Emak dan Anak Ayam

Mengakumulasi ingatan dari kecil hingga sekarang tentang kisah, sosok, rasa, dan macam-macamnya seputar emak. Sungguhlah teramat banyak. Sebagai anak lelaki bungsu dari 12 bersaudara (tiga wafat), tentunya saya anak terakhir yang memperoleh bimbingan, ajaran, dan pengawasan yang boleh dibilang serba sedikit.

Hal ini saya ketahui dari cerita saudara dan dari emak sendiri. Situasi saat itu sangat wajar karena emak seorang pattekeng yang menjelajahi beberapa desa. Itu dilakukan untuk menutupi belanja sehari-hari kebutuhan keluarga. Emak memiliki rekan kerja yang amat luas untuk mengambil barang dan kemudian dijual kembali. Beberapa di antaranya masih dapat saya kenali meski saya lupa namanya.

Hal yang saya ingat dari aktifitas emak. Adalah sepasang baju menggunakan kancing buka tutup. Saya tentu saja senang dengan baju itu, selain karena jenis kancingnya yang memudahkan saya untuk memakainya. Juga karena motifnya yang tak ada samanya dengan anak-anak sebayaku saat itu. Hebatnya lagi, baju itu dilengkapi celana bermotif sama.

Suatu ketika saat saya masih kelas satu sekolah dasar. Emak dengan susah payah berusaha melengkapi pakaian seragamku, meski pada akhirnya belum berhasil dengan sempurna. Karena saya masih menggunakan celana merah hati yang kedodoran warisan kakak yang memilih berhenti sekolah, dan melengkapinya dengan baju putih milik saudara perempuan yang ia permak sendiri agar pas di badan saya.

Di bangku sekolah dasar kelas satu, saya menjadi murid pertama yang bisa mengeja dengan fasih pelajaran membaca ‘Ini Ibu Budi’. Dengan prestasi itu, tentu saja saya memperoleh peringkat pertama pada ujian akhir menuju kelas dua. Prestasi yang demikian berlanjut hingga saya tamat sekolah dasar. Rangking saya hanya berputar dari angka 1, 2, dan 3. Hanya sekali rangking 4 sewaktu kelas tiga.

***
Ini cerita lain sewaktu masih kecil, emak selalu mengingatkan untuk memantau anak ayam yang sedang bertualang bersama induknya mencari makan. “Itatatai manue kutunrang, nanre ammasi kaliwajang”. Pesannya dalam bahasa Bugis. Emak sangat gemar mengembangbiakkan anak ayam. Fungsi kepemilikan ternak di kampung adalah simbol kalau dalam satu keluarga masih bisa untuk disebut sebagai keluarga yang memiliki persediaan sandang yang cukup. Karena pada dasarnya pekerjaan utama di kampung Bugis merupakan petani. 

Selain barometer kepemilikan ternak tadi, sawah juga menjadi simbolisasi dari tingkat kesejahteraan bagi masyarakat di desa. Hal ini sangat saya rasakan ketika sawah yang dulu digarap, digadaikan untuk membangun rumah, yang kemudian harus dijual karena masa perjanjian penggadaian sudah lewat ditambah nilai tukar untuk pengambilan kembali tentulah sudah meningkat dari pengambilan uang gadai sebelumnya.

Kala bapak masih hidup, saya tak cukup punya sejarah menikmati kepemilikan ternak. Beberapa ekor sapi yang dipelihara harus dijual untuk membiayai sejumlah kebutuhan. Termasuk biaya pengobatan bapak di rumah sakit. 

Secara berangsur-angsur ayam dan itik tak lagi bersuara ribut di bawah kolong rumah meminta makan. Hal yang selalu membuat saya bangun pagi untuk berebut dengan saudara mengambil telur itik.

Beberapa tahun setelah bapak wafat, melayangnya sawah, dan semakin tuanya emak. Ia tak lagi melakoni hidup sebagai pattekeng, agar dapur tetap mengepul, suadara lelaki bekerja sebagai buruh tani pada tetangga sembari matteseng galung.

Situasi ini berjalan lumayan lama sebelum kakak lelaki dipaksa oleh kakak tertua untuk melanjutkan sekolah di Makassar hingga menamatkan sekolah menengah pertama. Setelah selesai, kakak tertua kemudian menikah dan mengikuti suaminya merantau di Sorong. Merasa belum puas atas tingkat pendidikan kakak lelaki, ia pun mengajaknya ke Sorong untuk melanjutkan ke tingkat atas.

Dalam proses ini, saya masih berdiam di kampung bersama seorang saudara perempuan, sawah garapan milik orang lain tak lagi dikerjakan karena keterbatasan tenaga. Di periode ini. Saya, emak, dan saudara membangun jalan cerita baru. Setiap musim panen tiba, kami selalu pergi massaro. Situasi ini berlangsung begitu lama, dan emak tak pernah menyerah. Kalau tidak salah. Hal ini diakhiri setelah kakak perempuanku menikah dan saya memenuhi ajakan saudara perempuan lainnya ke Makassar guna melanjutkan sekolah ke jenjang menengah atas.

Jadi, emak menantang hari seorang diri di kampung. Mengetahui hal itu, saudara tertua di Sorong jelas marah. Ia kemudian meminta seorang kakak perempuanku yang juga tinggal di Makassar untuk kembali ke kampung. Namun, emak memberi sinyal kalau dirinya masih sanggup hidup seorang diri. Ia bahkan berniat mengajak emaknya yang tinggal di Maros di rumah adiknya, agar tinggal di Pangkep saja. Akhirnya, jadilah nenek saya menetap di kampung hingga wafat di tahun 2005.

***
Kala sekolah di Makassar, jarang sekali saya pulang ke kampung. Meski jarak tempuh hanya memakan waktu sejam lebih dengan ongkos pete-pete sepuluh ribuh rupiah. Tetap saja saya jarang pulang. Saya mengingat sekali waktu kala pulang, emak mesti menjual se ekor ayamnya guna mendapatkkanku ongkos kembali ke Makassar. Kejadian itulah yang membuatku betah di kota.

Saat itu emak kembali memelihara ayam dengan perkembangan yang cukup pesat. Setidaknya selalu saja ada anak ayam yang ia kurung terpisah dari induknya. Jelas saja anak ayam yang masih kecil-kecil itu bercicit terus menerus meski sudah diberi makanan, apalagi menjelang magrib. Cicit ayam itu semakin keras dan berulang. Teriakannya jelas, merindukan induknya agar tubuh mungilnya bisa berselimut di sayap induknya untuk menghindari dinginnya malam.

Secara terpisah induknya juga dikurung di tempat lain yang memungkinkannya tak dapat melihat anaknya. Saya sering heran dengan perilaku emak yang demikian. Ketika saya tanyakan, ia menjawab dengan asumsi yang luar biasa ekonomis. Katanya, metode ini mampu meningkatkan produktifitas ayam. Mengapa? Karena induknya akan leluasa untuk bertelur lebih cepat lagi.

Entah dari mana emak mengetahui teori peternakan itu, dari buku jelas tidak. Setahuku, emak hanya rajin membaca buku primbon wanita dan sebuah buku tafsir mimpi. Itu pun sudah lama ditinggalkannya, dan sekarang lebih giat membaca Alquran saja.

Lantas! Darimana emak mengadopsi ilmu ternak ayam yang memilukan ini. Rujukannya baru kuketahui setelah saya melihat perilaku tetanggga yang juga menerapkan ilmu ternak yang demikian. Anak ayamnya begitu banyak dan dibuatkan kandang khusus yang diberi penerangan cahaya sebuah bohlam lampu 5 watt. Berdasarkan keterangan yang kuperoleh, fungsi lampu itu sebagai penghangat dari dingin dan sebuah tanda bahaya bagi tikus atau kucing. Hem! Rupanya begitu.

Tetapi tetap saja saya kurang sepakat dengan metode ini. Hingga saya menyelesaikan sekolah menengah atas dan kembali ke kampung, emak masih melakoni beternak ayam.
Di saat tertentu kala mendapati anak ayam yang dikurung terpisah dengan induknya. Saya lalu memulangkan anak ayam itu ke induknya dan membiarkannya berkeliaran di halaman. Saya tak perlu khawatir akan keselamatannya. Karena Kaliwajang sudah lama menghilang di angkasa. Mungkin burung pemangsa itu sudah punah. 

Saya selalu tak peduli dengan teguran emak setiap kali ia melihat anak ayamnya berkeliaran di halaman. Tegurannya tidak akan berhenti sebelum ia berhasil menangkap anak ayam itu kembali dalam kurungannya. Namun, saya tak pernah jera untuk kembali melepas anak ayam itu kepangkuan induknya sampai induknya sendiri yang memintanya untuk berjuang sendiri melawan takdir hidupnya. Apakah akan dijual, dipotong, ataukah dibiarkan berkembang biak.

Usaha saya bukan hanya tindakan semata, disaat tertentu saya sering menjelaskan kepada emak, kalau anak ayam itu akan mengalami depresi dan lekas mati jika terlalu cepat memisahkan dengan induknya. Saya bahkan memberikan analogi kehidupan manusia saat masih bayi. Tapi emak akan mengulang pledoi yang sama: “Maega to caritanna yae”. Emak menyebut saya banyak cerita karena terlalu banyak membaca buku. Tapi tak cakap mengembangkan keilmuan untuk kehidupan nyata.

Usaha emak beternak ayam dengan metode yang berbeda kala saya masih kecil, rupanya menjadi pemantik agar dapur tetap mengepul. Sadar dengan ijazah sekolah menengah atas yang kubawa pulang ke kampung yang tak bisa kupakai guna menjawab waktu kehidupan, membuatku menetapkan pilihan untuk merantau. Menyusul kakak tertua di Sorong, Papua Barat. 

Emak mengamini semuanya, ia tidak memaksaku tinggal di kampung. “Itaniro, anak manue lagi naulleni natuoi alena” Kata emak saat niatku kuutarakan.

***
Makassar, 14 Februari 2013

Catatan:

1.    Pattekeng: Pedagang yang menyicilkan barang dagangannya
2.    Matteseng galung: Petani yang menggarap sawah orang
3.    Itatatai manue kutunrang, nanre ammasi kaliwajang: Perhatikan anak ayam, jangan sampai dimangsa kaliwajang (burung Elang)
4.    Maega to caritanna yae: Banyak bicara
5.    Itaniro, anak manue lagi naulleni natuoi alena: Renungkanlah, anak ayam saja, sudah bisa mandiri.



Komentar

Postingan Populer