Namamu Tak Pernah Kami Salin


Tan Malaka
                  
Pertama-tama saya ingin mengaduh. Sejak duduk di bangku sekolah dasar hingga menyelesaikan sekolah menengah atas, guru sejarah tak pernah mengenalkan dirimu dan saya tak pernah menyalin namamu di buku tulis. Belakangan, saya baru sadar kalau guru sejarah kami pun tak mengenal sosokmu.

Setelah proklamasi 17 Agustus 1945 yang kau siniskan itu. Dugaanmu kembali benar. Kalau Belanda tak sudi dengan semua itu. Sama benarnya ketika kau meramalkan kalau perang Pasifik adalah jalan bagi kekalahan Jepang. Kau sungguh piawai membaca peta politik dunia. Lebih tegas kau berteriak kalau Indonesia wajib merdeka 100% tanpa campur tangan siapa pun. Kau menolak segala bentuk perundingan sebagai jalan mencapai kemerdekaan. Karena sikapmu ini, Bung Hatta semakin paham. Kalau kau sangat susah dibujuk, olehnya itu, kau harus lenyap.

Ya, sebagaimana tutur kawan kentalmu, Djamaluddin Tamin, yang menulis risalah perihal pembunuhan atas dirimu. Pada 19 Februari 1949, kau dan sepuluh orang pengikutmu meregang nyawa di ujung bedil militer republik Indonesia. Sebuah negara yang kau perjuangkan untuk merdeka sepenuhnya merdeka. Yang lebih menyakitkan, jasadmu tak dikubur. Kau tahu, saat itu musim hujan. Arus kali Brantas sangat deras, dan itu menjadi pilihan untuk menghilangkan tubuhmu.

Tuan Datuk Ibrahim Sutan Malaka

Kau tak pernah diingat di setiap hajatan pesta yang dilakukan republik ini, kau benar-benar dilupakan. Namamu hanya hidup di benak kaum aktivis yang membaca. Selebihnya, kau sekadar mitologi. Kisah heroikmu seolah tak berpijak di bumi. Sebagian orang-orang yang mengaku aktivis sebatas menjual kalimat-kalimatmu. Sebuah ironi memang. Karena filsuf politik Italia, Antonio Gramsci menaruh hormat atas pemikiranmu. Kau disebut sebagai Marxis brilian dari dunia ketiga yang menolak tunduk pada Stalin.

Tanah kelahiranmu mengakui tingkat keilmuanmu. Karena itu, di depan namamu tertera kata ‘Datuk’, gelar tertinggi di tanah Minang. Dari Minangkabau, kau memulai jelajah gerlyamu ketika Belanda mengharamkanmu berpijak di Hindia Belanda. Kau berteriak di Tiongkok, di Filipina, di Singapura, dan di Rusia. Meski jauh dari alam rayamu. Suaramu tetap lantang.

Yang Terhormat Ong Soong Lee

Tahun 1932, kau berada di Hongkong. Meski menggunakan nama samaran. Ong Soong Lee, yang bisa kau bolak-balik menjadi 15 nama samaran. Kala kau diciduk Polisi Inggris. Kau malah berteriak: “Ingatlah! Bahwa dari dalam kubur, suara saya akan lebih keras daripada dari atas bumi.”

Ketika kau melanglang buana, tak sedikit yang melabelimu sebagai pengkhianat. Apalagi setelah Alimin yang menemuimu di Singapura untuk meminta petunjuk dan arahanmu. Karena kaum komunis di Hindia Belanda tak sabar ingin melakukan revolusi. Kau malah menyuruh Alimin pulang dan menitip pesan,batalkan pemberontakan itu. Tahukah kau, Alimin berkata lain kepada Musso. Akibatnya, kaum komunis baru sadar akan pesanmu, setelah pemberonatakan itu berakhir dengan kekalahan.

Ya! Karena kau menolak garis vertikal dari Uni Soviet, dan kau seorang komunis pembelajar sekaligus seorang guru. Belajar dari itu semua, kau membaca dengan cermat, kalau massa (masyarakat) belum sadar akan ketertindasannya. Kau lalu menulis risalah: Materialisme, Dialektika, dan Logika (Madilog) agar kaum pergerakan di Hindia Belanda tak sekadar meniru revolusi di Eropa.

Tan Malaka yang Saya Hormati

Tak dapat saya tutupi, kau pemikir yang cemerlang yang melampaui zamanmu. Saya ingin mengatakan, kalau penolakanmu tentang Trias Politika, itu sungguh terbukti. Kau pernah mengingatkan, kalau konsep pemerintahan yang demikian, adalah jalan bagi eksekutif, legislatif, dan yudikatif bermain mata. Tidak ada kesungguhan dari ketiganya.

Kini, realitas yang demikian menjadi tontonan setiap hari. Kami benar-benar letih dan jenuh. Parahnya lagi, para intelektual di sebuah negeri yang kau rancang ketika usiamu 27 tahun. Entah mengapa mendukung proyek-proyek kaum neo liberalis yang jelas meminggirkan rakyat. Tan Malaka! Apakah kau merasakannya dari tempatmu di sana?

Yang Terhormat, Ilyas Husain

Kau pejuang kesepian. Kau menjalankan strategimu sendiri, dan kau selalu saja mengganti nama sesuai kebutuhanmu. Untuk apa semua itu? Di tahun 1945, dengan nama Ilyas Husain. Kau pulang dari rantaumu di Eropa. Kau ingin melihat reaksi kaum pergerakan merespon kekalahan Jepang.

Tahukah kau Tan Malaka! Pemuda merindukanmu. Namun, kau tetap diam dipersembunyianmu. Ada apa? Bukankah Soekarno pernah berpesan. Jika kelak dia tak kuasa memimpin lagi, maka kaulah yang pantas mengisi posisinya. Tetapi, mengapa kau menyembunyikan identitasmu dengan memakai nama Ilyas Husain. Apakah kau takut diendus Belanda! Ataukah kau menganggap dirimu belum pantas tampil ke permukaan?

Tan Malaka! Apakah kau tahu. Usai proklamasi diteriakkan Soekarno atas desakan para pemuda! Esoknya, para pemimpin pergerakan berkumpul guna membicarakan siapa yang pantas menjadi Presiden. Tahukah kau Tan Malaka, Soekarno, adalah pilihan terakhir. Karena para pemuda menyebut namamu berulang kali untuk menempati jabatan itu. Tetapi sekali lagi, mereka tak tahu di mana rimbamu.

Sungguh! Kami pun tak tahu jalan menuju pusaramu. Semua menjadi rahasia, seperti guru sejarah saya di sekolah yang tak mengajarkan dirimu.

***
Pangkep, 27 Oktober 2012



Komentar

Postingan Populer