Panggil Aku Minke Saja (Warisan Pramoedya Ananta Toer untuk Indonesia dan Dunia)

Hingga detik ini orang tak hentinya membaca karya dan menulis tentang sosok serta kiprah Pramoedya Ananta Toer. Betapa tidak, mungkin cuma ia yang kelak dijadikan sebagai ikon oleh kaum muda dalam peta sastra indonesia dengan terproklamirkannya Pramis (baca: pengikut, pengagum, atau pecinta Pram)


Namun di luar dari itu semua, Pram memanglah salah satu sastrawan warisan dunia yang dilahirkan oleh bumi untuk menuliskan kesaksian di tanah kelahirannya untuk dunia. Benarlah adanya sebuah adagium yang menagatakan,  jika ingin mempelajari watak, asal usul, dan sejarah suatu negara, maka bacalah karya sastrawannya. Karena para sastrawan terkadang lebih jujur dan bisa memadukan antara data kongkrit juga fantasi ingatan suatu masyarakat dibanding para sejarawan itu sendiri. Sehingga pembaca punya kemerdekaan dalam menelaah suatu alam pikiran bangsa-bangsa dan sejarah dalam perjalanan sebuah negara.

Dalam tetralogi buruh (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Rumah Kaca, dan Jejak Langkah) Pram berada dalam kultur dan alam pikiran masyarakat  Jawa sebagai pusat bagi kolonial dalam menguasai Hindia. Dari pembacaan ini dapat dipetakan kalau kerajaan Belanda memiliki hajatan semisal Inggris untuk membuat suatu koloni negara persemakmuran, seperti yang terjadi pada Australia, Fiji, dan Hongkong.

Semangat itulah yang dibedah oleh Pram dalam tetraloginya. Sebuah garapan yang masih sangat sedikit orang (sastrawan) yang melakoninya. Tetralogi pulau buruh dimata saya telah mengambil tempat sebagai penyadaran dalam melihat dari sisi lain sebuah mega proyek negara Eropa untuk merebut suatu wilayah di Asia Tenggara. Karena secara tersirat watak-watak kolonial sudah terjelaskan dengan sendirinya melalui bahasa para tokoh-tokohnya dalam novel tetralogi buruh tersebut. Sebutlah misalnya peryataan dari seorang dokter Kompeni, Letnan Dokter HH Mortsinger yang mengambil kesimpulan dalam mengakhiri wabah penyakit cacar. Yakni, dengan membakar mayat-mayat yang sudah mati karena penyakit itu, termasuk penderita yang masih hidup sekalipun. Tindakan seperti itu jelas menunjukkan sikap kaum penjajah dalam menyelesaikan masalah.

Melalui Minke, pribumi yang menikah dengan Annelies. Seorang keturunan Belanda dari rahim Nyai Ontosoroh. Ia kemudian berpisah dengan suaminya Minke, karena dalam hukum Belanda mensahkan kalau hidup Annelies lebih sah di tangan saudara Belandanya dari Bapak yang lain dibanding di tangan ibunya (Karena Nyai Ontosoroh adalah seorang pribumi) dan akhirnya mesti berlayar ke Belanda dan menetap di sana.

Sosok Minke mengambarkan generasi pribumi yang melihat tanah kelahirannya dalam penjajahan dan mencoba hidup dalam ranah aturan hukum Belanda dan menjadi pembelajar yang tekun dengan memperhatikan gerakan perlawanan di Asia Tenggara dan perkembangan bangsa Eropa.

Nyai Ontosoroh sendiri merupakan selir yang menyadari keberadaanya dalam suatu sistem yang tidak adil, karena ada kemiripan pada raja-raja Jawa yang memiliki beberapa selir dan yang dilakoni oleh para petinggi kompeni di Jawa. Ia berada dalam keluarga besar pengusaha Herman Mellema yang menjadikannya selir. Dari dalam keluarga ini, ia belajar banyak berbagai ilmu dalam mengelola usaha disamping mempelajari bahasa penjajah itu sendiri. Ia sosok perempuan yang kuat yang digambarkan oleh Pram berada dalam suatu sistem kolonial. Melalui sejumlah pernyataannya, nampaknya ia begitu paham akan ideologi kolonial dan mental perlawanan kaum pribumi.

Dari tokoh Minke dan Nyai Ontosorolah mengalir semua alur cerita sehingga terkait satu permasalahan dengan permasalahan lainnya. Serta pertemuannya dengan beberapa orang Eropa yang tinggal di Hindia, tepatnya daerah Tulangan di Surabaya. Pram menceritakan jalan hidup Minke yang memberontak pada sistem feodal keluarganya dan memilih tinggal bersama mertuanya Nyai Ontosoroh setelah menikah dengan Annelies.

Di sudut lain, Pram tak henti menulis kesaksiannya, selain Tetralogi Buruh. Ia juga melahirkan anak ruhani yang tak kalah garangnya. Arok Dedes, Midah Si Manis Bergigi Emas, Bukan Pasar Malam, Panggil Aku Kartini Saja, serta karya lainnya. Alhasil kesemua anak-anak ruhaninya pernah mengalami pengucilan dan penolakan oleh penguasa. Termasuk dirinya sendiri.

Dalam salah satu film dokumenter yang mengupas perjalanan hidupnya. Ia mengatakan kalau semua pencekalan atas karyanya merupakan bintang kehormatan yang disematkan di pundaknya. Pada sisi itulah kita bisa mengeja luka seorang Pram. Sistem membacanya kalau ia dan karyanya merupakan suatu kesatuan yang aktif. Karenanya harus dikungkung.

Bukan itu saja, sistem mampu menangkap kalau orang di luar diri Pram juga merupakan objek yang mesti diperlakukan sama. Dalam catatan Muhidin M Dahlan, di zaman orba, menggenggam buku Pram saja sudah dianggap sebagai tindakan subversif. Sedemikian parahkah perlakuan sistem di bumi kelahirannya sendiri? Sedangkan di belahan dunia lain. Karya Pram merupakan bacaan yang dianjurkan bagi anak sekolah sebagaimana yang terjadi di Malaysia, Fhilipina, dan Brunei Darussalam.

Ya, Pram sudah usai, ia wafat tahun 2006 lalu dan telah melewati jalan terjal yang selalu berulang di setiap ruang. Ia mewariskan anak-anak ruhani yang dalam kalimatnya sendiri akan hidup dan mati sesuai zaman dan perlakuan orang-orang terhadapnya.
_

Dimuat di Rubrik Apresiasi Fajar, 11 Maret 2012 



Komentar

Postingan Populer