Keidentitasan dan Mencoba Melawan


Pada dasarnya semua interaksi di muka bumi ini adalah sebuah perlawanan dalam segala bentuk dan mediumnya. Kata perlawanan adalah suatu sistem tanda yang bisa digunakan oleh siapa saja, baik secara individu maupun kelompok. Pengertian kata perlawanan pun mewakili semangat bagi yang mempergunakannya.

Lahirnya kelompok-kelompok masyarakat yang menunjukkan eksistensinya dengan melawan kelompok masyarakat lain adalah salah satu ciri yang menunjukkan gejala dari menguatnya keidentitasan suatu kelompok. Fenomena ini menunjukkan kalau gerakan suatu kelompok adalah suatu gerakan menuju keseragaman. Secara determinis, maka pola visi gerakan sama halnya dengan visi gerak globalisasi yang hendak memproyeksikan keseragaman di muka bumi.

Semangat melawan akan menjadi kata kunci dalam membuktikan keampuhan kelompok dan jaminan sebuah eksistensi sebagai pengakuan abstrak di masyarakat. Maka dengan itu dapat kita saksikan dengan mudahnya perseteruan dua kelompok di ranah sosial bahkan dalam suatu aksi sekalipun, contoh sederhanya. Jika ada kelompok massa yang menekan pemerintah dengan aksi demonstrasi di jalan, maka tak lama setelah itu akan muncul kelompok lain yang akan mendukung pemerintah. Jadi pembagian penafsiran kebenaran bukan lagi menjadi khasanah kritik tapi telah berubah menjadi tren isu yang akan terus berputar tanpa akhir.

Laju komunikasi ini lalu bertahan sebagai bentuk stagnanisasi yang melahirkan multitafsir, semakin beragam tafsiran yang lahir maka semakin jauh subatansi isu awalnya. Hal ini memang sengaja untuk terus dilakukan sebagai bahan manajemen pengelolaan konflik yang bisa menutupi sebuah kesalahan. Sehingga pada akhirnya berujung pada ketidakjelasan atau mengaburkan pangkal masalah. Strategi inilah yang semakin menguatkan posisi pusat sebuah kekuasaan dalam negara.

Sebagai bahan pertimbangan bisa kita analisis melalui pernyataan presiden SBY yang mengatakan kalau ormas yang anarkis harus dibubarkan. Secara kronologis pernyataan ini lahir akibat dari kejadian rusuh sosial yang menimpah aktivis Ahmadiyah beberapa hari lalu di Pandeglang Banten yang berujung pada tewasnya tiga orang warga Ahmadiyah. Pernyataan SBY untuk membubarkan ormas anarkis adalah wujud perlawanan untuk membalut dan melindungi kewibawaan negara. Namun masalahnya, SBY sebatas menyebut ormas yang bertindak anarkis saja, titik.

Desain komunikasi ini adalah suatu kesengajaan agar lahir sejumlah ragam tafsir dari sejumlah kelompok masyarakat untuk berebut tempat di ranah komunikasi sosial. Hasil akhirnya dapat kita lihat dengan banyaknya tafsiran terkait sebuah pernyataan yang tidak tuntas. Sampai di sini harus kita pahami kalau fungsi bahasa bukanlah sebatas untuk menyampaikan suatu maksud saja, melainkan terkandung bentuk-bentuk dominasi untuk terlibat aktif di dalamnya.

Tersambungngya koneksi antar interaksi atau pemain penafsir dari isu yang ada, adalah indikasi keberhasilan dalam penguasaan komunikasi. Itulah kemudian ragam permasalahan yang ada sangat lama untuk terselesaikan dikarenakan adanya pengacauan komunikasi, yang tadinya sudah berada pada zona aman tiba-tiba retak seketika dengan adanya benturan informasi dan kasus-kasus baru yang menutupinya.

Cerminan ini bisa dikatakan sebagai sebutan lain dari kasak-kusuk permasalahan yang semakin jauh berlari meninggalkan posisi awalnya di mana ia pernah terjadi. Terbukanya kebebasan berpendapat di satu sisi sepertinya merupakan ancaman pengaburan subtansial, sehingga tidak menjadi mustahil kalau muncul perlawanan dari kelompok-kelompok sosial berdasarkan tingkat kapasitasnya dan mendahulukan keidentitasan. Parahnya bila sudah mengatasnamakan sebuah identitas maka butuh penjelas antara lawan dan kawan. Jika tidak sesuai dengan identitas “A” maka ia adalah “B” dan seterusnya.

Hegemoni Informasi

Diceritakan dalam salah satu seri film James Bond 007 tentang pengahancuran kapal selam, sekilas kapten dan para awak kapal sama sekali tidak mengira kalau posisi mereka dalam kondisi bahaya. Hal itu dikarenakan oleh pengacauan satelit yang mengakibatkan terhambatnya informasi kepada kapten kapal. Tak lama setelah itu, sebuah Torpedo dengan cepat mengobrak-abrik seluruh badan kapal. Dan esoknya kejadian ini muncul di salah satu harian sebagai headline.

Sungguh di luar dugaan, karena informasi tentang kejadian tersebut hanya milik sebuah korporat perusahaan salah satu media, dan belakangan diketahui kalau yang menghancurkan kapal selam tersebut adalah anak buah dari pemilik perusahaan media itu sendiri. Salah satu segmen film ini kurang lebih hendak menjelaskan kalau hegemoni suatu informasi haruslah lahir dari sebuah desain meski itu berupa kejahatan kemanusiaan.

Metafora peristiwa kehidupan dalam sebuah film seakan mengetuk kesadaran kita akan realitas sesungguhnya yang tengah terjadi di kehidupan nyata di mana kita bergulat di dalamnya. Melihat laporan-laporan media massa rasanya membunuh sebagian harapan anak bangsa untuk hidup aman di republik ini. Seolah ada proyek realitas sosial yang dirancang oleh kekuatan yang dominan, dan dari sini peran negara perlahan tergantikan dengan memperlihatkan lemahnya keidentitasan dari praktik kebijakan yang dijalankan.


Perang identitas ini semakin mempraktikkan bentuk-bentuk hegemoni dalam menarik perhatian massa untuk turut terlibat, persoalan mau aktif atau pasif tidak menjadi soal yang jelas sudah masuk jaring dominasi pemaknaan isu. Lalu di mana kontribusi terhadap eksistensi kelompok masyarakat yang menjadi korban, dan sanksi terhadap kelompok masyarakat yang melegalkan kekerasan.
Untuk memetakan hal ini, haruslah kembali kepada identitas akibat para pemegang kebijakan negara. Jika melawan hanya untuk melindungi sebentuk kewibawaan person yang penuh dengan absurditas maka hanya berakhir pada perang komunikasi sosial dan terlena dengan arus dominasi informasi. Hal inilah yang tengah berlangsung. Singkatnya, tak ada sejengkal tanah negara walau sedepa bagi mereka yang selalu menjadi objek dari narasi kekerasan.

Meminjam kalimat Goenawan Mohammad kalau rumusan identitas bisa disederhankan dengan memaknai eksistensi berdasarkan dengan apa yang sedang dilawan. Kesemua itu dibumikan kedalam hal yang paling teknis sekalipun, semisal tata cara berpakaian, berkomunikasi, dan membangun jejaring sosial. Asumsi dasanya karena kelompok-kelompok sosial ini adalah bentuk terkecil dalam strategi perlawanan menandingi arus dominan. Tapi senjakala mereka tak sadar kalau sedang memasuki area pertarungan global di mana bisa saja ada penunggangan kepentingan. Tengok misalnya sejumlah kasus yang berbau Sara, maka pelabelan begitu cepat menghinggapi kelompok sosial yang menguat dari segi keidentitasannya.

Sejauh ini tak mudah untuk menyangkalinya kalau daya tawar kehidupan kita dalam negara sangatlah lemah dan masih begitu bergantung pada negara, tapi sekaligus dikacaukan dengan serbuan pesimisme ketika dengan mudahnya posisi negara hilang seketika disaat terjadi kekerasan kemanusiaan yang dengan mudahnya bisa disaksikan lewat laporan media massa. Setelahnya, para jurubicara lembaga-lembaga negara kembali dapat disaksikan dengan tawaran kekerasan lainnya. Tak ada yang mau salah dan tegas bertanggung jawab, sebaliknya semua melawan dengan mengedepankan identitas berbalut retorika agar terhindar terjangan bola panas yang sedang menggelinding

Akankah desain proyek sosial di negeri ini akan terus mencari kambing hitam, pertanyaan ini mungkin akan terus bergelayut dalam diri anak bangsa yang semakin perih melihat kondisi sosial yang semakin jauh untuk dikatakan sejahtera. Lalu selanjutnya tinggal menghitung hari kalau benturan identitas kelompok-kelompok sosial akan terus bertabrakan di sepanjang sejarah eksistensi negara ini.

Padahal sesunguhnya perjuangan nilai-nilai dan identitas kelompok adalah salah satu ciri tingkat kematangan dalam berdemokrasi bilamana hal itu ditunjang dengan sikap untuk saling menghargai atas keidentitasan suatu kelompok sosial yang mencari bentuk pengakuan dalam negara.

_

Dimuat di Media online http://www.seputarsulawesi.com


Komentar

Postingan Populer