Massa yang tidak Puas dan Elite yang Kepala Batu

Dalam teori revolusi yang paling purba, kedua asumsi di ataslah yang menjadi pemantik utama dalam menggerakkan massa. Dan, kurang lebih Chalmers Jhonson mengingatkan demikian yang saya jadikan judul dalam telaah ini.

Mari kita lihat kejadian baru-baru ini di mana perlawanan rakyat Tunisia melalui revolusi Melati berhasil merongrong kekuasaan Presiden Zine El Abidine Ben Ali yang telah berkuasa selama 23 tahun. Tak lama berselang, semangat protes rakyat Tunisia itu menginspirasi aksi perlawanan rakyat Mesir yang juga menuntut turunnya presiden Husni Mubarak yang sudah berkuasa selama 30 tahun dan dianggap tidak bisa membawa kesejahteraan bagi rakyat Mesir. Anehnya, kesemua itu terjadi di era globalisasi yang sudah semakin kuat dewasa ini. Di mana beberapa teoritis sosial jauh hari sudah meragukan akan keampuhan massa di era super modernis ini.

Lalu apa kaitannya dengan negeri kita. Pertama, itu bisa menjadi cerminan bersama khususnya para pemimpin tertinggi di republik ini yang terkadang kepala batu. Bahwa kemarahan rakyat itu adalah niscaya jika mereka sudah semakin sadar dengan keberadaannya. Perlu diingat dengan baik, kalau sebuah negara yang menganut sistem demokarsi yang mana implementasi politiknya berupa pemilihan akumulasi suara rakyat dalam menetapkan pemimpin, maka pada saat itu hubungan rakyat dengan negara adalah suatu kesatuan yang tak terpisahkan.

Kedua. Dalam kondisi yang tidak stabil ketika kebutuhan dasar manusia sulit untuk terpenuhi, dan pada saat bersamaan elite negara malah kehabisan akal memberantas praktik korupsi sebagai musuh yang paling nyata. Atau yang paling memalukan aparatus negara malah meminta kenaikan gaji ditengah kondisi realitas sosial yang sudah sangat sakit.

Jika kita mencermati sejumlah teori revolusi sosial yang telah terjadi, paling tidak ada tiga pendekatan yang begitu menonjol. Pertama, teori agregat psikologis yang berupaya menjelaskan revolusi melalui konsep motivasi psikologis rakyat untuk melibatkan diri ke dalam kekerasan politik atau bergabung dalam gerakan oposisi. Kedua, teori konsensus sistem atau nilai yang berupaya menjelaskan revolusi sebagai respons kekerasan dari gerakan ideologis terhadap ketimpangan yang hebat dalam sistem sosial. Ketiga, disebut teori konflik politik, yang menyatakan bahwa konflik yang terjadi antara pemerintah dengan berbagai kelompok sosial yang terorganisir untuk memperebutkan kekuasaan haruslah menjadi pusat perhatian dalam setiap upaya untuk menjelaskan kekerasan kolektif dan revolusi. (Eko Prasetyo:  2004).

Dalam realitas politk yang dijalankan pemerintah pusat yang dapat kita rasakan hingga kepelosok terjauh di negeri ini di satu sisi telah menjadi suatu konsumsi mentah oleh masyarakat dan hal itu dilihat secara telanjang yang terus menerus disaksikan lewat media massa sehingga akal sehat warga masyarakat mampu mengidentifikasi titik-titik masalahnya meski itu sangat terbatas.

Paling tidak, hal itu sudah menjadi gejala pemantik yang bisa membangkitkan motivasi psikologis sebagaimana yang terlihat pada gerakan para tokoh agama di pusat yang “menampar” wajah pemerintah dengan mengingatkan sejumlah kebohongannya yang berujung pula pada deklarasi-deklarasi sejumlah gabungan tokoh dan lembaga sebagai bentuk sikap perlawanan. Termasuk di daerah seperti yang terjadi baru-baru ini di Makassar yang juga dimotori tokoh agama dan intelektual yang tergabunng dalam FAUB (Forum Antar Umat Beragama) dengan mengusung isu yang sama bahkan dengan tingkat tuntutan yang lebih riil dan terkonsep.

Gejala ini menunjukkan bahwa tingkat pengamatan kelompok masyarakat sangat peka sebagai bentuk opisisi di luar lingkaran kekuasaan. Hal ini menarik karena secara sosiologis masyarakat Indonesia di masa lalu menunjukan peranan para tokoh di daerah sebagai sentral dalam menggerakkan massa. Meski para kelompok ini hanya bergerak pada tataran konsep isu, tetapi bisa menularkan semangat aplikatif bagi kelompok-kelompok sosial lainnya dengan wujud gerakan yang berbeda.

Dalam pandangan pakar komunikasi, Jalaluddin Rakhmat, memang menegaskan kalau revolusi adalah suatu ketakterdugaan yang sangat sulit untuk dijangkau oleh teori manapun. Dalam bukunya, Rekayasa Sosial, Reformasi, Revolusi atau Manusia Besar, ia memberi contoh konsentrasi pada kasus revolusi rakyat Iran pada tahun 1979 di mana seorang tua dari kalangan agamawan yang sangat kharismatik, Imam Khomeini, telah menjadi roh dari keberhasilan revolusi tersebut yang menumbangkan kekuasaan lama yang despotik Syah Pahlevi.

Karena cakupan sebuah teori terbatas pada sistematika, penjelasan, perumusan, pengembangan, dan aplikasi. Maka, Jalaluddin Rahkmat meminjam laporan Yves Guy Berges, wartawan Le Figaro dalam melukiskan aksi massa yang terjadi ketika meletus revolusi Islam rakyat Iran. Yakni, dimulai pada suatu pagi hari Jumat di mana massa berhadapan langsung dengan massa lainnya yang bersenjata lengkap, dan hasil akhirnya, jalanan basah karena genangan darah para massa yang menuntut perubahan. Kejadian itu kemudian dicatat sebagai Jumat berdarah dan menjadi tonggak dasar yang memantik gelombang massa sampai Syah Pahlevi benar-benar tumbang.

Dalam revolusi kucuran darah memang terjadi, tapi kucuran darah itulah yang menjadi penyiram bagi tumbuhnya tunas-tunas baru. Pengalaman ini pernah menghampiri jejak waktu dalam sejarah pergulatan negeri ini. Meski dalam praktiknya ada juga revolusi yang tidak berdampak pada kekerasan seperti yang dicontohkan oleh gerakan Gandhi dan gerakan menjatuhkan komunisme di beberapa negara Eropa timur. Untuk menelaah ini tentunya kita perlu pemetaan analisis agar tidak terjebak generalisasi yang kacau.

Secara sederhana, lebih jauh Jalaluddin Rakhmat menawarkan penjelasan singkat terkait revolusi yang dapat dilihat dengan tiga hal. Pertama, perubahan yang fundamental komprehensif dan multidimensional. Kedua, revolusi melibatkan massa yang sangat besar dan dimobilisasikan serta bergerak dalam gerakan revolusioner. Ketiga, selalu melibatkan kekerasan dan koersi.

Pada pendekatan ketiga inilah kita dapat mengajukan keberatan terkait pengalaman revolusi yang nir kekerasan oleh Gandhisme serta gerakan sistematis lainnya yang lebih menempatkan diri sebagai pengganggu yang cerdas bagi praktik kebijakan aparatus negara yang tidak adil. Melalui ini, gerakan rakyat Chiapas di pedalaman hutan Lacandon di Mexico adalah salah bukti dari defenisi lain sebuah gerakan revolusi.

Interpretasi Local Wisdom

Sejatinya, negara ini belum bubar seratus persen. Tetapi, langkah-langkah menuju ke sana perlahan terbangun dengan sendirinya. Melihat perkembangan situasi nasional setahun belakangan ini, merupakan rentetan masalah pelik dari kebuntuan politik dari sejumlah kasus yang bisa berdampak pada konspirasi para elite. Sehingga energi terkuras hanya pada sikap saling curiga dan mencari korban untuk dijadikan tumbal.

Periode kepempimpinan SBY-Boediono memang belum setua rezim Orba atau rezim pemerintahan Ben Ali di Tunisia yang sudah ditumbangkan dan rezim Husni Mubarak di Mesir yang saat ini tengah diguncang. Namun, tingkat pesimis masyarakat sudah sangat lelah melihat setiap harinya “sinetron” kasus korupsi yang seakan tanpa akhir. Ditambah lagi dengan adanya gerakan kaum agama menggugat pemerintah, yang secara kultural masyarakat indonesia jauh lebih mempercayai tokoh agama dibanding tokoh politik.

Sebagai penutup, penulis ingin menuliskan petuah La Mellong To Suwalle Kajaolaliddo, penasihat di kerajaan Bone (kira-kira 1507-1586) yang mengatakan kalau ada enam tanda-tanda keruntuhan sebuah negeri. Yakni: Kecerobohan, raja (pemimpin) yang tidak mau diperingati, jika tak ada lagi orang pintar dalam suatu negeri, jika penegak hukum menerima suap, jika terjadi tindakan kejahatan dalam negeri, dan terakhir raja (pemimpin) tidak punya belas kasihan terhadap rakyatnya.  
_

Dimuat di Fajar edisi 29 Januari 2011



Komentar

Postingan Populer