Sang Demosntran yang Menulis

Soe Hok Gie

Peristiwa apakah yang benar-benar terekam dalam teks dari hari yang dilewati. Tentunya, sebuah jeda yang berkesan. Dan itulah alasan kuat, mengapa setiap orang memiliki rutinitas untuk menuliskan petak sejarah kehidupannya setiap hari.

Namun, apakah yang tersiar itu sebuah gejala? Berupa dampak dari sebuah perenungan atas apa yang dirasakan, berikut kebutuhan informasi orang-orang di luar kita. Ataukah itu sekadar centilan emosional yang membuat kita sakit sendiri dan merasa perlu menyebarkan ke khayalak.

Saya membaca catatan harianmu setelah 30 tahun kau berkalang tanah. Di hari yang panjang itu, kau menuliskan sesuatu yang tak biasa. Ya, sangat tidak biasa dari remaja seusiamu ketika itu. Dengan berani kau menulis:

“…Guru bukan dewa dan selalu benar. Dan murid bukan kerbau”  

Sungguh, anak sekolah yang harus berbusana wajib setiap hari itu masih mendapatkan sosok guru yang kau tegur ketika usiamu baru16 tahun.

Soe Hok Gie

Kami tahu, kalau kau tak punya hajatan untuk mempublikasikan catatan harianmu. Mungkin karena kau tak ingin menawarkan luka. Meski peristiwa itu yang kau saksikan adalah pengalaman bersama. Tetapi, kau berkata lain perihal Soekarno. Tokoh yang saya kenal sehebat pahlawan di film hero.

Bahkan sastrawan sekelas Pramoedya Ananta Toer begitu mengaguminya. Dan kau malah mengejutkan kami. Kau malah mengusulkan agar Soekarno digantung di lapangan Banten. Kau mengundang kami agar tidak terjebak pada ketokohan.

Karena jasa teman-temanmu, catatan harian yang kau tulis sejak tahun 1957 itu. Kini menjadi bacaan anak-anak zaman. Seminggu sebelum saya menulis surat ini. Seorang teman mengirim pesan pendek, ia berkata:

“Saya mau membaca buku Catatan Seorang Demonstran, di mana saya bisa mendapatkannya”

Soe Hok Gie, tahukah kau, teman itu masihlah pelajar kelas dua sekolah menengah atas (SMA). Lebih lanjut ia menjelaskan kalau keinginannya itu merupakan akibat setelah ia menonton film Gie garapan Riri Riza. Ia ingin mengenalmu langsung dari tulisanmu. Ah, entah apa jadinya jika catatan haraianmu itu ditampilkan sebagaimana adanya. Karena teman-temanmu terlebih dahulu telah melakukan penyensoran sebelum dicetak LP3S menjadi sebuah buku.

Soe Hok Gie, satu pertanyaan yang menggantung. Mengapa kau tak mengganti namamu. Bukankah kakakmu, Soe Hok Djin telah memproklamirkan nama barunya yang hari ini kami kenal sebagai Arief Budiman?

Bukankah penggantian nama ketika itu, adalah bentuk strategi agar bisa hidup layak di negeri ini? Karena etnis Tionghoa adalah kambing hitam untuk sebuah peralihan.

Soh Hok Gie, apa yang hendak kau tegaskan dengan sikapmu itu. Apakah kau ingin berkata, kalau Indonesia bukan hanya Jawa, Sumatera, Sulawesi, atau Papua. Ataukah kau ingin menjelaskan, kalau entis Tionghoa adalah bagian yang tak terpisahkan dari perkembangan negeri ini? Entahlah, yang kami tahu, Gusdur ketika menjabat presiden. Merayakan keberagaman itu.

Soe Hok Gie, jika saja engkau masih bersua. Apakah kau akan menggunakan akun facebook sebagai ruang guna menuliskan catatan harianmu? Karena hari ini. Anak-anak zaman melalui jejaring sosial tengah berteriak tentang apa saja. Mereka merasa punya kebebasan untuk itu. Karena sesuka hati, mereka bisa langsung bersembunyi.

***
Makassar, 24 Oktober2012
Catatan:
Seri surat imajiantif ini merupakan proyek penulisan selama 30 hari yang saya posting di wall group Facebook Komunitas Sastra Pangkep yang dimulai pada 24 Oktober 2012. Sebelumnya juga sudah saya sebar di wall group Perhimpunana Pelajar Indonesia Makassar. Barulah kali ini saya mempublikasikannya di blog.



Komentar

Postingan Populer