5 Maret 2013



Bertahun-tahun setelahnya, tanggal 5 di bulan ketiga kemarin, akan diingat Si Mata Sipit sebagai permulaan. Puncak segala penantian dari lima tahun mencatat hari. Ada pertemuan, pertengkaran, juga impian ikut turut campur. Namun, bagiku, tanggal 5 bulan ini, dua peristiwa itu akan berdampingan dalam ingatan.

***

Maret pilihan menghindari hujan. Buktinya sudah jelas, Januari hingga Februari media massa hanya memiliki satu tema berita. Banjir di mana-mana. Hujan perkasa di dua bulan itu. Sesungguhnya keliru belaka. Sejak dahulu, di kampung itu, sebelum orang-orang mengeluh perubahan cuaca yang bergeser. Hujan memang berusia hingga enam bulan. Siklus itulah yang diingat sebagai peta menandai kemarau untuk enam bulan berikutnya.

“Putuskan saja di sana, saya di sini hanya menyiapkan keperluan keberangkatan. Andai saja pernikahan bisa dilaksanakan tanpa kehadiran saya. Sebaiknya tidak perlu pulang secepat ini.”  Persisnya tidak demikian, tetapi intinya sama. Apalah guna pesta tanpa kehadiran Mama Tua. Tujuh adiknya yang telah menikah sebelumnya, semua ketetapan ada di tangannya. Dia bapak sekaligus ibu dalam keluarga, jika tidak dikatakan Tuhan.

“Iya, tidak ada masalah. Keluarga perempuan menerima tanpa syarat. Tanggal ditentukan oleh keluarga lelaki.” Mama Tua, nampaknya, atau malah sudah mulai lelah dengan urusan semacam itu. Boleh jadi karena ini yang terakhir kali. Kalau ke depan masih ada, sisa anak-anak adiknya dan anak perempuan semata wayangnya sendiri yang sudah kelas satu SMP.

Begitu dia tiba di kampung. Mama Tua tak perlu memaksa otaknya bekerja siang dan malam sebelum persiapan acara mantap. Kehadirannya formalitas saja, ia merelakan segala urusan ditangani Mama Mia bersama Mama Bau. Keduanya lumayan memiliki pengalaman. Lagi pula, pernikahan terakhir dalam garis darah mendiang Abdul Razak bersama Badariah ini tidak menyebar undangan. Rancangan dimudahkan karena keinginan Si Anak Bungsu sejak dahulu meminta demikian. Menolak acara pernikahannya meriah.

Pesta menyambut tamu hanya ada di keluarga mempelai perempuan. Sebaliknya, hanya diselenggarakan ritual adat di rumah keluarga lelaki. Lihatlah, Si Anak Bungsu itu tega sekali, mengundang lewat pesan pendek saja tak sudi ke kerabatnya. Yang ada, malah sekadar pemberitahuan ke beberapa, jumlahnya bisa dihitung jari, ke sejumlah kawan-kawannnya yang wajar ia kabari. Dasar Si Anak Bungsu. Tidak tahukah dia kalau caranya itu melukai dan bisa saja dianggap penghinaan kerabat yang lain.

***

Terhitung lima hari sebelum tanggal 5 Maret yang ditetapkan menurut perhitungan Mama Bau, adalah hari terbaik karena tepat hari Selasa. Sebelumnya, Mama Tua menghendaki permulaan hari, Senin 4 Maret. Kekuasaan sungguhlah candu. Tak ada yang benar-benar ingin melepaskannya begitu saja. Jauh di rantau, Mama Tua seolah punya jari-jari ditinggalkan di lantai rumah panggung di kampung.

Mama Bau hampir luluh. Kekuasaan yang baru saja diterimanya, berbagi sedikit dengan Mama Mia, tak dapat ia pergunakan sebaik-baiknya. Untungnya ia berbagi. Kalau tidak, Senin 4 Maret yang jadi. Mama Mia pandai mengambil jalan tengah, walau tidak bisa dikatakan demikian. Ia hanya memasuki alam bawah sadar Mama Tua, berhasil karena disampaikan tidak langsung di hadapannya. “Pikirkanlah bekal perjalanan pulang ke kampung, biar kami yang mengurus segalanya di sini. Tidak perlu menambah beban pikiran, kami sudah lumayan pandai menjalankan kekuasaan yang baru saja kau wariskan.”

***

Si Anak Bungsu gelisah ketinggalan warta dari kebiasaannya membaca tiga edisi koran berbeda dalam sehari. Khawatir kalau tulisannya dimuat di salah satu koran lokal dan kembali lalai mengarsip. Solusinya ada pada seorang kawannya, wartawan media daring yang belum bisa membedakan menulis dengan mengetik. Bertanyalah Si Anak Bungsu melalui pesan pendek. “Hahahaha! Dasar, di hari pernikahanmu pun, kau masih menanyakan artikel busukmu dimuat. Sudahlah, kawan! Lupakanlah sehari saja.”

Esoknya, ketika kursi-kursi sudah tersusun dan tenda sebentar lagi bakal dibongkar. Si Anak Bungsu pamit, ia punya alasan yang langsung diterima oleh perempuan yang sudah sah menjadi istrinya, Si Mata Sipit. Katanya, ia ingin ke rumahnya mengganti baju. Perlu diingat, biasanya mempelai lelaki ketika ke rumah mempelai perempuan untuk pesta, akan dikawal seorang lelaki pula selaku penjaga pengantin. Pengawal inilah yang akan mengurus keperluan pengantin lelaki. Termasuk membelikannya makanan, karena menjadi pantangan menyantap hidangan pesta. Hanya saja, hal itu tidak berlaku bagi Si Anak Bungsu. Ia melahap sepiring hidangan ditambah secangkir kopi serta merokok di hadapan keluarga Si Mata Sipit.

Ia tak langsung ke rumahnya yang mengagetkan keluarga. Tujuan utama ke warung kopi langganannya mencari koran edisi yang lewat. Kaget dan sedikit ada sesuatu yang perlu ia tetapkan sebagai kebanggaan atau duka.  Kemarin, tepat 5 Maret, presiden Venezuela, Hugo Chavez, wafat. Kabar ini tentu tidak diketahui istrinya, kalau pun ia tahu, apa pedulinya. Ia hanya akan mengingat 5 Maret sebagai hari pernikahan mereka. Tetapi, bagi Si Anak Bungsu, kematian Chaves adalah duka tersendiri. Akankah kelak, jika dikaruniai anak, lelaki pastinya, akan ia namai Hugo Chavez? Istrinya sudah jelas bakal menolak. Nama itu tak pernah disebutkan dalam kitab suci.

Ia tidak memesan segelas kopi. Koran edisi kemarin itu dilipat kemudian diselipkan di pinggulnya. Segera pulang.

Keluarga besarnya berkumpul di teras menikmati teh dan kue. Sebagian masih bermuka kusut usai tidur semalam. Ritual seperti itu selalu begitu jika semuanya berkumpul. Mama Tua, sebagaimana Mama Bau, Mama Mia, dan lainnya yang ada di situ memiliki tanya yang sama. Mengapa kau pulang sebelum dijemput. Si Anak Bungsu hanya nyengir. “Saya mau mengganti baju!” Ucapnya sambil berlalu menuju kamarnya.

Ia membuka ranselnya dan mengeluarkan laptop dan buku catatan harian. Sebatang kretek disulut dan kembali membuka koran bekas. Kini, ia berfikir. Akan menuliskan peristiwa 5 Maret itu di buku catatan harian atau menuliskannya di file word. Ah! Hari ini masih perlu duduk pengantin setengah hari menyambut tamu. Sebelum pesan pendek masuk di ponselnya. Si Anak Bungsu memilih menulis di bukunya saja:


Bertahun-tahun setelahnya, tanggal 5 di bulan ketiga kemarin, akan diingat Si Mata Sipit sebagai permulaan. Puncak segala penantian dari lima tahun mencatat hari. Ada pertemuan, pertengkaran, juga impian ikut turut campur. Namun, bagiku, tanggal 5 bulan ini, dua peristiwa itu akan berdampingan dalam ingatan.

***
5 Maret 2015, dua tahun sudah.


Komentar

Postingan Populer