Interupsi di Minggu Pagi (Catatan dari ngobrol publik: Rumah Sakit dan Jaminan Kesehatan Masyarakat)
Pengantar
KAMIS 9 Mei 2013, sejumlah elemen masyarakat dan
lembaga mahasiswa melakukan demonstrasi di RSUD Pangkep. Mereka menuntut
perbaikan pelayanan terhadap pasien, mengingat sebelumnya, Aisyah (20), warga
desa Panaikang, Minasatene, mengalami perlakuan yang tidak mengenakkan lantaran
ia tidak mendapat pelayanan paripurna di RSUD, yang akhirnya jabang bayi dalam
kandungannya meninggal.
Kejadian itu menjadi pemantik bagi kelompok masyarakat
untuk menuntut Frans Manaba, SKM (Kepala
RSUD Pangkep) agar mundur, isu ini sebenarya sudah menjadi bola panas manakala
beberapa dokter di RSUD tipe C ini juga mengemukakan kekesalannya, sebab Frans
menetapkan keputusan pemotongan jasa medik sebesar 5% . Akibatnya, dokter juga
melakukan aksi mogok kerja seminggu sebelum
aksi demonstrasi berlangsung.
Demonstrasi kemudian berlanjut ke esokan hari (10/5)
yang dilakukan oleh HMI Cab Pangkep, isunya tetap sama, menuntut pergantian
kepala RSUD Pangkep. Bahkan HMI membangun tenda pengaduan di halaman gedung
rumah sakit.
Sekaitan dengan isu di atas, KKDP kemudian merancang
dialog yang dikemas santai di Kafe Torani pada 12 Mei, yang menghadirkan dr.
Antariksa Putra M, Zunar Parumpa, M.Kes (Healty
Institute), Anggraini Amir (Anggota
Komisi II DPRD Pangkep), dan Syahrul Syaf (Sekjend KKDP). Dialog ini dipandu
oleh Syafar ( Anggota Advokasi KKDP).
Dialog dimulai sekitar pukul 1o pagi dan dihadiri
sejumlah penggiat sosial, di antaranya, Syawir Yasin,Aktivis HMI Cab Pangkep,
IPPM Pangkep, Rahman Kambie (KPUD Pangkep) Fadli Safa (Bidang Khusus Kejaksaan
Pangkep)
Pencerahan
“SESEORANG dikatakan sehat jika bugar secara fisik dan tidak mengalami
gangguan kejiwaan serta bisa berproduksi.” Kata dr Antariksa Putra W mengutip definisi kesahatan menurut WHO. Selanjutnya
aktivis Healty Institute ini mengelaborasi ungkapan tersebut dengan
menjelaskan, kalau berproduksi yang dimaksud erat kaitannya dengan aktivitas
guna memenuhi kebutuhan.
Selanjutnya, dr Antariksa menjelaskan secara runtut
perihal tanggung jawab sosial seorang dokter. Profesi seorang dokter di mata
masyarakat memang diasumsikan sebagai ‘Tuhan’ yang bisa memberikan vonis bagi
seseorang untuk dikatakan sakit atau sehat. Pemahaman yang demikianlah yang
menguat, sehingga ketika terjadi tindakan medis yang ditempuh seorang dokter dalam menangani pasien yang kemudian dianggap
merugikan oleh keluarga ataupun pasien itu sendiri. Maka terjadilah tuntutan
dan dugaan mal praktik terhadap dokter.
Dugaan mal praktik inilah yang kadang disalahpahami,
padahal, ada situasi tanggung jawab dokter yang hanya bisa diputuskan dalam
waktu tiga hingga lima menit. Sangat mepet memang, karena itu sang dokter tak
bisa lagi melakukan negoisasi terhadap pasien begitupun dengan keluarga. dr
Antariksa memberikan contoh seperti ini:
“Katakanlah ada seseorang yang mengalami kecelakaan yang parah di mana
yang bersangkutan tak lagi sadarkan diri,
sang dokter kemudian memutuskan untuk melakukan amputasi terhadap salah
satu anggota tubuh pasien, karena jika tidak dilakukan, maka pasien bisa
mengalami kecacatan seluruh anggota tubuh. Nah, pada situasi inilah disebut
tindakan darurat (emergency). Memang otoritatif, tapi itulah tindakan yang
harus ditempuh, karena hal tersebut merupakan tanggung jawab dokter dari segi
preventif (pencegahan) dan kuratif (penanganan). Selanjutnya sang dokter wajib
merilis atau memberikan penjelasan medis kepada pasien dan keluarganya.”
Bercermin dari sini, maka wajar jika dokter disalahkan
secara opini, tapi belum tentu di mata hukum. Sebab, menjalankan tindakan
darurat itu merupakan tanggung jawab sosial (kode etik) meski dianggap
merugikan. Padahal mal praktik berdasarkan kacamata profesi kedokteran,
masihlah kategori rendah dibanding dua pelanggaran lainnya. Medikal eror
(keterlambatan) dan kelalaian medik (manajemen).
Suara dari DPRD Pangkep
ANGRRAINI Amir dari komisi II tak ingin mengumbar
retorika begitu Safar mempersilahkannya. “Saya
sudah muak mendengar ini semua.” Katanya berang. Pagi itu, legislator dari
Partai Demokrat ini seolah tak bisa berkata banyak. Ia heran saja, anggaran 3
Milyar setiap tahun untuk RSUD Pangkep, rupanya bukan solusi untuk meningkatkan
layanan kesehatan pada masyarakat.
Sejak 2010 hingga 2011, komisi II DPRD Pangkep telah
dua kali merekomendasikan pergantian kepala rumah sakit, karena bertentangan dengan
pasal 34 UU No 44 tahun 2009. Di situ disebutkan, kepala rumah sakit harus
seorang tenaga medis yang mempunyai kemampuan dan keahlian di bidang
perumahsakitan. Secara definitif, tenaga medis itu berbeda dengan paramedis.
dr. Antariksa menjelaskan kalau tenaga medis merujuk pada seorang dokter,
sedangkan paramedis berkaitan dengan tenaga perawat.
Asumsi inilah yang menguatkan kalau Frans Manaba, SKM
(kepala RSUD Pangkep) diduga tidak cakap dalam menjelaskan secara medis jika
ada pasien yang melayangkan gugatan. Tinjauan ini diperkuat pula secara
akademik, bahwa disipilin ilmu antara tenaga medis itu jelas beda dengan apa
yang dipelajari oleh paramedis.
Anggraini Amir mengakui, meski ia berada di DPRD, tapi
dirinya hanyalah bagian dari sekian banyak penonton terhadap adegan di RSUD
Pangkep. “Bola panas itu berhenti di kaki
Bupati.” Ujarnya. Pihak DPRD, khususnya komisi II telah bertindak sesuai
koridor.
Interupsi
USAI dr Antariksa dan Anggraini Amir mengemukakan
pandangannya, Syafar lebih dulu memberi kesempatan bicara kepada Syawir Yasin,
salah satu penggiat sosial di Pangkep ini menjelaskan lebih detail perihal
kronologis kisruh di RSUD Pangkep.
“Kira-kira 25 Maret 2011 atau 2012 lalu, ada pasien yang mengalami
kekeliruan pelayanan medis. Karena tak bisa lagi ditangani, si pasien kemudian
dirujuk ke salah satu rumah sakit di Makassar.” Pungkasnya. Sayang, ketika KKDP mencoba mengorek informasi perihal
pasien yang dimaksud, Syawir Yasin tak bisa mengingat dengan jelas data pasien
tersebut. Tapi kejadian itu pernah terjadi, yang artinyanya bahwa, poin masalah
di RSUD ialah pelayanan medis yang tidak memuaskan.
Syawir Yasin juga membawa kopian draf UU No 44, 2009
tentang Rumah Sakit, dan tegas mengatakan kalau kepala RSUD Pangkep memang
layak diganti, selain tidak kompeten di bidangnya, juga inkostitusional. Tapi
ia tak ingin isu ini digulirkan sebagai jualan politik yang justru tidak
demokratis. “Siapapun kepala RSUD
Pangkep, itu harus sesuai dengan keahliannya dan konek dengan amanah regulasi.
Jadi, kita tidak melihat suku, ras, dan agama.” Jelas lelaki yang juga
aktivis KPSSI ini.
***
“NAMPAKNYA dialog kita pagi ini semakin seru, setelah Kanda Syawir Yasin
menetapkan titik isu yang harus dicarikan solusinya.” Ucap Syafar, lelaki tambun yang diamanahkan oleh KKDP
untuk memandu jalannya dialog bertajuk ‘Rumah Sakit dan Jaminan Kesehatan
Masyarakat’ ini. Ia kemudian memberi kesempatan pada Zunar Parumpa, M Kes.
“Banyak pasien yang sebenarnya bisa ditangani di RSUD Pangkep, tetapi
selalu dirujuk ke Makassar.” Tukas alumni
Fakultas Kedokteran UMI ini memulai pandangannya. Ia menilai kalau masalah di RSUD Pangkep,
menyangkut kepemimpinan yang lemah. Frans Manaba tak mampu membangun dialog
kondusif di kalangan dokter. Sehingga terjadi kecurigaan tatkala ia
menggulirkan keputusan memotong jasa medik sebesar 5% yang kontan memantik
emosi para dokter.
Masalah lainnya ada pada status para dokter yang bukan
PNS. Pemerintah Daerah tidak memperjelas ikatan kontrak sehingga mereka
(dokter) memiliki kebebasan. Jika dokter melakukan mogok karena jasa mediknya
dipotong tanpa ada aturan yang jelas, itu wajar, karena itu merupakan hak yang
harus ia perjuangkan. Kinerja dokter tak bisa diganggu dengan urusan sarana dan
prasarana, itu urusan manajemen rumah sakit. Jika kemudian dokter tak bisa
melakukan operasi akibat tidak adanya alat yang tersedia, maka kesalahan tak
bisa ditimpahkan kepadanya. Selain itu, obat juga menjadi masalah tersendiri,
kerena tidak jelas kategori obat gratis bagi pemilik Jamkesmas.
Zunar Parumpa menekankan agar Pemerintah Daerah segera
membuat ikatan kontrak yang jelas dengan dokter yang bertugas di rumah sakit.
Hal ini perlu sebagai pegangan bagi Pemda dalam melakukan evaluasi juga sebagai
tanggung jawab (kontrol) atas keberlanjutan pelayanan kesehatan di Pangkep.
Melanjutkan itu, Syahrul Syaf, Sekjend KKDP.
Menyebutkan kalau pasien tidak akan dilayani jika tidak membeli alat infuse lebih dulu. “Ini menjadi lucu, karena pelayanan berlaku bagi orang berduit saja,
lalu bagaimana jika ada masyarakat yang tidak bisa membeli alat tersebut.
Sedangkan ia sudah harus dirawat, apakah
akan ditelantarkan begitu saja!”
Tukasnya.
Caleg dari PBB ini mengusulkan agar digulirkan Perda
Pelayanan Kesehatan, karena nampaknya UU N0 44, 2009 tak cukup sebagai pedoman
dalam menjalankan rumah sakit sebagaiamana mestinya.
Sedangkan pembacaan indikasi pidana ketika ada pasien
yang hendak melaporkan kerugian yang dialami akibat pelayanan di RSUD Pangkep, misalnya, Fadli Safa (Bidang Khusus
Kejaksaan Pangkep) mengungkapakan kalau payung hukumnya ada pada KUHP pasal 359
dan UU No 36, 2009 tentang Kesehatan.
***
Pada dialog ini, hadir pula ketua KPU Pangkep, Rahman
Kambie. Ia menuturkan pengalaman kala istrinya yang habis melahirkan diberi
rujukan oleh pihak rumah sakit Pangkep untuk melanjutkan pengobatan di rumah
sakit Wahidin, Makassar. Ia bingung kala pihak pihak RS Wahidin menanyakan
keterangan rujukan tersebut. “Saya tidak
tahu, intinya saya diberi surat rujukan, soal isinya silahkan baca sendiri.” Katanya
di hadapan petugas rumah sakit. Belakangan baru ia sadari kalau di surat
rujukan tidak dijelaskan penyakit yang diidap istrinya.
Mendengar penuturan itu, kontan peserta dialog
tertawa. Menertawakan kinerja tenaga medis RSUD Pangkep yang rupanya tidak
telaten memberikan rujukan. Kegelisahan yang sama diungkapkan oleh Ady
Supryadi, “Hampir setiap hari kita
menyaksikan mobil ambulan RSUD Pangkep mengebut ke Makassar, ini ada apa!
Apakah di rumah sakit tidak ada lagi dokter!” Katanya heran. Salah satu
alumni pertama Sekolah Demokrasi Pangkep (SDP) ini juga menyayangkan karena
dialog yang membahas hajat hidup orang banyak ini justru tidak dihadiri
pemangku keputusan (Kepala RSUD, Bupati, Wabup, Sekda, dan Dinas Kesehatan).
Hasan, aktivis HMI Cab Pangkep. Mengatakan, kalau
masalah ini sebenarnya hanya persoalan kecil, karena dibiarkan mengendap
akhirnya melebar ke mana-mana. “Kami
sampaikan kepada Bupati, sewaktu kami melakukan demonstarsi, langkah pertama
yang harus ditempuh, ialah mengganti kepala rumah sakit karena ini menyangkut
manajemen pengelolaan yang keliru. Tapi Bupati berpandangan lain, ia mengatakan
sebaliknya dan berjanji menambah lima dokter.” Jelasnya.
Kembali menyambung hal itu, Anggraini Amir mengatakan
kalau dokter itu memiliki lembaga persatuan.“Mereka
tidak serta merta mau menerima tawaran bekerja begitu saja, jika manajemen
rumah sakit tidak kondusif.”
***
Menjelang pukul satu siang, Syafar menginformasikan
kalau dialog tengah di penghujung waktu. Ia lalu memberi kesempatan kepada
masing-masing narasumber utama untuk memaparakan pandangan penutup. Dimulai
dari Zunar Parumpa, M Kes
“Masalah ini memang tidak bisa kita diamkan, saya siap membantu
kawan-kawan untuk membangun komunikasi dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI)
untuk mengawal masalah ini.” Kata lelaki
kelahiran Pangkep 28 Maret 1981 ini. Sedangkan Anggraini Amir kembali menantang
KKDP untuk kembali menggelar dialog publik agar ruang menyampaikan dan
mendialogkan aspirasi semakin terbuka. Syahrul Syaf, menanggapi kalau hal tersebut
sudah menjadi komitmen KKDP, menjadi mediator untuk perkembangan demokrasi yang
subtansial di Pangkep. Rahman Kambie,
mengusulkan agar hasil dialog ini melahirkan rekomendasi yang dalam waktu dekat
diajukan ke Bupati.
dr Antariksa mengutip Antony Gidens sebagai penutup, “Jika kita berada dalam sebuah ruangan dan
kita terkunci di dalamnya. Hal pertama yang harus dilakukan tentu saja mencari
kunci pintu. Jika tidak menemukannya, maka buatlah kunci baru. Tapi jika tidak
dapat, maka dobraklah pintu tersebut sekali itu sakit.”
***
Pangkep, 13 Mei 2013
Komentar