Air


Kala melakukan perjalanan antar daerah, tentu kita akan singgah jika merasa lelah, lapar, atau haus. Pilihannya, tentu mencari warung sebagai tempat umum menunaikan hajatan tersebut.

Nah, dari pengalaman itu, pernahkah kita membeli air kemasan? Saya yakin sering! Lalu, pernahkah kita merenungi muasal bisnis pengemasan air yang harganya menyamai bahkan melebihi nilai bahan bakar minyak perliternya. Ya, mungkin topik ini tak pernah menjadi bahan perbincangan. Tetapi sebenarnya, di balik kepraktisan air kemasan yang dikonsumsi sangatlah berkaitan dengan sebuah dominasi dan pengamputasian hubungan sosial.

Vandana Shiva, aktivis perempuan dari India, menceritakan perilaku masyarakat di Rajasthan yang masih merawat hubungan komunal antar warga berupa pembangunan Jal Maindirs, gubuk kecil beratap jerami yang menyediakan kendi berisi air dan diperuntukkan bagi siapa saja secara cuma-cuma untuk melepas dahaga. Hal tersebut dilakukan kala musim kemarau melanda. Semangat ini melatarbelakangi lahirnya Piyaos di India, penyediaan stan air gratis di ruang publik.

Gambaran di atas kurang lebih hendak menjelaskan kalau ada dua pertentangan dari kebudayaan air. Satu kebudayaan melihat air sebagai suatu komoditas untuk penumpukan modal dan bergerak menuju penguasaan sumber mata air untuk dikemas dan dijual kembali kepada masyarakat. Satunya lagi memandang kalau air merupakan wahana bagi manusia untuk bertahan hidup.

Sejarah Air

Dalam bahasa Arab, Urdu, dan Hindustan. Air disebut ab atau abad raho yang berarti salam untuk kemakmuran dan kelimpahan. Karena itu air sama pentingnya dengan pangan dalam menopang kehidupan segala sesuatu yang ada di muka bumi ini. Hal ini patut diingat kalau air yang kita minum di rumah melalui saluran pipa atau yang kita beli melalu botol kemasan, sumbernya berasal dari perut bumi yang diperuntukkan bagi keberlangsungan kehidupan.

Siklus hidrologis merupakan proses ekologis di mana air diterima oleh ekosistem dalam bentuk hujan atau salju. Jatuhnya uap air mengisi ulang mata air, resapan air, dan sumber air tanah. Ketersediaan air dalam suatu ekosistem tergantung pada iklim, fisiografi, vegetasi, dan geologi wilayah yang bersangkutan.(Vandhana Shiva: 2003)

Asumsi lama yang mempertahankan kalau air merupakan sumber alam yang melimpah dan tak pernah habis, adalah asumsi kuno yang hanya melegitimasi korporasi perusahan-perusahan kapital untuk memperdagangkan air. Perebutan sumber mata air pegunungan oleh negara pada dasarnya suatu langkah untuk memudahkan tangan kapital untuk merebutnya. Hal tersebut diupayakan agar perdagangan air dapat terus berlangsung dalam perlindungan negara sebagai legitimasi penguasaan sumber daya. Strategi ini untuk melemahkan perlawanan masyarakat bila menolak kebijakan pengelolaan sumber daya alam di wilayah mereka.

Air memang merupakan anugerah alam, olehnya itu patut disukuri dan kita berhak memperolehnya dengan cuma-cuma, dan perlu dihayati pula, kalau air bukanlah temuan umat manusia. Karenanya air terbatas bila pemakaiannya tidak mengindahkan kaidah-kaidah ekologis yang meliputi unsur ketersediaan air. Yakni meliputi adanya pohon, curah hujan, dan lapisan tanah sebagai tempat resapan. Sehingga pengalihan sumber air dengan adanya aktivitas seperti tambang atau pengelolaan mata air sebagai komoditas dari daerah tertentu jelas akan berdampak buruk pada daerah tersebut karena akan mengalami kegersangan.

Perdagangan Air

Sejarah penguasaan lingkungan muncul atas gagasan ekonom Inggris, Adam Smith. Ia menganjurkan agar pasar bekerja secara bebas, yang berarti cara bagi individu untuk melakukan persaingan bebas termasuk bagi kaum kapitalis untuk mencari keuntungan sebesar yang mereka inginkan. Namun, mengalami nasib sial yang berujung pada krisis yang melanda negara besar sekelas Amerika pada medio 1930.

Menjawab resesi itu, muncullah Jhon Maynard Keynes yang meyakinkan kalau peran negara sangat dibutuhkan untuk distribusi ketenagakerjaan bagi masyarakat. Terapi ini terbukti ampuh pada saat itu yang dijadikan oleh Presiden AS Roosevelt dalam program New Deal yang berhasil membawa negaranya keluar dari krisis depresi besar. Tetapi sekali lagi, konsep ini tak lekang oleh waktu yang berujung pada krsisi kapitalisme di mana pengakumulasian kapital berada pada titik nadir.

Adalah WW Rostow yang berusaha kembali mengembangkan paham ekonomi Keynes menjadi teori pertumbuhan untuk menjawab tantangan pertumbuhan ekonomi kaum kapital pasca kolonialisme. Kemudian didistribusikan kepada negara bekas jajahan sebagai model pertumbuhannya. Akan tetapi model baru ekonomi ini tentu tidak lepas dari gagasan pendahulunya yang berhulu pada Adam Smith, yang sebenarnya model ekonomi ini hanyalah wajah baru dari model ekonomi liberal yang dewasa ini dikenal dengan sebutan Neo Liberalisme (Mansour Fakih: 2002)

Selanjutnya, dimulailah sebuah proyek besar-besaran dalam pengeksploitasian terhadap alam yang ditandai dengan berdirinya korporasi perusahaan pengeloaan sumber daya alam yang menjadikan negara dunia ketiga sebagai basis produksi.

Dampak nyata dari aktivitas perusahaan tersebut jelas berpengaruh pada keseimbangan ekosistem. Air sebagai salah satu unsur vital bagi keberlangsungan hidup menjadi langka sekaligus musibah. Situasi ini tentu berpengaruh pada perputaran cuaca. Curah hujan sangat tinggi ketika musim penghujam tiba dan sebaliknya musim kemarau tak menyisahkan pasokan air dalam tanah.

Kira-kira sejak itulah pertarungan untuk mempertahankan hak atas air di muka bumo ini lahir. Antara pandangan yang melihat air sebagai komoditas dan pandangan yang menganjurkan agar air dijadikan sebagai wahana kehidupan bersama.
_


Komentar

Postingan Populer