Legenda yang Menolak Menjadi Besi Tua

Dok; Kamar Bawah, 2018


Di siang yang terik ketika melintas di jalan menuju permandian air terjun Bantimurung, Maros. Saya menghentikan kendaraan karena melihat mobil Toyota Kijang sedang parkir di halaman sebuah rumah.

Mobil itu tidak sedang dijual sebagaimana perilaku orang yang sengaja memarkir kendaraan di tepi jalan dengan tulisan yang menerangkan kalau mobil tersebut hendak dilego. Kijang merah itu nampaknya sudah lama terparkir, kelihatan dari tumbuhan semak yang hampir menutupinya. Begitupun dengan kondisi bangunan rumah yang tidak terawat.

Pintu pagar rumah itu sudah tidak ada dan seorang pembecak memanfaatkan halaman rumah yang cukup luas dan rindang itu untuk berteduh. Ketika saya singgah, pembecak itu sedang memperbaiki moda transportasi berban tiganya. Padanya saya hanya lemparkan senyum dan tidak membuka percakapan.

Setelah menjepret dengan kamera hape, saya melihat situasi sekitar mencari orang yang bisa dimintai keterangan perihal siapa pemilik rumah dan Kijang merah tersebut. Sayang, saat itu tidak ada warga yang nampak.

Nomor Polisi DD 8677 AR yang menempel di banper berlaku bulan Mei tahun 2014, menunjukkan tahun kadaluwarsa selama empat tahun. Saya menemukannya memang di tahun 2018 lalu.

Melihat kondisinya, Kijang berbodi pick up itu masih mulus. Entah kenapa pemiliknya tidak menjualnya saja dan malah membiarkannya teronggok. Dilihat dari depan, Kijang itu merupakan produksi generasi ketiga yang diproduksi dari tahun 1986 hingga 1997 atau dikenal dengan sebutan Kijang Super.

Mobil Kijang begitu melegenda, bukan hanya di Sulawesi Selatan tetapi berlaku di seluruh di Indonesia. Di laman Wikipedia disebutkan kalau produksi mobil ini juga dilakukan di Fhilipina dengan nama Kerbau, dalam bahasa setempat disebut Tamarraw.

Serial Kijang hingga kini masih terus bertransformasi, generasi mutakhir ialah Kijang Innova yang mulai produksi di tahun 2004 dengan segala variannya. Seorang teman di kampung malah meyakini kalau produk Toyota yang asli itu cuma Kijang, produksi yang lain dianggapnya bukan asli Toyota.

Saya masih sempat menyaksikan Kijang produksi pertama tahun 1977 megaspal di jalan desa. Digunakan untuk mengangkut gabah. Sewaktu kecil, saya sering ikut menumpang di Kijang pick up milik Muh Ilyas, salah satu pengusaha penggilingan padi di kampung saya, Desa Kabba.

Ketika produksi Kijang Rangga mulai beredar di tahun 1997, Kijang milik Muh Ilyas malah semakin menujukkan kinerjanya di luar batas dengan memaksakan muatan melebihi beban yang seharusnya. Padahal, bodi Kijang itu sudah keropos dan sudah kehilangan satu pintu. Orang-orang di kampung kemudian menjulukinya Kijang “Rangka” karena memang kondisi bodinya yang sudah keropos dan juga, tentu saja, pelesetan terhadap Kijang Rangga.

Meski begitu, Ilyas menolak menjual mobilnya itu. Hingga kemudian ia ganti dengan Kijang generasi kedua yang mulai diproduksi tahun 1981 yang dikenal dengan sebutan Kijang Kotak. Sesekali Kijang “Rangka”nya itu masih sering ia pakai sebelum dipensiunkan. Muh Ilyas pernah menampik pengepul besi tua ketika ingin membelinya. “Kijang itu saksi atas usaha saya,” ujarnya suatu ketika.

Mungkin yang dipikirkan pemilik Kijang merah yang diselumuti semak itu berpikiran serupa. Tidak tega melepas mobil legendarisnya. Kalaupun sudah tidak bisa dijalankan, bukan alasan untuk menjadikannya besi tua. Ada nilai yang tidak terharga.
_

Komentar

Postingan Populer