Siapa Mengingat Kita, Catatan yang Lupa Buat Teman-teman PPIM (Bagian 4)
“Kita adalah pahlawan dari cerita kita
sendiri”
Bim
Saya hampir sakau memaksa otak untuk bekerja lebih giat lagi, lebih keras, dan tekun untuk mengais sisa-sisa ingatan yang tertinggal di tahun 2003 silam. Bagaimana pun juga bagian keempat ini harus tuntas. Seolah sedang mengerjakan skripsi, saya sepertinya dikejar target meski belum semua teman-teman di grup Facebook memberikan komentar, kritik dan apresiasinya.
Sampai
di sini, saya jadi teringat dengan suatu
kejadian kala mengurus
outbond di Bantimurung. Keputusan rapat persiapan menyimpulkan bila program ini memerlukan
sokongan bantuan dari pihak Pemerinta Daerah (Pemda) Maros. Kak Iqbal selalu mengingatkan kalau pada
dasarnya orang enggan memberikan bantuan berupa uang, tetapi lain hal jika
menyangkut makanan.
Maka berangkatlah saya dengan Anas, dari SMU Ngeri 5 ke Maros untuk memasukkan proposal bantuan dana. Hari pertama jelas saja tidak bertemu dengan Bupati. Seingat saya, Bim dan Jamil juga pernah terlibat untuk urusan ini. Mungkin di hari kedua atau ketiga. Hingga pada akhirnya, saya kembali ke Maros karena di hari terakhir workshop pelajar se Sulawesi Selatan peserta akan bertandang ke Bantimurung.
Maka berangkatlah saya dengan Anas, dari SMU Ngeri 5 ke Maros untuk memasukkan proposal bantuan dana. Hari pertama jelas saja tidak bertemu dengan Bupati. Seingat saya, Bim dan Jamil juga pernah terlibat untuk urusan ini. Mungkin di hari kedua atau ketiga. Hingga pada akhirnya, saya kembali ke Maros karena di hari terakhir workshop pelajar se Sulawesi Selatan peserta akan bertandang ke Bantimurung.
Setelah
lama menunggu giliran untuk masuk di ruang wakil bupati Maros. Akhirnya bagian protokol mempersilakan dengan pesan yang
sama bagi setiap tetamu yang ingin berjumpa.
“Jangan terlalu lama. Banyak yang antre,” tukasanya.
Kami berempat ke Maros waktu itu, saya membonceng sam Anas dan Bim bersama Jamil. Dalam audiens
dengan Wakil Bupati, mula-mula diajukan permohonan kemungkinan biaya gratis bagi
pelajar yang jumlahnya sekitar 60 orang masuk di Bantimurung. Tetapi, pihak Pemda mengatakan kalau pengelola Bantimurung itu punya struktur
pengurus sendiri dan Pemda tak bisa mencampurinya. Setelah negosiasi lagi, pihak
pemda kemudian bersedia menggratiskan sepuluh tiket gratis saja. Lalu
disodorkan kembali tips Kak Iqbal soal derma makanan. Mendengar itu, Pak wakil
kontan tertawa aneh dan sudah cukup jelas kalau ia menolak.
Sekitar
pukul tiga sore kami kembali ke Makassar berkumupul
kembali dengan teman-teman lainnya di Leg Baruga Antang dan mengabarkan hasil dari Maros.
Dalam rapat, kami
kabarkan hasil negoisasi, saya perlihatkan sehelai kertas yang siap ditukar
dengan sepuluh tiket gratis. Kak
Iqbal kembali menyemangati kami dan memastikan kalau outbond esok
hari akan tetap digelar.
Selanjutnya, kamis berbaur menyiapkan kembali keperluan outbond. Saya agak lupa, apakah pada saat itu muncul ide untuk menggunakan bus Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan atau tidak, yang pasti rombongan diangkut dengan mikrolet dengan bayaran 60 ribu pulang pergi. Saya lupa berapa jumlah mikrolet yang digunakan saat itu.
Selanjutnya, kamis berbaur menyiapkan kembali keperluan outbond. Saya agak lupa, apakah pada saat itu muncul ide untuk menggunakan bus Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan atau tidak, yang pasti rombongan diangkut dengan mikrolet dengan bayaran 60 ribu pulang pergi. Saya lupa berapa jumlah mikrolet yang digunakan saat itu.
*
Esoknya rombongan siap berangkat ke Bantimurung dengan wajah yang berseri.
Saya kira semua dalam keadaan yang demikian karena semalaman setelah materi
terakhir workshop, anak-anak
berdebat mengenai program PPIM[1].
Saya merasakan betul puncak klimaks ketegangan malam itu, saya tentu saja
tampil berbicara dengan ocehan[2]. Ipa pun tak tinggal diam[3]. Ada
satu orang (saya lupa namanya, kalau tidak salah dari SMU Negeri 11) tampil berbicara dengan memberikan
analogi gerakan yang kontan membuat forum tertawa.
Saat itu saya kadang berfikir, sebenarnya siapa kita ini.
Seingat saya, Amin, sekjend terpilih di kongres dari SMU Negeri 11 tidak berbaur dalam kegiatan workshop yang menguras tenaga
itu. Hal yang sama dengan Senja dari SMU Negri 8 pun demikian, yang pada awal-awal PPIM mereka adalah bagian dari
struktur kesepakatan kongres. Serasa ada marah yang ingin keluar berteriak
ketika itu. Tetapi
untuk apa! Siapa yang peduli dengan kita saat itu, dan siapa yang kini
mengingat kita. Lalu kenapa pula saya mau menghabiskan waktu di depan layar
komputer menuliskan semuanya[4].
Untuk hal ini saya selalu kalah dalam merampungkan jawaban.
Dalam rentang waktu sepuluh tahun. Saya kira sebuah jarak
yang sudah sangat lama yang memungkinkan kita semua melupakan segala sesuatu
yang terjadi di tahun 2003 lalu di kamar PPIM. Sebagai bukti akan realitas ini.
Ada beberapa kejadian yang sudah saya lupa, termasuk nama beberapa teman. Hal ini pasti berlaku juga bagi teman-teman yang lain.[5]
Dalam kaki waktu sepuluh tahun itu, sudah
jelas kita semua terlibat kesibukan di kehidupan masing-masing yang
membuka peluang sebesar-besarnya untuk mengubur ingatan di PPIM. Meski tak
semuanya jatuh ke liang lahat.
Di selah
waktu sepuluh tahun itu, saya sendiri tak sepenuhnya mati dalam menjalin kontak
dengan Bim, Anton, dan Awal. Walau tidak padat dan segiat semasa di PPIM. Saya
ingat di tahun 2004, Anton
membawa saya di fakultasnya
dan membiarkan membongkar isi kamar di rumahnya. Di sana kemudian saya melihat
kembali sejumlah foto kegiatan yang saya ambil sebagian. Ada foto saya sedang
memanjat pohon sewaktu memasang spanduk di Bantimurung. Saya mau ambil gambar
itu, tetapi Anton tidak memberikannya.[6]
Pita Merah
Pita merah adalah salah satu simbol yang kita gunakan
dalam menandai sejarah pelajar Makassar. Itu adalah sebuah identitas yang berumur
panjang. Saat ini mungkin cuma Bim yang menyimpannya. Ia katakan masih
menyimpannya sewaktu bertemu di warkop Dg. Sija tahun 2011 kemarin.[7]
Pertemuan itu merupakan yang pertama dimana saya, Bim, Anton, dan Awal duduk berhadap-hadapan. Kami tertawa mengingat masa lalu. Ya, sekali lagi masa lalu. Tampak ada beberapa obrolan yang masih ingin terus dirahasiakan[8], dari pertemuan ini sebenarnya kita hendak membangun komitmen untuk selanjutnya menjaga rutinitas pertemuan. Karena realitas pribadi harus dijawab, maka gagasan untuk rencana ini kembali terhenti.
Pertemuan itu merupakan yang pertama dimana saya, Bim, Anton, dan Awal duduk berhadap-hadapan. Kami tertawa mengingat masa lalu. Ya, sekali lagi masa lalu. Tampak ada beberapa obrolan yang masih ingin terus dirahasiakan[8], dari pertemuan ini sebenarnya kita hendak membangun komitmen untuk selanjutnya menjaga rutinitas pertemuan. Karena realitas pribadi harus dijawab, maka gagasan untuk rencana ini kembali terhenti.
Di sela proses penggarapan bagian keempat ini, saya kembali mengecek group Facebook, berharap
ada tambahan informasi dan komentar dari teman-teman yang telah bergabung. Tetapi tetap saja cuma Anton yang menempati
urutan pertama. Menarik
juga tanggapan dari Bim di blog. Poin yang saya tandai ialah, ia akan membuat catatan khusus soal
tantangan pengungkapan jujur soal perempuan di PPIM.
*
Sekali waktu usai rapat membahas kegiatan Morning Cafe di Gama Collge Maccini. Saya dan Jamil lalu kebagian tugas ke Pantai Losari lebih dulu. Dengan rasa bangga tugas
itu kami terima dan bersiap ke arah tujuan. Sebelumnya Jamil sudah bilang kalau
dia sama sekali tidak mengantongi uang yang, berlaku pula pada saya. Lalu, solusinya bagaimana, saya hanya bisa
diam sebelum sepakat untuk berjalan kaki saja.
Namun, saya kira rencana itu tak sungguh kami jalani.
Jamil terus nyengir dengan senyum merobek hati. Situasi ini menjadi berat untuk
saya sampaikan sewaktu rapat. Kami menyadari kalau pelajar yang aktif di PPIM
bisa dikatakan didominasi dari kelas ekonomi menengah ke bawah. Karena jika ada
kelas atas, mungkin cuma berlaku pada Senja[9].
Saat itu Jamil tidak membawa sepeda motor Shogun kebanggaannya. Entah dipakai saudaranya
atau karena sesuatu hal.
Intinya tak ada uang di saku sama sekali.
Hingga rapat benar-benar telah usai dan anak-anak PPIM
mulai meninggalkan ruangan Gama College. Saya dan Jamil masih mempertahankan suatu kebanggaan yang sebentar lagi membuat kami menderita sejadi-jadinya. Bisa
dibayangkan jarak yang harus ditempuh dengan berjalan kaki dari Gama College di
Maccini menuju Pantai Losari.
Beberapa anak-anak sudah ada yang mulai pulang ke
rumahnya masing-masing untuk mengganti baju. Saya dan Jamil pun mulai berjalan.
Tak lama kemudian senyum Jamil kembali merekah. Ya, Tuhan, senyum itu. Ia seakan menelan
saya dalam-dalam. Saya yakin Jamil mampu menangkap harapan saya kala itu. Tetapi tetap saja berat untuk diutarakan.
Sesekali saya menoleh kebelakang melihat Siska Rini,
Yuni, dan Amma yang sebentar lagi berlalu. Lalu saya membandingkan senyum
rekahnya Jamil. Ya, Tuhan. Kami sungguh tak sanggup berjalan sejauh itu meski
hari sudah sore.
Lalu keputusan berubah dengan tiba-tiba. Saya meneriaki Siska, Yuni, dan Amma. Dengan sigap Jamil berlari kecil ke arah mereka. Sore itu, kami membuang ego yang pantasnya tak perlu dipertahankan. Kami berdua menggunakan dana PPIM sebagai ongkos pete-pete ke Losari. Sesudahnya, senyum Jamil mengembang berkali lipat.
Lalu keputusan berubah dengan tiba-tiba. Saya meneriaki Siska, Yuni, dan Amma. Dengan sigap Jamil berlari kecil ke arah mereka. Sore itu, kami membuang ego yang pantasnya tak perlu dipertahankan. Kami berdua menggunakan dana PPIM sebagai ongkos pete-pete ke Losari. Sesudahnya, senyum Jamil mengembang berkali lipat.
Ya, Tuhan. Saya sungguh merindukan senyum itu.
*
Pangkep, 2012
[1] Saya sebut saja demikian, sebenarnya saya agak lupa apa topik
pembicaraan malam itu, saya juga sudah lupa, apakah peserta workshop ikut serta
dalam forum ini atu tidak. Jika ada teman yang masih mengingat dengan jelas,
mohon diceritakan.
[2]Saya tidak ingat lagi apa yang saya bicarakan saat itu, sungguh saya
lupa.
[3] Bisa dikatakan kalau Ipa merupakan perempuan yang selalu bicara banyak
dibandingkan yang lain. Forum sungguh tegang, tetapi alur pembicaraan hanya berakhir pada
beberapa orang saja meski jumlah dalam forum lumayan banyak. Mungkin dalam
pikiran teman-teman yang lain mengatakan kalau kita ini sedang membicarakan
sesuatu yang tidak jelas. Entahlah.
[4] Semangat untuk menuliskan ini semua sebenarnya sudah sangat lama, tetapi selalu saja tertunda. Saat itu saya
tidak tahu bagaimana cara menyebarnya ke teman-teman jika sudah saya tulis.
Meski saya dan Anton sempat membuat buletin dengan nama ‘Ma'Baca’ yang hanya terbit sekali saja. Saya menyumbang satu
tulisan bertema pendidikan. Di dalam buletin itu juga dituliskan tebal-tebal
ucapan selamat kepada Yuki yang lulus di Unpad, Bandung dan Eci yang lulus di Unhas.
[5] Itulah makanya judul utama catatan berantai ini saya namakan ‘Siapa yang
Mengingat Kita, Catatan yang Lupa Buat Teman-teman PPIM’.
[6] Semoga Anton masih menyimpan gambar itu
[7] Siapa yang masih menyimpan pita ini. Pita yang kita ikat di kepala
pada saat longmarch. Pita ini sempat
mendekam di kamar saya selama 9 tahun. Pita itu hilang tiba-tiba di kamar saya,
mungkin emak saya yang membuangnya karena ia bergelantungan di jendela.
[8] Saya menebaknya kalau yang rahasia itu adalah soal perempuan.
[9] Ukurannya sedikit kaku, karena saya menilainya dengan penggunaan telepon genggam. Seingat
saya hanya Senja dan satu lagi dari SMU Negri 17 (saya lupa namanya) yang menggunakan benda
canggih itu.
Komentar