BIMP-EAGA dan Asumsi-asumsi Neo Liberalisme


Tentunya ingatan kita masih merekam dengan jelas dan tersimpan rapi di kotak memori setiap anak bangsa yang selalu gelisah melihat praktik model pembangunan ala orba. Dengan semboyan Indonesia tingal menuggu waktu untuk lepas landas menuju era baru. Era dalam bayangan kaum kapitalis merancang dunia baru. Sehingga indonesia di bawah rezim orba harus menganut “agama” develomentalisme sebagai “iman” menuju suatu “kiblat” yang bernama kapitalisme dunia ketiga.

Kini era itu telah berlalu, develomentalisme telah gagal. Negara yang dulunya menjadi percontohan tergabung kedalam NICs (Newly Industrialis Countries), seperti Korea Selatan, Taiwan, termasuk negara NICs baru seperti Thailand, Malaysia dan Indonesia (Mansour Fakih: 2001). Kesemuanya pernah mengalami krisis. Lalu anehnya penyebab krisis lebih dititik beratkan pada faktor korupsi dan kesalahan pemerintahan rezim setiap negara. Padahal sesungguhnya penyebab krisis jelas ada pada model kebijakan dari penerapan develomentalisme itu sendiri. Karena ia bukanlah suatu proyeksi dari kebutuhan negara-negara Asia, melainkan terapi kebijakan dari dunia pertama sebagai sebuah jalan untuk memuluskan langkah penjajahan gaya baru pasca runtuhnya kolonialisme.

Namun sejarah ekspansi belum berakhir, semangat kapitalisme dengan sistem kerjanya yang menggelobal telah mempersiapkan model baru dari kegagalan develomentalisme tadi. Sampai di sini, menarik sekali jika kita mencermati sumbangsih pemikiran Michel Foucault, dengan pendekatan discourse analysis, baginya tidak ada pengetahuan yang netral dan relasi kekuasaan tidak hanya berputar pada negara dan kelas elite, tetapi mencakup juga disiplin ilmu pengetahuan, bahkan kehidupan sehari-hari merupakan sebuah interaksi dari relasi kekuasaan. 

Jadi, apa yang disebut dengan develomentalisme pada dasarnya mengandung unsur hegemoni bagi negara-negara dunia ketiga yang semula dilihat sebagai negara terbelakang, miskin, bodoh, dan tidak mengenal indsutrialisasi. Olehnya kemudian perlu diberikan stimulus agar mampu menyerupai negara-negara Utara. Sehingga lahirlah kebijakan develomentalisme sebagai fase kedua dari sistem kerja kapitalisme negara Utara. Karena fase pertama yang disebut dengan kolonialisme telah berlalu.

Fase ketiga : Neo Liberalisme

Munculnya ide neoliberalisme tentunya tidak bisa dilepaskan dari krisis kapitalisme yang terjadi pada medio1930 yang meluluh lantakkan mekanisme kerja ekonomi klasik yang digagas oleh Adam Smith. Setelah itu barulah W.W. Rostow mengembangkannya kedalam bentuk ekonomi pertumbuhan (growth economi) setelah sebelumnya diracik ulang oleh ekonom Jhon Maynard Keynes. Tapi semuanya bersumber dari gagasan awal para pendahulunya, yakni ekonom Inggris Adam Smith yang telah meletakkan pondasi dasar ekonomi liberal. 

Lebih jauh Mansour Fakih melalui bukunya Sesat Pikir Teori Pembangunan dan Globalisasimenjelaskan secara spesifik pokok-pokok pendirian dari neoliberalisme. Pertama, bebaskan campur tangan pemerintah di bidang perburuhan, investasi, dan harga, serta membiarkan mereka (pelaku pasar) membuka kawasan pertumbuhan, seperti NAFTA (North American Free Trade Agreement), SIJORI (Singapore, Johor, and Riau), BIMP-EAGA (Brunei, Indonesia, Malaysia, Philippine – East ASEAN Growth Area). Juga didukung jaringan perusahaan yang tergabung dalam TNCs (Transnational Corporations). Serta lembaga donor seperti IMF (International Monetary Fund) dan Bank Dunia. 

Kedua, hentikan subsidi negara kepada rakyat karena hal itu bertentangan dengan prinsip pasar dan persaingan bebas. Karena itu pemerintah juga harus melakukan privatisasi semua perusahan milik negara, karena perusahaan pada dasarnya dibuat untuk melaksanakan subsidi negara pada rakyat, dan itu jelas menghambat persaingan bebas. Ketiga, hapuskan pahan akan kesejahteraan bersama dan pemilikan komunal seperti yang masih banyak dianut oleh masyarakat, karena hal ini juga menghalangi pertumbuhan. Sehingga manajemen sumber daya alam harus diserahkan pada “ahlinya” dan bukan pada masyarakat adat yang dianggap tidak mampu mengelola sumber daya alam secara efisien dan efektif.
BIMP-EAGA dimaksudkan untuk mengakselerasi pengembangan industri dan perdagangan di dalam kawasan, khususnya industri manufaktur berbaris pertanian, perikanan, pertambangan, dan kehutanan serta mempercepat integrasi ASEAN secara keseluruhan. Dan dapat diartikan kalau BIMP-EAGA adalak klaster pengembangan komoditas berbasis SDA yang ketersediaannya sangat besar dan juga tersebar secara merata di dalam kawasan mulai dari Sulawesi hingga Davao City, Filipina.

Pengembangan kawasan pertumbuhan (growth area) tak lain adalah EPZs (Export Proccessing Zone) atau pemetaan wilayah dalam suatu negara untuk dijadikan area khusus demi berlangsungnya ekspor industri dengan syarat mampu mengembangkan aturan perburuhan dan pajak domestik sehingga menjadi penarik bagi perusahaan-perusahaan TNCs untuk beroperasi karena bisa mendapatkan buruh dengan pengupahan yang rendah. (Mansour Fakih: 2001)

Sebagaiamana pengalaman negara melewati masa develomentalisme yang tak lain hanya menjadi media yang harus tunduk patuh pada hukum-hukum peminjam dana dari IMF dan Bank Dunia. Hal ini juga akan berlaku bagi negara yang harus menjamin ketersediaan lahan, keamanan, dan jaminan bagi para pemodal yang nantinya menguasai sektor yang paling hakiki bagi umat manusia. Bisa dibayangkan kalau nantinya para petani harus mengikuti tren penggunaan bibit yang dipatenkan oleh perusahan. Padahal sejak dahulu petani sudah memiliki pengalaman turun-menurun dalam proses pembibitan tanpa harus membeli bibit lagi.

Kekhawatiran juga menghampiri kaum urban (rakyat miskin kota) yang tanahnya harus dicaplok oleh pemodal atau negara. Jika harus menjual, maka mereka  hanya bisa merelakannnya dengan harga murah karena tidak memiliki akses untuk mempertahankannya. Hal itu demi tersedianya lahan untuk dibanguni gudang atau pabrik agar menunjang pertukaran barang untuk menyuplai kebutuhan pasar. Bahkan ruang-ruang umum dalam kotapun disulap menjadi kawasan transaksi perdagangan atas nama modernisasi menuju kota dunia.

Pasar Bebas Vs Negara

Kebuntuan ekonomi yang pernah menimpah negara-negara kapitalis dijadikan pijakan dasar untuk memunculkan ide tentang perlunya pasar bebas. Regulasi ini berputar pada pertukaran barang antar negara tanpa melihat lagi adanya batas. Sebagaimana asumi pasar, yakni segala sesuatu harus diperjual belikan demi menjaga kestabilan ekonomi. Atau tepatnya demi akumulasi modal.

Awalnya dilihat sebagai demokrasi ekonomi bagi negara-negara yang sedang berkembang untuk turut andil dalam menjaga ketersediaan pangan yang murah. Namun kenyataannya malah muncul korporasi perusahaan pangan yang mendominasi baik pada pelabelan sampai pendistribusian yang berakibat pada tingginya harga. Dampak lainnya bisa kita lihat dari penerapan revolusi hijau dimana peran perempuan tergeser dalam dunia pertanian, karena para petani akhirnya harus manggut menanam bibit padi yang masa panennya hanya menggunakan sabit, bukan lagi ani-ani. Sehingga tak ada lagi keseteraan dan pengalaman komunal yang berlangsung selama puluhan tahun yang terjalin dalam bentuk pertanian tradisonal. Selanjutnya kaum perempuan kini terdepak keperusahaan-perusahaan di kota untuk bekerja atau mengaduh nasib menjadi TKI.

Sekali lagi negara dibuat tidak berdaya karena tidak mampu memenuhi kewajiban konstitusinya untuk melindungi hak dasar warga. Sampai di sini, masihkah kita mau mempelajari sejarah atau menguburnya dalam-dalam! Karena apa yang disebut dengan Kolonialisme, Imperialisme (baca: develomentalisme) dan hari ini Neo Liberalisme sudah barang tentu adalah mesin penghancur bagi warga negara dan negara itu sendiri.
_


Komentar

Postingan Populer