Jalan terjal itu




H. Yunus Dg Tayang mengayuh sepedahnya dari Limbung, Gowa. Jelas ia mendahului kokok ayam dan meninggalkan anak istrinya di balik lelapnya tidur. Tujuannya jelas, menuju pasar pa’baengbaeng di Jalan Sultan Alauddin Makassar. Ia tiba di sudut jalan dekat kanal depan pasar tradisional itu. Aroma Shubuh masih kuat ketika dagangan sayurnya ia gelas beralaskan tikar. Jarak Limbung ke Makassar sekitar 20 atau 30 Km bahkan lebih.  Dari sini bisa dibayangkan jarak yang harus di tempuh untuk menerka jam berapa ia berangkat dari rumahnya.
H. Yunus Dg. Tayang bukanlah satu-satunya pagandeng dari daerah bekas kerajaan Sultan Hasanuddin. Ia adalah satu nama dari nama-nama yang lain yang menjawab hidup dengan profesi sebagai penjajah sayur mayur. Dalam penuturannya, mereka selalu berangkat sama-sama. Melewati jalan yang sama menuju tempat yang sama. Tapi nasib selalu tak sama. Dalam perjalanan itu, ada yang sudah berhenti karena ajal, istirahat karena usia, berakhir karena beralih profesi, dan berhenti karena sesuatu yang sulit di jawab (Baca: Kekurangan modal).
Di hari kini H. Yunus Dg Tayang tak lagi mengayuh sepeda ontelnya. Tapi masih menempuh jalan yang sama dengan tujuan yang sama. Menjual sayur di di pasar pa’baengbaeng. Dengan jenjang karir selama 30 tahun lebih. Ia telah menunaikan ibadah haji dan mengendarai sebuah sepeda motor sebagai pengganti sepedanya.
Jalan terjal itu. Selalu saja ada yang mampu menjawab waktu dan diselesaikan waktu. H. Yunus Dg. Tayang yang menjadi teman bicara saya di awal pagi dengan senang hati menceritakan sepotong sejarah yang dibuatnya bersama orang-orang yang senasib sepenanggungan. Bahwa menjadi seorang pagandeng sayur juga merupakan jejak jalan hidup. Padanya memerlukan strategi, taktik, modal, dan doa.
Ia bangga dengan itu semua, setidaknya ia juga mampu membiayai keperluan sekolah anak-anaknya.
Makassar, 2010





Komentar

Postingan Populer