penanggulangan pasca bencana, salah satu bentuk implementasi dari pelaksanaan regulasi ini mensyaratkan terbentuknya Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) sebagaimana disebutkan pada pasal 10 dan pasal 18.

Namun, di balik dari niat tulus tersebut, ternyata melahirkan benih konflik dari para elite dalam melahirkan tarik-menarik kepentingan dalam menempati posisi tersebut, sehingga yang terbentuk malah sibuk membuat tentang pembagian kerja birokratis daripada menyusun suatu grand designe penanganan terjadinya bencana atau mengurangi dampak bencana.

Sejurus dengan namanya yang tanggap darurat terhadap bencana memang begitu cepat berada di lokasi jika telah terjadi bencana, tapi apakah hal tersebut yang harus selalu dilakukan. Mengapa tidak beralih menjadi tanggap darurat terhadap pencegahan bencana. Sehingga dapat mengurangi risiko bagi masyarakat apalagi bencana yang sampai menelan korban nyawa.

Bentuk regulasi pemerintah lainnya yang berbicara penanggulangan bencana dapat dilihat pada Peraturan Pemerintah nomor 21 Tahun 2008. Selain kerangka analisis resiko bencana yang ditetapkan BNPB yang hanya melibatkan dinas terkait yang selanjutnya dijadikan tolak ukur dalam penganalisaan dampak lingkungan, penataan ruang sampai pada tindakan pencegahan dan mitigasi bencana, juga belum memasukkan atau tidak menjadikan faktor perubahan cuaca akibat pemanasan global dan menapikan realitas kemiskinan masyarakat sebagai salah satu bahan yang harus di kaji. Jadi kerangka PP ini sama saja turunan pahaman pasif dalam melihat suatu bencana.

Ada banyak dominasi implementasi penanggualangan bencana yang hendak ditangani semua oleh pemerintah yang seharusnya mengikutsertakan masyarakat itu sendiri sebagai subyek yang tentu lebih paham situasi bencana.

Cerminan yang kembali menimbulkan bias dalam pasal PP Nomor 21 tahun 2008 ini dapat dilihat pada pasal 59 (1) bagian (e) yang sebatas menyebutkan (1) lembaga dan organisasi kemasyrakatan, (2) dunia usaha, dan (3) masyarakat yang bisa berpartisipasi dalam proses rekonstruksi. Dari unsur-unsur yang disebutkan sungguhlah tidak jelas siapa yang dimaksudkan dengan pihak pertama dan pihak ketiga. Lagipula lembaga dan organisasi kemasyarakatan bisa berarti siapa pun termasuk partai politik, pengusaha dan sebagainya. Jadi bisa dikatakan kalau pelibatan masyarakat dalam arti luas di luar penyebutan kelompok-kelompok masyarakat tertentu masih belum jelas atau setengah hati (Puthut EA dan Nurhady Sirimorok: 2010)

Percaya pada Kekuatan Rakyat

Sejarah benak (ingatan kolektif) komunitas masyarakat dalam suatu perkampungan pasti telah memiliki perangkat komunikasi dalam mendeteksi, kesiapsiagaan, hingga pada proses rekontruksi pasca bencana yang telah terwariskan secara turun temurun. Hal ini jelas telah menjadi senjata ampuh bagi masyarakat sejak dahulu kala untuk mengurangi dampak bencana yang bakal terjadi maupun yang sudah terjadi.

Sampai sekarang masih bisa kita jumpai tetua kampung, tetua adat, atau orang-orang yang dianggap mampu membaca tanda-tanda bila bencana akan datang. Fungsi para panrita ini akan lebih efektif dalam menyambungkan komunikasi tanggap bencana terhadap masyarakat setempat. Pada dasarnya media komunikasi yang dilakukan ialah dengan melihat perubahan cuaca atau perilaku binatang yang bertingkah tidak pada biasanya.

Tetapi berdasarkan informasi langsung yang saya dapatkan dari salah satu panrita, menyebutkan kalau pembacaan situasi seperti yang selama ini dilakukan mengalami kendala, utamanya pada perubahan cuaca yang memang tidak menentu. Sebenarnya yang hendak dikatakan kalau perubahan yang terjadi akibat pemanasan global akibat peningkatan konsentrasi efek gas rumah kaca (GRK) yang menganggu kestabilan panas matahari pada permukaan bumi (atmosfer)

Konsentrasi penanganan bencana sejak dini seharusnya difokuskan pada wilayah ini (climate change), selain faktor kemiskinan yang melahirkan konstruksi demargogi masyarakat. Karena kedua faktor inilah yang menjadi kata kunci dari segala kerentanan yang mengakibatkan lemahnya pertahanan masyarakat miskin akan bahaya bencana yang membayangi.

Sejauh ini jika kita mengambil sejumlah sampel sejarah bencana pada suatu daerah, maka akan ditemukan fakta-fakta seperti kerusakan ekologis dan adanya komunitas masyarakat miskin. Maka sudah seyogianyalah agenda ke depan untuk rencana tindak lanjut memfokuskan pada kedua fokus ini.

Dalam buku Bencana Ketidakadilan, Refleksi Pengurangan Risiko Bencana di Indonesia yang ditulis oleh Puthut EA dan Nurhady Sirimorok, menawarkan lima asas pendekatan yang bisa dijadikan acuan dalam penanganan bencana sebagai berikut: Pertama, peran murni masyarakat khususnya para korban  bencana yang seharusnya benar-benar terlibat secara sadar dan terwakili dalam keseluruhan proses program dan pemanfaatan hasil yang dicapai.

Kedua, otonomi lokal sebuah kelembagaan lokal untuk menentukan pilihan-pilihan dan membuat  keputusan mereka sendiri (asas subsidiarity). Ketiga, kesetiakawanan warga yang selama ini mengedepankan tradisi tolong-menolong dan gotong-royong warga, yang juga menempatkan bantuan dar luar sebagai pelengkap. Keempat, perlakuan khusus kepada kelompok atau kalangan masyarakat yang paling rentan, anak-anak, buruh, petani, dan perempuan. Kelima, bertanggung gugat dalam mengusahakan berlangsungnya pertanggung-gugatan yang terbuka, baik dikalangan warga setempat sendiri, maupun terhadap semua pihak luar yang mendukung.
_

Dimuat di Majalah Mandat edisi II Mei 2011



Komentar

Postingan Populer