Demokrasi dan Spiral Kekerasan


Tepatlah apa yang dikatakan ekonom peraih nobel di tahun 2001, Joseph Stiglitz, kalau penemuan terbesar umat manusia di muka bumi ini adalah demokasi. Betapa tidak, demokrasi yang makna harfianya berarti pemerintahan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat telah menjadi kalimat yang harus dihafal sejak kelas lima sekolah dasar di negeri ini.

Saking seringngya demokrasi disebut dalam setiap komunikasi baik oleh masyarakat, politisi, mahasiswa, atau pejabat pemerintah hingga melupakan nama penemu tentang ide demokrasi itu sendiri, bahkan melupakan esensi yang paling mendasar dari penegakan demokrasi, yakn terjaminnya kebebasan, keadilan, dan kesetaraan.

Pengalaman sejumlah negara di dalam menerapkan konsep demokrasi bukanlah suatu antitesa dari kebosanan menganut konsep kapitalisme dan sosialisme, tetapi merupakan terapi di dalam menjaga peluang politik dalam bingkai kekuasaan. Hal itu terbukti karena sampai dewasa ini arus globalisasi semakin menguat sebagai sebuah grand designe dalam segala lini.

Kita bisa lihat dari praktik yang mengatasnamakan demokrasi, yang dalam hal ini hanya didominasi oleh para elite partai, saya melihat bahwa nilai-nilai dasar demokrasi seperti yang disebutkan di awal tulisan, akhirnya harus tunduk tak berdaya pada figur politik yang menjadi ikon dalam suatu partai, yang dalam prosesnya cuma butuh lobi politik untuk menjadi pemimpin suatu partai.

Padahal, kata demokrasi adalah suatu sistem tanda yang memungkinkan terbuka lebarnya kesempatan bagi mereka yang memang memiliki kepatutan, kualitas, dan kemampuan untuk menempuh sistem pemerintahan dalam suatu negara. Karena filosofi dari ide demokrasi, yakni kaum cerdik pandai dimungkinkan untuk melakukan praktik demokratik dalam proses pemerintahan. Memang, Plato pernah memberikan cibiran kalau apapun hasil dari proses demokrasi haruslah diterima. Kasarnya, meski iblis sekalipun yang meraih suara terbanyak. Karena itu sudah merupakan konsikuensi logis.

Pada akhirnya, demokrasi, monarki, ataupun sistem pemerintahan lainnya tentulah tidak bebas nilai. Yang perlu digaris bawahi adalah pemberian kesempatan yang lapang demi terbukanya pintu kesempatan bagi warga negara yang mumpuni untuk tampil, sebagai rotasi dalam pemerintahan.

Bayang Kekerasan

Hantu yang masih terus membayangi perjalanan demokrasi selain kedangkalan pemahaman para pelakunya, ialah berlakunya legalitas kekerasan yang sering dipraktikan sebagian aparatus negara dalam lingkup yudikatif. Sebagaimana diketahui bersama, euforia kebebasan untuk tampil berpendapat pasca tumbangnya rezim orba semakin menunjukkan perilaku kekerasan. Hal ini ditengarai dengan semakin mencuatnya pertarungan tiga dimensi komponen negara, yaitu negara itu sendiri, pihak swasta, dan masyarakat sipil dalam memperebutkan legitimasi.

Dom Helder Camara (2000) memberikan analisis terpadu dan sistemik terhadap praktik terselubung dari kekerasan itu. Secara sederhana manusia yang hidup dalam suatu negara mula-mula dibuat tidak berdaya dengan adanya regulasi dan ragam bentuk aturan sehingga posisi manusia berada pada sub human.

Mulanya, kekerasan struktural dimulai, lalu merangsang perlawanan kekerasan dari masyarakat yang selanjutnya memunculkan kekerasan refresif oleh aparat dalam rangka menjaga pemerintahan yang sah. Sehingga, pada akhirnya kekerasan dilawan dengan kekerasan, itulah yang disebut dengan spiral kekerasan.

Lantas jika demikian, solusi hukum yang tadinya diharapakan mampu menjadi penengah juga terjebak pada kekerasan itu sendiri dengan adanya jual beli hukum. Berdasarkan akumulasi pengalaman yang ada di negeri ini, jalur litigasi yang ditempuh oleh masyarakat sebagai bentuk perlawanan untuk memperoleh kembali hak-haknya, sungguhlah amat sedikit yang bisa memenangkannya. Kalau tidak dikatakan tidak ada sama sekali.

Berdemokrasi memanglah suatu pilihan yang masih butuh waktu dan pengalaman untuk terus belajar, sehingga tidak mentah sebagai slogan yang hanya mampu meninabobokan khalayak, karena sejauh ini negara dituntut untuk mendemokrasikan dirinya agar tidak menjadi pengkhianat dari kesepakatan kontrak sosial. Hanya saja, sesat pikir akan makna subtansial dari ide demokrasi masih menyelinap di sebagian otak para aparatus negara. Sehingga memunculkan perdebatan dengan melegitimasi UUD dan membenturkannya dengan sejarah bangsa-bangsa yang heterogen sebelum melebur menjadi satu dalam NKRI.

Ideologisasi Demokrasi

Gelombang demokrasi satu dasawarsa belakangan ini terus menghinggapi negara-negara dunia ketiga pasca perang dunia kedua, hal itu tentu menjadi wajar melihat hegemoni dua blok rakasa di masa lalu. Seolah-olah dunia ini hanya diatur oleh dua kekuatan antara blok Sovyet dan blok Amerika, di mana Francis Fukuyama buru-buru memproklamirkan kemenangan sejarah bagi kaum kapitalis

Dari hal itu kemudian melahirkan pencaplokan akan ide demokrasi yang erat kaitannya pada ideologi tertentu. Mengingat kaum sosialis pastinya belum bisa menerima kekalahan, karena tumbangnya blok Sovyet bukanlah indikasi dari kemenangan kaum kapitalis dalam analisis Francis Fukuyama.

Karena akan rancu jika kita kemudian mengatakan kalau demokrasi kami beda dengan demokrasi kalian, yang terjadi dari logika seperti ini hanya melahirkan perdebatan definisi yang tak kunjung usai. Jelasnya, suatu negara dan terkhusus Indonesia mestilah menjadi pelindung untuk tetap eksis di masa akan datang, sehingga generasi berikutnya tetap bisa menggunakan KTP berkewarganegaraan indonesia di usia senjanya.

Sejarah selalu mengingatkan kalau NKRI ini bisa disebut sebagai negara bangsa (state nation) yang di dalamnya terhimpun beragam elemen latar belakang masyarakat dari berbagai daerah sebelum melebur ke dalam negara persatuan modern dewasa ini yang di masa lampau tidak tinggal diam melawan pada kaum kolonial.

Munculnya perdebatan akhir-akhir ini terkait keistimewaan Yogjakarta yang dianggap cela dalam demokrasi Indonesia, hanyalah sebagian kecil perdebatan yang akan terus muncul dari kegagapan memaknai ide tentang demokrasi. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya dengan menggunakan teori pendekatan spiral kekerasan. Saya melihat akan terjadi konflik vertikal yang tak berkesudahan jika kebebasan, keadilan, dan kesetaraan yang menjadi roh dari demokrasi telah digeser dalam menjalankan negara.

Kita selaku anak zaman dari republik ini tentulah tak henti melontarkan pertanyaan kritis atas tingkah laku pengurus negara yang selalu menyebut kata demokrasi pada setiap kesempatan, dan menganggap telah menjalankan nilai-nilai demokrasi dalam menjaga dan menjamin hak dasar setiap warga negara.

Jika manggut dengan ide demokrasi. Tentunya, haruslah mengedepankan kebebasan, keadilan, dan kesetaraan sebagai bentuk implementasi dalam menjaga kelangsungan keberagaman elemen dalam bernegeara, bukan malah mengamputasinya dalam lembaran regulasi guna dijadikan hegemoni kekuasaan.

Hal ini merupakan gagasan besar (big pleaning) untuk diimplemetasikan saat sekarang ini dan di masa mendatang, agar negara tidak terjebak pada pseudo demokrasi yang membuka jalan lebar bagi langgengya praktik spiral kekerasan.
_

Dimuat di Fajar, 9 Desember 2010



Komentar

Postingan Populer