Humor Bajingan


Sesungguhnya, hal yang ingin sekali diketahui dari seorang penulis bukanlah proses kreatifnya. Melainkan diri penulis itu sendiri. Asumsi ini boleh diterapkan pada penuls favorit Anda.

Boleh saja Anda membaca semua karya tulisnya dan fasih menjelaskan pada orang-orang di sekitar Anda. Tetapi, lebih dalam, Anda ingin tahu lebih detail kedirian penulis idola Anda itu. Contoh sederhana, Anda memilih Maxim Gorki sebagai idola, prosesnya didapat dari bacaan yang mengupas Gorky atau dari seorang penulis hebat negeri ini juga menganggap Gorky sebagai inspirasi dan menerjemahkan satu karyanya.

Anda lalu mencari dan membeli novel Ibunda dan Pecundang. Anda, tentu saja menempatkan dua novel itu sebagai kitab suci yang harus dibaca. Peduli setan jika kemudian gagal memahami isinya. Intinya, Gorky adalah idola Anda. Itu saja.

Lalu, semuanya terserah Anda. Remeh temeh soal Gorky selalu Anda cari. Ada kaos yang menjadikan wajah Gorky sebagai gambar, Anda tidak mau ketinggalan ingin mengenakannya. Begitu seterusnya. Artinya apa, Anda ingin tahu lebih lekat dengan Gorky. Siapa saja karibnya semasa muda. Apa saja yang telah diperbuat sebelum memilih menulis sebagai jalan hidup. Hingga hal-hal yang lain.

Konsep idola semacam itu saya kira wajar saja. Semua orang berhak menetapkan idola dalam hidupnya. Jadi, tak perlu risi jika salah satu teman SMA Anda memilih mengidolakan Habib Rizieq, umpamanya. Itu hak dia.

Novel terbaru Puthut EA, Para Bajingan yang Menyenangkan (Selanjutnya, saya sebut saja novel Bajingan), Subhanalloh, itu sungguh kisah para bajingan. Ditulis dengan cara bajingan pula. Baru-baru ini, Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) merilis pertanggungjawaban mengenai penetapan novel unggulan sayembara menulis novel tahun 2016. Isinya mengupas pendek novel yang dianggap unggul itu. Hal tersebut tentu saja merupakan hak para juri.

Lalu apa kaitannya dengan novel Bajingan. Saya juga tidak tahu. Saya iseng saja memasukkan asumsi itu. Puthut EA, Anda tahu, saya tidak ingin membeberkan semua judul buku yang telah ditulisnya. Sebab itu cara paling goblok mengenalkan siapa dirinya.

Dari sekian banyak buku yang telah ditulis. Saya hanya mengoleksi tiga saja. Mengapa hanya tiga. Karena sejauh ini, cuma itu yang mau (sempat) saya beli. Dua Tangisan pada Satu Malam, Sebuah Kitab yang Tak Suci, dan novel Bajingan, tentu saja. Tidak ada alasan khusus.

Lantas, apakah saya mengidolakan Puthut EA. Tidak juga. Tidak semua tulisan yang diposting di laman Facebooknya saya baca. Sebagaimana satire yang dia tulis di Mojok.Co. Bagi saya, membaca tulisan Phutut EA, hanyalah jeda sesaat dari beragam bacaan yang menuntut perhatian lebih.

Ketika ia mengumumkan di laman Facebook kalau novel Bajingan segera terbit. Saya tetapkan sebagai agenda bacaan. Malah, saya mengikuti kuis buku yang diumumkan pada 12 Desember lalu. Bertepatan dengan perayaan maulid. Saya enggak yakin menang karena iseng saja mengikuti petunjuk kuis. Berbeda ketika Eka Kurniawan membuat kuis bagi buku sewaktu rilis novel Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas, saya serius dan menang.

Tertanggal 20 Desember, Puthut EA kembali membuat kuis buku sebagai momentum hari Ibu pada 22 Desember. Jika saya mau, saya bisa mengikuti kuis itu dan yakin menang. Jika sekadar membeberkan kisah saya dengan emak, sapaan saya, dan umumnya orang Bugis pada ibu, sebagaimana endorsement Gabriel Garcia Marquez di novel Juan Rulfo, Pedro Paramo, saya bisa mengisahkan seluruh kisah emak saya dari depan dan belakang sama baiknya. Sama epiknynya. Sama heroiknya. Sama dramatisnya.

Namun, saya menolak mengikuti kuis. Bukan apa-apa. Dikiranya nanti saya tidak mampu membeli buku. Novel Bajingan sudah saya beli dengan menyisihkan anggaran oli sepeda motor. Itu bukti otentik yang perlu dicatat. Dingat sebaik-baiknya.

Jadi begini. Saya mulai saja menuliskan catatan pembacaan saya atas novel Bajingan itu. Sebelumnya, Puthut telah menerbitkan Kami Tak Ingin Dewasa, saya senang dengan judul novel itu. Hampir saya membelinya andai tidak ada pesan pendek dari istri yang mengingatkan membeli popok. Pada akhirnya, novel itu saya lupakan.

Namun, saya menyimpan keyakinan kalau novel Bajingan kurang lebih berkisah sama dengan dengan novel itu. Kisah para bajingan yang, merupakan jejak Phutut sendiri bersama kawan-kawannya. Sejumlah petualangan di novel Bajingan ini mengingatkan saya pada kisah Danny dalam novel Dataran Tortilla, Jhon Steinbeck. Kocak dan penuh humor dimana hanya mereka yang tahu.

Puthut menulis semau dia. Ia menolak menerjemahkan percakapan ke dalam bahasa Indonesia baku meski kemungkinan itu ada dengan pertimbangan sebaran pembaca ada di luar Jawa. Ia lebih memilih menambahkan kamus di lembaran akhir. Karena tidak paham kosa kata Jawa, maka harus menengok kamus itu untuk menikmati alurnya.

Sepotong fase jejak hidup Puthut diceritakan di sini. Mahasiswa Fakultas Filsafat di UGM yang linglung karena tak tahu harus melamar pekerjaan di mana, kelak jika lulus. Berjumpa dengan Jadek (Alm) Bagor, Kunthet, Proton, dan Babe. Jackpot Society, itu nama kelompok mereka. Terisnpirasi dari film Dead Poets Society yang dirilis tahun 1989.

Semuanya adalah mahasiswa yang meluangkan waktu bermain judi yang dianggap sebagai ilham menjalankan hidup, melupakan beban hidup lebih tepatnya. Tetapi, pola itu berlangsung dalam satu fase saja dalam kehidupan mereka. Tidak berlanjut di sepanjang hidup yang ditapaki.

Selain bermain judi, mabuk juga menjadi pelengkap. Semuanya dijalani dengan bahagia. Puthut menggarap novel ini sebagai tribute kepada kawan jalannya. Jadi, bisa pula dibaca selaku biografi Puthut sendiri sebelum diingat sebagai penulis.

Ada banyak sekali adegan yang memantik tawa. Laku itu sesungguhnya biasa saja dan mengingatkan kita pada kisah serupa yang, mungkin saja pernah dilakoni. Misalnya saja, mengerjai orang-orang yang makan di kantin dengan memindahkan lauk ke piring orang lain. Kesempatan itu ada karena orang yang bersangkutan memejamkan mata. Berdoa sebelum mengaso.

Jejak aktivisme kampus juga diceritakan. Bagaimana sejumlah mahasiswa yang tergabung di Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID). Konteks kisah terpatri di tahun-tahun menjelang Soeharto lengser di tahun 1998. Jadi, latar berkisah di awal mereka menjadi mahasiswa baru hingga dianggap senior dan berlanjut ketika semuanya sudah berkeluarga.

Porsi kisah Bagor lebih banyak ketimbang yang lain. Nampaknya, Bagor adalah titik pusat serangkaian kisah mereka. Bagor pula yang berani menantang polisi bentrok jika tidak membubarkan diri karena SMID ingin berdemonstrasi. Saat itu Bagor adalah tokoh di SMID. Pemimpin demonstran. Ia dikader langsung Faizal Reza, salah satu aktivis yang diculik Tim Mawar. Bagor juga intens mengikuti khotbah propaganda Nezar Patria dan Andi Arief.

Kisah lain, sebagai pecinta anjing dan tidak doyan bola meski senang berjudi bola. Bagor pernah mengundang ibunya buka bersama di kediamannya. Sialnya, tak sengaja mengucap kalau salah satu hidangan buka itu terdapat daging babi. Dan, begitulah bajingannya si Bagor itu.

Satu peristiwa lagi, Bagor yang juga mencintai keris, pernah menebus benda itu seharga 10 juta dari Mapzung, seorang bocah yang diceritakan mampu mengalahkan preman kampung tanpa terlibat adu jotos. Keris itu dipercaya tidak bakal terdeteksi metal detector di bandara.

Benar saja, keris itu tidak terdeksi karena ibunya mengeluarkan benda itu dari dalam tas tanpa sepengetahua Bagor. Oleh ibunya, dianggap mengambil tempat terlalu banyak sehingga tidak bisa memasukkan ikan kering. Bekal Bagor ketika sampai di indekosnya.

Novel Bajingan ini tidaklah berkisah terlalu jauh. Hanya berputar pada kisah Phutut dan karib kentalnya pada satu masa ketika mereka tak tahu arah. Sapaan bajingan di antara mereka merupakan keakraban. Sebab dengan itulah mereka bisa saling menghibur sebagai sesama bajingan.
_

Pernah dimuat di saraung.com

Komentar

Postingan Populer