Berhentilah Menyalahkan Mahasiswa




Aksi tawuran yang baru-baru ini terjadi di kampus Universitas Hasanuddin (Unhas), Makassar, Sulawesi Selatan yang kembali mempertemukan dua kubu purba, Fakultas Teknik dan Fisip, telah memberikan kekecewaan yang mendalam terhadap Civitas Akademika Unhas yang pada saat kejadian tengah mengadakan rangkaian hajatan Dies Natalis yang ke 55 yang mana dihadiri Gubernur Sulsel, Syahrul Yasin Limpo.

Luka ini jelas teramat pedih, terkhusus bagi pucuk pimpinan tertinggi (Rektor) di Universitas terkemuka di Indonesia Timur itu. Dalam beberapa minggu terakhir, headline koran lokal terus menyorot Unhas, dimulai dari pemberian gelar Doktor Honoris Causa (HC) kepada mantan Wakil Presiden, Jusuf Kalla yang juga merupakan alumni Unhas. Dan, sehari sebelum kejadian (tawuran) Rektor Unhas mengalami kecelakaan laut di perairan Takalar dalam salah satu kunjungan kerjanya yang masih merupakan rangkaian kegiatan Dies Natalis Unhas.

Kejadian ini langsung mendapat respons dari berbagai pihak. Ada yang mengecam kalau aksi mahasiswa sangat memalukan dan semakin menunjukkan kalau peran mahasiswa yang diharapkan sebagai agen perubahan menuju sesuatu yang baik semakin terdepak.

Menurut Dr M Darwis, Dosen Sosiologi Unhas dalam bincang-bincang di salah satu stasiun TV lokal mengatakan, kalau aksi tawuran yang terjadi mengindikasikan adanya ulah para provokasi dari masing-masing senior dari kedua Fakultas. Mengingat pelaku yang ada di lapangan juga terlihat mahasiswa baru (Maba) dengan jumlah yang lumayan banyak.

Tawuran kali ini memang bukan yang pertama kalinya terjadi di Unhas. Namun, yang menarik dari pada saat kejadian, Rektor langsung turun tangan untuk melerai ke dua pihak yang bertikai. Imbasnya, Mahasiswa yang terbukti sebagai aktor intektual dari tawuran ini akan mendapat sanksi akademik sebagai bentuk efek jera dan menjadi cerminan bagi mahasiswa lainnya untuk tidak melanjutkan hal yang serupa.

Ibu Asuh

Pada dasarnya, sekolah atau lembaga pendidikan hanyalah merupakan rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh manusia dari kesibukannya menjalani kehidupan. Seiring waktu berjalan, evolusi sekolah semakin berkembang hingga saat sekarang ini.

Bermula dari gagasan Jhon Amos Comenius dalam kitabnya Didactica Magna yang kemudian ditetapkan sebagai kitab Master Pice-nya ilmu pendidikan. Ia melontarkan sebuah gagasan metode pengasuhan yang lebih sistematis dengan dasar adanya kenyataan tentang keragaman dan latar belakang setiap anak asuh sehingga memerlukan penanganan khusus.

Melanjutkan tradisi itu, muncullah Johan Heinrich Pestalozzi pada abad ke 18 yang memberi gagasan lebih modern lagi. Yakni, dengan mengelompokkan anak-anak asuhnya secara berjenjang termasuk soal urutan kegiatan atau pelajaran yang kemudian merupakan cikal bakal konsep pendidikan dewasa ini dengan adanya jenjang kelas, kurikulum dan tingkat pendidikan. (Roem Topatimasang: 2000).

Sejak itulah fungsi skhole, scola, scolae, atau schola (Kosa kata Yunani, kesemuanya memiliki kandungan makna yang sama yakni, waktu senggang) beralih menjadi scola matterna atau pengasuhan ibu sampai usia tertentu yang merupakan proses dan lembaga sosialisai tertua dalam sejarah umat manusia. Kemudian berkembang lagi menjadi scola in loco parentis atau lembaga pengasuhan anak pada waktu senggang di luar rumah sebagai pengganti ayah atau ibu. Itulah kemudian, mengapa sekolah modern yang setingkat universitas disebut juga “ibu asuh” atau ibu yang memberikan ilmu, yang populer dikenal dengan sebutan Alma Mater.

Jika perkembangan istilah ini bertabiat pada sesuatu yang bermakna dalam arti peran sebagai pengasuh yang bijak bagi anak-anaknya. Alma Mater (Ibu Asuh) pasti telah memberikan pendampingan yang baik kepada anak-anak asuhnya, tak hanya menjejalinya dengan pengetahuan teknis keilmuan yang dangkal. Seorang anak yang sedang tumbuh (Mahasiswa) juga membutuhkan pengalaman karakter untuk menjadi anutan yang bisa ditafsirkan (diterjemahkan).

Jika dalam perjalanan pertumbuhan itu, anak asuh masih merealitaskan hal-hal yang sepatutnya sudah dihapus (tindakan penyimpangan kemanusiaan). Maka, tentunya pertanyaan awal yang akan muncul adalah, ada apa dengan pengasuhnya (Universitas)?.

Bukankah niat dasar para orang tua telah memberikan kepercayaan pada universitas sebagai pengganti dirinya dalam mendampingi anak-anak mereka. Dan, jika hari ini realitas kekerasan itu masih disaksikan, dan lagi-lagi anak asuh (Mahasiswa) yang menjadi korban tunggal untuk menyebut aktor antagonisnya. Kalau para anak asuh itulah yang memang bandel dan tak turut pada aturan. Jika sikap ini sebagai pegangan dasar pada para pengasuh. Lalu, masihkah orang tua, atau para manusia yang kelak nantinya dikaruniai anak mau menitipkan buah hatinya pada ibu pengasuh (Alma Mater)?.

Dunia kampus sebagaimana yang dipahami, sungguhlah amat kompleks dalam segala hal. Ruang perkuliahan yang seharusnya dilihat sebagai wadah dialog yang humanis dalam membangun pengetahuan. Secara perlahan bergeser pada transaksi pengetahuan yang kering, seolah Dosen yang datang adalah maha tahu dan mahasiswa sama sekali tidak tahu.

Paulo Freire, pendidikan asal Brasil, menyebutnya sebagai pendidikan “Gaya Bank”. Karena yang terjadi hanya pengulangan-pengulangan pengetahuan dari Dosen (Subyek) ke pada Mahasiswa (Objek). Semakin mempertegas kalau tidak ada penemuan melalui sistem ini.

Mengapa aktualisasi kekerasan (Tawuran) ini masih kerap terjadi. Jika dijawab, maka pendekatannya pasti mengarah pada proses pendidikan agar manusia secara personal mampu menghargai manusia lainnya. Lalu apakah selama ini dalam perkuliahan tidak terjadi proses penyadaran itu. Entahlah, para pembaca bisa menerkanya sendiri.

Kita tak bisa terus-terusan menyalahkan tindakan-tindakan mahasiswa dengan menyudutkankannya ke ruang yang kosong tanpa dialog. Pengalaman yang sudah-sudah sejauh ini pastilah menyisakan beberapa pendekatan yang bisa diterima dan dimaknai dengan kesadaran. Apa itu, mungkin dialog yang bijak bisa menjadi proses awal dari pembusukan potensi kesadaran manusia yang selama ini tak menyentuh "tanah dan kekurangan air. Sehingga embrio kemanusiaan yang ada pada anak asuh maupun pada pengasuhnya mati sebelum lahir.

Sekali lagi, berhentilah menyalahkan mahasiswa, karena tindakan yang demikian bukanlah tindakan seorang pengasuh yang baik. Tetapi, salahkanlah sistem yang mungkin menjadi biak kerok dari kebobrokan ini.

Jika sadar akan hal ini, maka bongkarlah sistem yang tidak memanusiakan dalam dunia pendidikan. Bagaimanapun juga, mahasiswa adalah entitas manusia yang memiliki potensi untuk berubah seutuhnya manusia jika mendapat asuhan (Pendidikan) yang menyiapkan sebab-sebab untuk perubahan itu.

***
Makassar, 15 Sepetember 2011

Komentar

Postingan Populer