Cerita Aidit, Dua Kumpulan Cerpen
‘Aku hanya bisa
ke Indonesia
kalau aku
menanggalkan ke
Indonesiaanku’
Sobron Aidit
Dalam sejarah trauma pasca 1965, tepatnya setelah peristiwa G30S/PKI dalam bahasa Orba. Ibu kota disibukkan dengan segala bentuk pengidentifikasian dalam memberikan rilis kepada siapa saja yang dianggap PKI. Metodenya bisa bermacam-macam dengan indikasi suka-suka. Selain menggunakan daftar nama dari sejumlah organisasi yang berafiliasi ke partai komunis terbesar ketiga di dunia itu (PKI), juga yang paling absurd, ialah petunjuk nama. Lewat propaganda yang disebar, siapapun akan marah, jengkel, serta akan menyebut setan bila mendengar nama: AIDIT.
Tak pelak lagi, sosok yang bernama Dipa Nusantara Aidit
(DN Aidit) adalah
DPO nomor wahid dalam perburuan militer saat itu. Sekjen
termudah dan yang terakhir dalam
sejarah PKI itu telah berada pada garis merah yang telah diharamkan untuk
menginjak bumi Indonesia untuk selamanya.
Sebagaimana akhirnya, di pengujung tahun 1965. Dedengkot Partai Komunis China, Mao Tse Tung menuliskan puisi bela sungkawa kepadanya
yang dimuat di majalah berpengaruh di Peking. Pada suatu konfrensi
internasional di Kuba, Fidel Castro sendiri yang mengucapkan hal tersebut
kepada delegasi China.
Lalu setelah DN Aidit terbunuh, sejumlah sesak bergelayut bisu bagi Sobron Aidit, adik kandungnya yang saat itu
tengah berada di China. Pilihannya tetap berdiam di tanah pelarian dan
menerima kenyataan kematian kakaknya yang selalu dipanggilnya Bang Amat.
Kenangan dengan abangya itu terekam kuat dalam cerpen Razia Agustus yang juga
menjadi judul buku kumpulan ceritanya ini, bulan di mana penguasa dan aktivis komunis bermain petak umpet. Semua tempat dirazia
untuk mengendus nafas para simpatisan partai komunis.
Dengan
bahasa yang sederhana,
Sobron Aidit merekam jejak waktu
di bulan yang mencekam
itu. Detailnya,
ia berkisah tentang kondisi politik
Indonesia ke dalam kamar kecil kontarakannya di Jalan Matraman Raya
nomor 25, Jakarta.
Selebihnya ia menuliskan informasi yang beredar perihal kematian abangnya.
Secara khusus Sobron Aidit mendedikasikan satu judul buat
abangnya dalam buku kumpulan cerpen ini, Bang Amat. Ia mengkisahkan seputar masa remaja Aidit yang mengisi
hari-harinya di Belitung. Tanpa sepengetahuan ibu bapaknya serta adik-adiknya.
Aidit gemar membantu siapa saja. Mulai dari membuat kandang ayam, menggali
sumur, hingga merancang sunatan massal bagi anak-anak yang kurang mampu.
Meski begitu, kesedihan yang terpendam tetap membuat
Sobron Aidit meradang. Pada paragraf akhir cerpen yang ditulisnya di ibu kota Prancis pada Oktober 1992 yang kini ia tinggali sebagai
negara yang mengakui keberadaannya sebagai warga negara,
ia menuliskan:
“....Bang Amat, ada yang menyebut dan
menuliskan. Sudah di sembur dengan timah panas. Tak tahu di mana kuburannya, di
mana nisannya, tak ada. Suatu pernyataan yang ditulis begitu sadis, kasar, dan
brutal luar biasa. Apa pun yang kau
lakukan terhadap Bang Amat, watak luhurnya takkan mungkin terhapuskan olrh sejarah. Dan, betatapun usahamu untuk
menghitamkannya, watak luhur Bang Amat akan dikenang banyak orang.”
Buku kumpulan cerpen yang terbit di
tahun 2004
ini menampilkan kembali kepiawaian
Sobron Aidit sebagai sastrawan yang patut diingat di dunia sastra Indonesia.
Bisa dikatakan kalau penerbitan ini merupakan penantian panjang setelah
keluarga Aidit diharamkan berkiprah dalam setiap jengkal di tanah kelahirannya
sendiri.
Lelaki kelahiran 2 Juni 1934 Belitung, Sumatrea Selatan
ini sewaktu menetap di Jakarta pernah tinggal bersama dengan Chairil Anwar, ia
pun pernah menerbitkan buku kumpulan puisi bersama Ajip Rosidi dan SM
Ardan yang diberi judul Ketemu di Jalan. Namun
sebagaimana diketahui, pembersihan
dalam segala lini harus dilakukan oleh penguasa. Selain buku tersebut, dua buku
lainnya, Pulang Bertempur dan Derap Revolusi semuanya dilarang beredar.
Dok, Kamar Bawah |
Tahun 2006 buku kumpulan cerpen Sobron Aidit bertitel Prajurit
yang Bodoh diterbitkan. Judul itu sendiri merupakan salah satu cerpen dari 12 cerpen yang
termuat di dalamnya. Sobron Aidit menuliskan kesaksiannya pada
November dan Desember 1974, karena semua cerpen dalam antologi ini bertarik
demikian (7 Cerpen ditulis pada November dan 5 cerpen pada Desember). Kisahnya
pun beraneka ragam dan murni mewakili semangat zaman dan situasi pada medio
1970. Awal pembentukan karakter negara
yang yang lucu karena diisi dengan oknum yang justru tidak paham bagaimana cara
menjalankan tugas negara yang terekam dalam cerpen Fiat Justitia, Ruat Caelum (Hal. 67).
Sebagai pembaca pemula pun dijamin bakal menyunggingkan
senyum sesudah membaca kelucuan yang serius yang ditawarkan Sobron Aidit. Tak
perlu mengerunyutkan jidat dalam menelaah 12 cerpen dalam buku ini, karena
penulisnya jelas bukan tipe yang suka membingkai kata dengan sejuta ranting
yang membawa pembaca menangkap abstraksi. Ia biasa-biasa saja, sama biasanya
dengan tata laku berbahasa manusia pada dekade cerpen ini ditulis. Sebaliknya,
humor ditangkap lebih awal yang
mengajak pembaca untuk terus menuntaskan jalan cerita.
Hal itu terasa jelas dalam cerpen Prajurit yang Bodoh. Dari judulnya, mulanya saya mengidentifikasi kalau prajurit yang bodoh yang
dimaksud ialah prajurit yang tak pandai mengunakan senjata dengan baik. Tetapi, Sobron Aidit membeberkan kebodohan yang subatansial
dalam dunia militer. Membuka rahasia, tentulah hal yang sangat diharamkan dalam kesatuan militer.
Sebagaimana akhirnya, seorang prajurit berkumis tebal
berpangkat bintang tiga membuka dialog dengan Kasim, seorang anak penjaja kue
langganannya. Ia tak dapat mengidentifikasi kalau Kasim adalah anak seorang
pemberontak yang ditugaskan sebagai mata-mata. Karena sudah terbiasa dengan
situasi di lapangan terbang ditambah dengan dialog dengan kapten
yang paling banyak membeli kue. Maka kasim beroleh informasi berapa jumlah
personil, berapa kapal terbang, dan pos-pos penjaga.
Semua informasi itu dilaporkan Kasim pada bapaknya,
Talip. Seminggu kemudian lapangan
pangkalan udara itu di serbu oleh pemberontak. Begitulah peristiwa yang dicatat
Sobron Aidit ketika Bandara Singkawang, Jakarta direbut kaum komunis.
_
Dimuat di Fajar,
27 November 2011 dengan judul:
Mengingat DN Aidit dan Kesaksian
Lainnya(Membaca Dua Kumpulan Cerpen Sobron Aidit)
Komentar
Salam Resep Kue Kering Lebaran