Siapa Mengingat Kita, Catatan yang Lupa Buat Teman-teman PPIM (Bagian 6)
Satu hal yang telah dibuat
PPIM, yaitu aksi long march yang tertib sepanjang
dua kilo meter yang dipadati pelajar dari pelbagai sekolah di Makassar”
Awal
Lagu ini sepertinya mewakili kita semua. Tak dimungkiri kalau dalam kebersamaan yang singkat di PPIM kita membangun ruang merindu sekaligus merancang cacian[2]
dalam membangun sejarah kita. Sejarah yang kelak membuat kita sulit melupakan
satu sama lain.
Kak Iqbal berujar saat evaluasi sehari usai longmarch. “Bisa dibayangkan di depan meja redaksi Kompas, ada puluhan bahkan ribuan gambar yang bersaing untuk tampil di halaman depan koran nomor satu itu. Dan, kalian PPIM telah menyisihkan gambar yang lain.[3] Selain media cetak, Trans 7[4] juga merekan gambar aksi pelajar Makassar secara live selama sebelas menit. Dan, saya kira SCTV pun demikian[5].
Kak Iqbal berujar saat evaluasi sehari usai longmarch. “Bisa dibayangkan di depan meja redaksi Kompas, ada puluhan bahkan ribuan gambar yang bersaing untuk tampil di halaman depan koran nomor satu itu. Dan, kalian PPIM telah menyisihkan gambar yang lain.[3] Selain media cetak, Trans 7[4] juga merekan gambar aksi pelajar Makassar secara live selama sebelas menit. Dan, saya kira SCTV pun demikian[5].
Kawan, sampai di mana kita kini. Tolong tunjukkan sesuatu
hal yang sekiranya kita masih saling mengingat. Secara khusus, ketika
teman-teman mengeja ini, saya meminta untuk mengirimkan Alfatiha buat dia.
Teman kita, Arif.
Perihal kabar kematiannya sungguh tak terkabari. Ketika
saya, Anton, Bim, dan Awal bertemu di akhir tahun 2011. Saya mengirimkan pesan pendek kepada Yuki. Awalnya saya meminta
agar Yuki datang, tetapi ia tidak bisa, kemudian saya bertanya perihal Arif, berharap
dapat nomor kontaknya. Yuki membalas kalau Arif sudah wafat. Berita itu
langsung saya katakan pada teman-teman. Kami semua
heran, namun situasi pertemuan yang
teramat rindu. Sejenak kami melupakan kabar Arif.
Barulah melalui refleksi catatan ini, saya berusaha
mengenang, mengingat, dan membicarakan kembali soal sepak terjang Arif di PPIM
dalam kapasitas persinggungan dan ingatan saya soal si cerdas Arif.
Hal yang masih saya ingat ketika di kantor Gama College, ada
sesuatu yang ingin diurus perihal persiapan Workhsop Pelajar se Sulawesi
Selatan, saya lupa persisnya apa yang hendak dikerjakan. Namun yang jelas,
Arif yang didaulat untuk tugas itu. “Berarti Arif harus sakit lagi besok,” kata Kak Iqbal. Yuki tersenyum mendengar
hal itu. Awalnya Arif kecut karena berarti ia tak masuk sekolah lagi. Sakit
merupakan alasan paling tepat untuk meluangkan waktu yang bersamaan dengan
jadwal sekolah dalam menjalankan agenda PPIM.
Kisah lainnya pada kegiatan Try Out Gama College di
Balai Manunggal, Arif salah satu peserta yang bersaing dengan seratusan peserta
yang hadir. Saat itu juga hasil pengerjaan soal akan diumumkan untuk
mengumumkan peringkat sepuluh besar.
Tak lama kemudian, sunyi senyap berubah dengan riuh ramai
suara pelajar yang tak sabar menunggu hasil pekerjaan mereka. Tim Gama College
telah menyiapkan bentuk presentasi dengan program power point yang
mengundang adrenalin. Saya turut berdebar menantikan hasil meski tak ikut
dalam pengerjaan soal itu. Saya tau diri untuk hal seperti ini. Karena sampai
sekarang saya tidak bisa menghafal perkalian satu dan seterusnya.
Sebagaimana akhirnya, perasaan debar tergantikan
dengan dua situasi. Pertama, rasa
bangga bagi mereka yang masuk sepuluh besar. Kedua, simpatik bagi bagi mereka yang belum masuk kategori
tersebut. Kalau mereka harus belajar lebih giat lagi.
Usai kegiatan, anak-anak PPIM berbincang dengan Kak
Iqbal, dalam candanya, ia pun berdebar menantikan Arif masuk sepuluh besar.
Arif tertawa, lalu berkata: “Saya tidak konsenterasi tadi, Kak”. Ya, nama Muhamad Arif
tidak masuk dalam daftar sepuluh besar saat itu. Apakah karena PPIM sehingga
Arif tidak mampu menembus sepuluh besar? Entahlah, yang pastinya saya sepakat
kalau Arif merupakan tipikal pelajar yang masih mampu menyeimbangkan situsi
belajar di sekolah dengan aktivitas berorganisasi. Setidaknya, saya mengaku kalah
kalau urusan Matematika.
Selamat jalan kawan, kami sungguh tak tahu hari-hari
terakhir dimana engkau berjejak di bumi ini. Ruang ketika kita menjawab
eksistensi selaku pelajar Makassar. Teman-teman pasti tersenyum dengan potongan
ingatan ini. Mungkin pula menangis.
Arif, tahukah engkau. Kalau PPIM belum mati, ia selalu
hidup dalam diri kita semua. Kini lembaga yang kita banggakan itu sedang mencuri
nafas di dunia maya. Ia adalah grup Facebook,
saya bahkan meggunakan namanya sebagai akun pribadi. Lewat jejaring sosial ini,
saya, Anton, Bim, Awal, Jamil, dan Yuki mencurah gagasan dan ingatan. Sekali
waktu kita merancang pertemuan meski selalu batal. Lewat grup ini pula, secara
perlahan beberapa teman berhasil diketemukan. Ada Siska Rini, Yuni, Amma, Arin,
Senja, Kak Iful, Kak Marwan, Kak Iqbal, Kak Yus, Kak Narty serta beberapa
teman yang lain dimasukkan oleh Anton.
Arif, kami mohon maaf sekiranya dalam perjumpaan kita
di tahun 2003 ada sesuatu yang membuatmu marah, jengkel, dan sebagainya. Saya,
yang mungkin juga berlaku bagi teman-teman yang pernah mengenalmu di PPIM yang
sebelumnya tak mengetahui kabar perihal ini. Pasti heran tak percaya dan
mencoba bertanya kembali secara berulang perihal kabar ini. Selanjutnya, teman-teman
yang juga telat mengetahui kabarmu, pasti mencoba menangkap wajahmu, mengingat
perilakumu sebelum berdoa.
Arif, dalam penggarapan catatan ini, sebisa mungkin saya
tidak mempercantik kata, saya mau kabar kematianmu yang telat melalui pesan pendek yang dikirimkan Yuki tetap berjalan
sebagaimana adanya. Bahwa kau telah tiada. Ditambah lagi perjumpaan kita yang
singkat. Kisah tentangmu sejak kita mengenal, cuma ada dua sebagaimana yang
saya ceritakan di atas.
Arif, saya ingin mengenangmu dengan sepotong puisi dari Wislawa
Szymborska,
dalam puisinya bertajuk Kucing di Apartemen. Penyair Polandia peraih Nobel sastra 1996
itu menuliskan:
seseorang
pernah selalu ada di sana
selalu
ada di sini, kemudian
tiba-tiba
lenyap
dan
terus menerus lenyap.
Arif, ini janji saya. Saya akan mencari tahu alamat
rumahmu dan menzirahi kuburmu. Cepat atau lambat.
*
Pangkep, 2012
[1] Ini merupakan potongan lagu dari Pas Band feat Tere berjudul Kesepian Kita yang selalu dinyanyikan Bim dengan Yuki. Lagu ini juga dinyanyikan sewaktu kegiatan Morning Cafe. Suatu ketika Bim bilang kalau suara Yuki mirip
suaranya Tere (Tere habis dalam bahasanya Bim).
[2] Cacian saya terjemahkan sebagai perbedaan pendapat. Masalah ini saya
kira sudah tuntas pada bagian 2 dan ke 3 yang dilengkapi dengan komentar
teman-teman.
[3] Keterangan soal ini, Anton masih menyimpan arsip kliping koran
tersebut.
[4] Saat itu masih Tv 7
[5] Salah satu OB di Kampus I UMI menceritakan demikian, hal yang sama
juga diceritakan seorang teman di kampung, ia melihat aksi pelajar yang tumpah
ruah menolak agresi Militer AS ke Irak
[6] Nama lengkapnya Muhammad Arif, tubuhnya kurus dan selalu berpakaian rapi,
lugu, dan tentu saja cerdas. Utamanya soal Matematika, saat itu, anak SMU
Negeri 17 Makassar memang di kenal pandai soal pelajaran eksak.
Komentar