Menengok Rak Sastra di Sekolah


Dibutuhkan dua belas tahun menyelesaikan masa studi dari sekolah dasar hingga sekolah menengah atas. Bagi mereka yang pernah melalui masa itu, tentunya telah akrab dengan pelajaran dasar, semisal pengalaman pertama mengeja huruf di sekolah dasar, pelajaran membaca di sekolah menengah pertama, dan pelajaran mengarang di sekolah menengah atas yang termaktub ke dalam mata pelajaran bahasa Indonesia.

Namun, pengayaan itu hanya mencakup pada interaksi yang sedikit kepada siswa karena harus berbagi waktu dengan jadwal pelajaran lainnya. Penggunaan buku teks akhirnya menjadi pilihan utama. Tetapi, peranan luas dari bahasa Indonesia tak cukup menjadi horison bagi siswa, sehingga sejauh ini belum ada pengalaman siswa menuntaskan sebuah bacaan sastra berbentuk novel. Penyair, Taufik Ismail, malah pernah melakukan penelitian yang menyimpulkan kalau siswa-siswi di negeri ini minus baca sastra.

Di sekolah formal dewasa ini memang terindikasi kalau telah mempraktikkan penguasaan pola pikir siswa yang terimplementasikan ke dalam ragam aturan. Sehingga proses penerimaan ilmu di kelas yang berlangsung satu atau dua jam serasa begitu melelahkan. Padahal, makna harfiah dari sekolah adalah waktu senggang, merujuk dari makna kosa kata Yunani, skole, scholae, yang berarti waktu luang bagi anak-anak yang dalam praktiknya di masa lalu merupakan tempat belajar dan bermain serta bertanya segala hal ihkwal kepada mereka yang dianggap pandai dalam menjelaskan suatu hal.

Mengapa Mesti Sastra

Sastra dalam bahasa latin disebut littera yang berarti teks (Budi Darma: 1995) Hamparan teks yang mewujud ke dalam sebuah karya seperti puisi, cerpen, maupun novel. Di dalamnya tercakup rekaman realitas hasil interpretasi dari sang pembuat karya untuk menyampaikan maksud kepada para pembaca dengan ragam diksi, majas, dan plot.

Bahkan pendekatan estetika lainnya berdasarkan ciri khas pembuat karya, dari pembacaan ini kemudian memungkinkan terjadi interaksi persepsi oleh pembaca terkait teks yang dibaca. Tak jarang ada pembaca terbantukan dengan bangunan deskripsi dari suatu karya sastra. Seolah karya sastra adalah miskroskop untuk melihat sesuatu yang lain dari realitas.

Maka, tak heran jika dikatakan kalau untuk mengetahui sejarah suatu bangsa maka bacalah karya sastranya, karena sastra seakan lebih jujur dalam bersaksi ketimbang sejarah itu sendiri. Tengok misalnya, hegemoni informasi dalam hamparan teks buku sejarah di masa rezim Orba. Dari sana kita seolah melihat kalau yang menggerakkan sejarah suatu perubahan semua bersumber dari faktor orang besar. Ada pengecualian ingatan yang tidak dirangkum.

Sampai di sini, sejarah tak ubahnya ilmu Matematika yang harus dihafal mati seputaran tokoh-tokoh penentu jalannya peristiwa. Intinya, teks informasi dalam buku sejarah yang demikian sama halnya membunuh kreatifitas berpikir dan memotong cakrawala siswa. Praktik terselubung dari semua ini tak lain pembunuhan pengekspresian diri yang dibangun dari jalannya cerita kehidupan anak didik. Semua mentah pada pengejaran psikomotorik untuk menempuh dunia selanjutnya, dunia fisik yang harus diisi lulusan sekolah agar tak banyak tanya menjalani interaksi kehidupan pasca sekolah. Hal itu dikarenakan dari pembangunan orientasi untuk mengisi ruang-ruang kerja di dunia industri yang menjadi satu-satunya model dalam gerak globalisasi.

Percobaan menarik telah dilakukan oleh majalah sastra Horizon, yang setiap edisinya menyelipkan rubrik Kaki Langit, ruang yang sengaja didedikasikan bagi siswa untuk mengisi kekosongan dari ruang-ruang kelas di sekolah. Lembaran ini diawali dengan pengenalan sosok sastrawan. Mulai dari sejarah singkat kehidupan hingga proses kreatifnya. Setelahnya, barulah oase yang dibangun dari sejumput teks-teks sastra yang dirangkai oleh siswa di lembaran rubrik tersebut. Sebuah tanda yang sedari awal ingin muncul untuk berbicara kalau sastra itu penting, bukan sebatas mendapat pengakuan tetapi sejelas dan secercah pengatahuan pada umumnya. Sastralah yang menjadi jembatan dari ketidakjangkauan disiplin ilmu lainnya bagi manusia.

Kita saksikan bagaimana sastra mampu menyibak tabir religiositas melalui pengarang Rusia, Leo Tolstoy, yang menginterpretasikan salah satu klausul makna agama secara umum dalam cerpen Tuhan Maha Tahu akan Tetapi Menunda yang melegenda itu. Sastra menjadi penyambung lidah yang efektif dari kebosanan mencernah agama di kalangan masyarakat Eropa. Kalau karma, sesuatu yang abstrak dan sangat sulit diterima akal yang penuh dengan pertimbangan logika, akhirnya terhenyak seketika dari alur yang diceritakan dalam cerpen Leo Tolstoy tersebut. Ia menegaskan lewat teks sastra kalau karma itu berlaku. Kebenaran Tuhan yang tertunda.

Lebih dekat, karya Tetralogi Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Rumah Kaca, Jejak Langkah) yang dilahirkan Pramoedya Ananta Toer, seolah mengajak mengeja sejarah awal bangsa ini. Meski nama sastrawan yang satu ini tak sepopuler Chairil Anwar dalam benak siswa. Karena sejauh ini buku teks pengajaran sastra yang beredar di sekolah masih enggan menuliskan namanya.

Bahkan nama besar Chairil Anwar tak lebih sebagai pajangan untuk standarisasi kurikulum saja, hal itu terbukti kalau pengarang puisi Aku itu, semangatnya belum bisa diterjemahkan oleh para guru-guru sastra (Bahasa Indonesia) di sekolah. Padahal, dalam catatan esais, Goenawan Moehammad, Chairil Anwar adalah salah satu sastrawan kreatif yang memberontak di zamannya. Bisa dilihat dari beberapa karyanya seperti Diponegoro, Siap Sedia, dan Aku. Jika puisi-puisi itu dicernah dengan baik, maka terasa perwakilan semangat kaum pribumi saat itu untuk melawan.

Realitas dan Setitik Solusi

Dalam sejarah kurikulum pendidikan yang silih berganti memang belum memporsikan cakupan sastra yang lebih sebagai bentuk nilai pendidikan di sekolah. Porsi membaca sebuah karya sastra hanya memiliki tempat yang sangat sedikit dalam mata pelajaran bahasa Indonesia dan diperparah lagi dengan minimnya bacaan sastra di ruang perpustakaan. Jika pun ada, sama sekali tidak menarik minat baca siswa.

Namun, sejauh pengamatan saya, rak perpustakaan di sekolah masih minim tentang ragam buku sastra. Padahal jika kita mengacu pada tingkat efektifitas untuk menggalakkan minta baca yang tinggi, maka karya sastra menjadi pilihan utama dikarenakan penyajiannya yang sederhana, tidak njelimet, meski ada juga novel, cerpen, dan puisi membutuhkan perhatian khusus untuk memahaminya.

Cerpenis, Seno Gumira Aji Darma pernah memberikan sindiran terkait perilaku baca masyarakat kita, yang membaca jika ingin melihat lowongan pekerjaan, membaca jika ada info diskon di toko, membaca jika mencari alamat, dan sebagian kaum intelektual di negeri ini, apa yang disebut sebagai novel, cerpen, dan puisi hanyalah sebagai hiburan semata. Mengacu dari pernyataan tersebut menempatkan kalau membaca sastra belum dianggap sebagai gerakan kebudayaan dan pencerahan. Sehingga biasanya para siswa kewalahan mengembangkan kalimat jika sedang menyusun jawaban dari soal esai, lalu berlanjut pada pengalaman mahasiswa semester awal yang kepayahan bila merampungkan tugas makalah atau bahkan skripsi. Karena sepanjang sekolah dari sekolah dasar hingga tingkat atas, sama sekali tidak ada pelatihan menyusun kalimat dan pengenalan tata bahasa.

Saya tak ingin melegitimasi secara berlebihan kalau solusi dari realitas tersebut, adalah perlunya pengalaman membaca sebuah karya sastra. Tetapi usaha yang secara sadar untuk dikembangkan ke depan, ada baiknya memulai dari hamparan teks dari lembaran sastra.

Membaca karya sastra di perpustakaan jika perlu dijadikan mata pelajaran dan ujian dari pembuktian itu dilalui siswa dengan menuliskan rangkuman dan pengalamannya selama membaca. Tak perlu mematok target dahulu berapa jumlah buah buku ynag harus dituntaskan, yang subtansi adalah rangsangan dari para pendidik untuk memotivasi dan memberikan teladan serta tuntutan. Selanjutnya kebebasan ada pada siswa untuk melangkah lebih jauh berdasar pada impiannya dalam menjawab realitas kehidupannya.

***


Komentar

Postingan Populer