Siapa Mengingat Kita, Catatan yang Lupa Buat Teman-teman PPIM (Bagian 3)
“Sayap saya tertinggal di PPIM
yang membuat saya tidak bisa terbang
tinggi di dunia kemahasiswaan”
Anton
Pelajar, Kekasih yang Terkasih
Sebelum
membahas slogan di atas, terlebih dahulu saya ingin mengucapkan banyak terima kasih
yang tak terhingga kepada teman-teman bermimpi di PPIM yang memberikan tanggapan, apresiasi, dan kritik atas pembacaan dua catatan
ingatan saya sebelumnya. Jujur, kawan. Saya sangat bahagia akan semua itu.
Jamil menjadi
penanggap pertama dengan megungkapkan harunya,
Awal memberi catatan tambahan terkait sejarah longmarch sewaktu aksi, Bim juga memberikan responsnya dan
mengingatkan agar kita jangan begitu terlena dengan kejadian masa lalu. Ia menawarakan agar masa kekinian kita aktual kembali (Kedua tanggapan ini
masing-masing diposkan di blog). Lalu seperti dugaan awal saya sebelumnya,
Anton akan memberikan tanggapan panjang, kritik, sekaligus apresiasi. Memang inilah yang saya tunggu.
Sekali
lagi kawan-kawan, saya
tak memiliki hajatan untuk membangun ruang agar kita menjauh. Sebaliknya dengan
pengungkapan ini, saya harapkan kita semua semakin berjodoh di setiap jengkal waktu meski kita semua
berjauhan. Dalam dunia maya inilah kita bisa kembali bercengkrama, dan saya
kira inilah niat dasar dalam menuliskan catatan ingatan ini. Karena bagi kita
PPIM tak pernah mati.[1]
Yang harus
disepakati secara saksama, ialah kalau
detik-detik dalam ruang PPIM tak semuanya kita terlibat bersama. Saya kira ada
sudut-sudut dimana kita sendiri-sendiri membangun
komunikasi dan
ikatan. Pada wilayah ini saya sangat meyakini kalau orang-orang yang pernah
terlibat di PPIM memiliki hal-hal demikian.[2] Inilah yang tengah saya lakukan, mengumpulkan remah ingatan yang sifatnya kesan pribadi. Maka tak salah kalau dalam tanggapannya
Anton, mengatakan kalau ada poin dimana saya begitu berlebihan.[3] Hal
ini saya kira wajar dan saya menerimanya.
Tetapi
saya kira kita semua tak perlu mendaramatisasi lagi hal yang demikian. Tanggapan Anton yang mengatakan kalau catatan saya memaksa dirinya memasuki
kembali lorong waktu di tahun 2003-2004 adalah sikap heroik yang membuat saya
tertawa. Bukan karena ejekan namun rasa bangga dan hormat pada kawan lama. Saya
sangat yakin kalau Anton membaca catatan saya dengan tekun dan teliti.[4]
Tagline
Sebagaimana
sebelumnya di awal kalimat bagian ketiga ini, saya ingin menelaah slogan yang
dipakai PPIM, yakni Pelajar. Kekasih yang Terkasih. Anton memberikan koreksi
pada catatan sebelumnya (Bagian kedua).
Kalau slogan Anak Zaman yang Melahirkan Zaman bukanlah sumbangan ide dari Kak
Iqbal melainkan dari Kak Iful. Buah
pemikiran Kak Iqbal, ialah
slogan Pelajar, Kekasih yang Terkasih. Sebenarnya secara historis, kesan, dan
pengalaman. Saya tak begitu memiliki otoritas untuk menjelaskan penggunaan tagline ini. Selanjutnya dalam waktu
cepat atau lambat saya sangat mengharapkan Anton membahas ini dalam catatan
kecil yang ia janjikan.
secara semangat kedua slogan sumbangan ide ini (Kak Iqbal dan Kak Iful) saya
sependapat dalam beberapa kesempatan keterlibatan organisasi
yang saya geluti. Slogan ini sering saya gunakan. Tapi tentu saja semangat yang
tertuang di dalamnya,
bukan bunyinya secara literer.
Perjumpaan,
agenda, dan tentu saja perempuan. Sebenarnya ada banyak elemen yang terbangun di setiap lembaga. ketiga hal inilah
yang selalu menyita waktu untuk diresapi. Mengapa demikian? Saya kira kita tak
perlu bertanya pada rumput yang bergoyang seperti dalam tembang Ebiet G Ade yang melegenda itu.
Karena jawabannya ada pada pengakuan jujur kita masing-masing. Nah, siapa yang
mau jujur untuk hal ini. Anton sudah memulai membuka kode meski belum
menyebutnya secara jelas.[6]
Momen
ini saya kira tak pernah absen dalam hari-hari yang kita lewati. Di saat tertentu semasa di PPIM, saya dan Bim selalu membincangkan topik ini. Ia menceritakan
kalau ia tengah diapit dua perempuan dari
sekolah yang berbeda.[7] Tetapi ia sulit menetapkan pilihan karena sebuah pembenaran. Ia tak ingin PPIM terganggu karena hal yang demikian. Halah!
Perbincangan-perbincangan
seperti ini bisa dikatakan sebagai penyegaran dari
kepenatan dalam berkegiatan. Kalau tidak salah, salah satu perempuan PPIM yang
selalu menjadi topik pembicaraan adalah
Oktarina dari SMU Negeri 4 Makassar. Suatu ketika ia hadir dalam
pertemuan yang sejenak menghentikan jalannya rapat. Ia bagaikan iklan sebuah
sabun mandi. Sungguh menggugah, wangi, dan mengalihkan dunia. [8] Mengingat ini, rasanya ingin kembali ke tahun 2003.
*
[1] Jujur, saya berusaha menahan tangis saat menuliskan bagian ketiga ini meski itu susah.
Saya sendiri belum bisa memetakan alasan, mengapa hari-hari di PPIM begitu
tertanam dalam benak saya.
[2] Sebenarnya saya sangat mengharapkan teman-teman yang sudah gabung di
grup FB ini menuliskan kesaksian kecilnya dan ingatannya sewaktu di PPIM.
Karena dengan itulah kita bisa saling menanggapi.
[3] Anton menanggapi kalau hubungannya dengan Bim sangat harmonis, dan
memang sangat harmonis, meski saya tak hadir dalam kongres kedua. Saya bisa menerka
kalau mereka berdua serta Awal, Jamil, dan kawan-kawan yang lain adalah pemimpin dalam
menyukseskan kongres. Terkait wacana penolakan lagu mars yang dibuat Bim (baca
bagian kedua)
yang saya ingat demikian adanya, sewaktu saya dan Anton bertemu (saya lupa
kapan pertemuan itu) dalam pembicaraan tersebut. Secara eksplisit, Anton tidak berkata
demikian, tapi ada rasa tidak sepakat dengan lagu itu. Sungguh kawan, dialog
ini masih saya ingat.
[4] Saya akan menagih janji kawan soal catatan kecil yang membahas
keterlibatan Kak Iqbal di PPIM, sekaligus sejarah semangat dalam pembentukan
PPIM, karena saya tak mengetahui hal tersebut. Lagi pula keterlibatan saya di
PPIM bisa dikatakan sebagai takdir sejarah saja (Mungkin pula berlaku
pada Bim).
[5] Pertama, kalimat ini merujuk pada satu kalimat tanggapan Anton atas catatan
bagian kedua yang dikatakan kalau ia dan Bim harmonis saja, kecuali dalam hal cinta. Hem! Menarik juga. Kedua, merujuk pada salah satu
puisi dalam buku Cataan Seorang Demonstran yang ditulis Soe Hok Gie. Atau versi
terbarunya dalam rekaman suara Nicolas Saputra yang menjadi bintang dalam film
Gie.
[6] Sebagaimana adanya, rasa itu selalu saja hadir meski tidak tepat waktu
dan salah tempat. Saya pun melakukan yang demikian. Karena saya telanjur jujur
melalui dua bagian catatan sebelumnya, maka terkait hal ini saya hendak membuka
tabir rahasia itu sebelum saya mengalami pikun yang sempurnah. Rasa seperti ini
menimpa saya. Semoga setelah membaca bagian ketiga ini, teman-teman yang lain juga membuka
kotak rahasia masing-masing. Hal ini saya kira sudah wajar, karena di hari
kini, saya yakin kita semua sudah memiliki pujaan hati masing-masing yang tak
ingin dilepas lagi atau menduakannya. Lagi pula di antara kita ada yang
sudah berkeluarga, seperti Bim, Yuni, dan Siska Rini.
[7] Siapa perempuan itu, saya ingin Bim sendiri yang menyebutnya. Saya
sebatas membuka kode saja.
[8] Semoga hal ini tak begitu berlebihan. Tetapi faktanya saya kira begitu.
Komentar
wkwkwkwkw
Maaf numpang nimbrung rekam-jejak kesejarahan kawan2...
Pertempuran hidup tidak selamanya dimenangkan oleh orang kuat. Tetapi, cepat atau lambat yang menang adalah mereka yang berfikir mampu memenangkan pertempuran itu. (setidaknya itu filosofi hidup-ku).
Nah, berangkat dari itulah sy ingin koment dikit aja dengan catatan sobat F.Daus:
pada komentar sy sebelumnya (catatan ke-2) telah terbersit kesan bahwa apapun bentuk, warna, latar belakang serta orientasi kawan2 yg bergabung di PPIM telah cukup memberi warna tersendiri bagi kawan2 yang berangkat dari jatidiri (idealisme) pelajar, maupun bagi individu yang mungkin sebagai antitesa dari hal itu.
Cukuplah telah kita ketahui hal itu, dan biarlah tersimpan sebagai pelajaran berharga bagi kita semua, bahwa dalam realitas hidup dan berorganisasi tidak ada yang mampu menakar fragmen-fragmen dirinya sendiri secara mendalam dan semppurna.
Soal, wanita (issue sensitif), yg disebutkan sobat F.Daus keliru (alias salah orang),,heheheee...
Nanti ada catatan untuk itu dari aku...
intinya: Sobat2 PPIM, kebersamaan & soliditas di atas issue tersebut, sehingga sedari dulu hingga saat ini siapapun tidak ada yang dapat membuktikannya, meskipun potensi ke arah itu sangat besar dan memungkinkan, hahahaaaa.... (sekedar terapi saraf)
kalo sobat F.Daus masih penasaran, silahkan korek ke Sobat Yuki (mungkin lebih obyektif tuh deskripsinya).
Terima Kasih yah...
Wassalamu 'Alaikum....