Menghormati Tan Malaka

Seorang pemuda berusia 22 tahun berprofesi sebagai guru anak-anak di sebuah perkebunan di Deli (Sekarang Sumatra Utara). Di sana, ia melihat ketimpangan sosial antara kehidupan getir kaum buruh dan kemewahan tuan tanah. Ia tidak terima realitas itu. Sebagaimana dirinya kemudian ditolak oleh petinggi perusahaan perkebunan.

Pemuda itu sadar kalau untuk mengubah keadaan, tak cukup dengan berdiam diri dan mengiba. Ia meninggalkan profesinya dan melanglang ke tanah Jawa. Pada tahun 1921, pemuda itu genap 24 tahun. Dan,  di sebuah kongres pada 24-25 Desember, ia terpilih sebagai pemimpin Partai Komunis Indonesia (PKI).

Rupanya, jalan politik adalah ruang yang dipilih untuk menggelorakan perubahan. Alasannya tepat, meski jalan hidupnya semakin berliku dan penuh misteri. Pemuda itu menjadi pemantik bagi kelanjutan pergerakan kaum pribumi di Hindia Belanda. Ia mewariskan cara baca untuk melawan penjajah. Di kemudian hari, kita mengenalnya sebagai Tan Malaka.

Bukan hanya Soekarno yang menaruh hormat padanya, filsuf politik Italia, Antonio Gramsci bahkan perlu mempelajari pola pikirnya guna membaca ulang gerakan komunisme. Sialnya, kata itulah: Komunisme, yang membuatnya dihindari. Padahal itu hanyalah paham yang saya kira bukanlah haram bila didialogkan.

Persoalannya memang ada pada stigma kekomunisan itu. Orba sepertinya berhasil menanamkan paham perihal kebengisan PKI yang dilekatkan dengan peristiwa pembunuhan Jenderal pada 31 September 1965. Padahal kasus itu sendiri hingga kini masih menumbuhkan perdebatan perihal siapa dalangnya.

Saya pikir itulah titik kebencian yang selanjutnya mengendap di benak bagi mereka yang enggan memperbaharui sudut pandangnya dan bertahan menjadi infrastruktur kekuasaan. Mengapa hal yang demikian bisa bertahan lama. Jelas, karena kokohnya fondasi dominasi pola pikir yang mengukuhkan stigma tentang komunisme.

Tan Malaka selaku pejuang kemerdekaan Indonesia memang dilupakan di setiap hajatan yang dilakukan negeri ini. Kiprahnya disembunyikan, itulah mengapa namanya tak pernah disalin di buku pelajaran sejarah di sekolah meski pada 28 Maret 1963 Presiden Soekarno mengangkat Tan Malaka sebagai pahlawan nasional. Jadi tak heranlah bila hari ini masih ada kelompok sosial tertentu yang menolaknya. Meski itu sekadar diskusi menyangkut pemikirannya.

Sebab di masa pergolakan pun, ia sudah ditolak. Tepatnya, terjadi kontra pemahaman dan sikap menyangkut kemerdekaan. Bung Hatta menyebutnya sebagai lelaki yang susah ditundukkan. Karena Ilyas Husain, salah satu nama samarannya menolak kemerdekaan jalur diplomasi dan menghendaki kemerdekaan 100% bagi Indonesia. Ia menganggap bila perundingan sinonim dengan pengkhianatan perjuangan rakyat yang telah gugur.

Bahkan di tubuh PKI sendiri ia disingkirkan hanya karena menolak pemberontakan partai di tahun 1926-1927. Tan menganggap bila massa belum siap dengan semua itu. Dugaannya benar, PKI mengalami kebangkrutan setelahnya. Belanda mampu melumpuhkan gerakan yang digelorakan Musso, Semaun, Alimin, dan Darsono kala itu.

Alam pikiran kemerdekaan Tan Malaka sesungguhnya mudah saja. Dibutuhkan massa sadar yang bernalar. Ia tengah mempersiapkan risalah tentang itu (Madilog: Materialisme, Dialektika, Logika). Tetapi, Soekarno atas desakan kaum muda gegabah memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Tan Malaka menggelengkan kepala, sebab jalan itu bagian dari mengacaukan jalur perjuangan. Benar saja, Belanda kembali melakukan agresi sesudahnya yang mengakibatkan sejumlah pemimpin pergerakan diasingkan.

Begitulah Tan Malaka, perjuangannya penuh kalkulasi dan strategi. Ia tidak berada di pusat kepemimpinan sebagaimana Soekarno, Hatta, Syahrir, atau Amir Syafruddin. Jalan ini pula yang membuatnya dirindu sekaligus dilupakan. Setelah proklamasi, dibutuhkan seorang presiden untuk negara yang baru. Awalnya, semua aktivis kemerdekaan menyebut Tan Malaka sebagai orang yang pantas. Hanya, tidak ada yang tahu rimbanya.

Membaca narasi hidupnya, Tan Malaka memanglah pejuang kesepian, tidak memiliki keturunan karena memang tak pernah menikah. Di banyak tempat, ia berjejak dengan ragam nama dan melahirkan beberapa risalah. Sejak masih hidup saja selalu misterius. Apalagi setelah ia tiada. Kawan kentalnya, Djamaluddin Tamin menyebutkan kalau ia dibunuh militer Indonesia dan mayatnya dihanyutkan di kali Brantas pada 19 Februari 1949 (ada juga versi pada 16 Februari). Ada juga yang mengatakan ia dibunuh dan dikuburkan disamping markas militer di sebuah desa di Kediri (Harry A Poeze: 2007).

Terlepas dari versi yang mana. Tan Malaka sungguhlah pejuang, pemikir sekaligus pendidik yang pernah dilahirkan negeri ini. Menceritakan ulang kiprahnya tentulah tak pernah sepi dari penolakan. Dibutuhkan memang kemauan atas pembacaan sejarah sehingga kita tak sekadar atau gampangan menolak pemikiran seorang tokoh.

Bila tak ingin mengenal lebih dalam perihal pemikiran Tan Malaka, paling tidak luangkan waktu membaca kiprahnya yang saat ini dengan mudah ditemukan di internet (tinggal Googling). Saya pikir itu pilihan mudah untuk menghormati beliau dari pada berprilaku purba menghalangi hak dan kesempatan anak zaman yang lain yang hendak bertakzim dengan bapak republik itu.
_

Bacaan terkait:



Komentar

Postingan Populer