Revolusi yang Tidak Dialami

Di hari kini, mengenggam lebih dari satu ponsel sepertinya sudah menjadi kebutuhan. Namun, benarkah itu sungguh kebutuhan. Bagi mereka hidup dalam lingkaran mobilitas tinggi, boleh jadi menjawab tegas kalau hal tersebut memang kebutuhan.

Satu ponsel dikhususkan untuk menghubungi relasi bisnis, satu lagi sebagai alat penyambung komunikasi pribadi, hanya diperuntukkan bagi keluarga atau kerabat dekat. Kemudian dibutuhkan lagi ponsel pintar yang bisa digunakan dalam mengakses fitur di dunia maya guna menjalin komunikasi di jejaring sosial.

Ini fenomena menuju sesuatu yang wajar. Beberapa tahun sebelumnya, ketika ponsel belumlah bermutasi seperti sekarang ini. Memiliki satu alat komunikasi tetap saja belumlah cukup. Walau sejumlah pabrikan kemudian merilis ponsel yang dapat berkartu ganda, tetap saja hasrat mendekap ponsel lebih dari satu tak pernah menjadi akhir.

Sebenarnya, apa yang ingin dicapai dan ditunjukkan dengan kepemilikan benda-benda itu. Tanya ini pernah kuajukan pada seorang kerabat di kampung, saya kira bukanlah indikasi hidup mobilitas tinggi sebagaimana pergulatan kelas pekerja kaum menengah di perkotaan. Pasalnya, saya melihat dia kerepotan, selain perlu menambah limit mengisi pulsa pada tiga kartu selular yang dipakai di tiga ponsel yang berbeda. Dia pun kewalahan memastikan ponselnya selalu terisi daya baterai. Maka, dibutuhkan power bank dan charger yang sepertinya lebih penting dibawa bepergian ketimbang benda yang lain.

Jujur, kawan saya itu mengakui kewalahan. Dikiranya benda-benda itu memberikannya ruang lebih luas dalam beraktifitas. Tujuannya semula, diharapkan dapat membantu dalam mengektifkan pekerjaan yang dilakoni. Setitik memang mendukung, selanjutnya menjadi tantangan sekaligus bagian dari masalah itu sendiri. Dengan ponsel pintar, misalnya, ketersediaan pulsa tidaklah cukup. Sebab di daerah dibutuhkan perangkat lain, perlu jaringan kuat dan ketersediaan Wi-Fi.

Kisah serupa dari kawan lain yang beraktifitas di kota. Jaringan dan meluasnya spot Wi-Fi tentu bukan halangan. Ditambah melimpahnya warung kopi ditunjang jaringan internet adalah solusi bila sedang berada di luar rumah atau kantor. Selaku wiraniaga di perusahaan dealer kendaraan roda empat, keberadaan ponsel pintar di genggaman menjadi hal wajib.

Porsi aktivitas kerja yang lebih banyak di lapangan, ia tetap bisa mengakses perkembangan terbaru menyangkut kerja sistem di kantornya. Dikarenakan perusahaan tempatnya bekerja memanjakan wiraniaga dengan menggunakan perangkat online yang disebut Auotomotive Management System, memungkinkan dapat memantau ketersediaan unit kendaraan yang siap dijual.

Kendala utama yang dihadapi, tentulah ketersediaan daya ponsel pintarnya. Tak hanya ponsel lebih dari satu yang dibutuhkan, tetapi jumlah power bank juga perlu lebih dari satu. Bahkan, ia merasa perlu menyiapkan baterai ponsel cadangan. Diakui, hal tersebut lumayan merepotkan.

Dua kasus di atas, cermin menggeliatnya kepemilikan alat komunikasi sebagai penunjang aktivitas kerja dan juga, dalam kegagapan kita selaku pengguna merasa ikut perlu menaikkan atau menjaga gengsi di tengah masyarakat. Meski pada dasarnya, kita hanya ingin berkomunikasi jarak jauh.

Di awal tahun 2000-an, merupakan titik peralihan kepemilikan ponsel dari kelas atas turun ke kelas menengah yang memaksakan diri memiliki benda pintar itu. Tak perlu menunggu masa seratus tahun guna memastikan kelas bawah memiliki akses turut menguasai. Murahnya sebiji ponsel dan sepertinya kartu selular seolah tak berharga lagi, adalah jalan meratanya kepemilikan alat komunikasi.

Secara filosofis, materi akan terus berkembang. Begitulah selanjutnya hingga wujudnya sekarang ini. Layanan pesan pendek dan jalur komunikasi verbal seolah tak cukup. Berkembangnya teknologi informasi membuka jalan bagi produsen ponsel atau pabrikan alat elektronik  lainnya yang berbasis internet mencipta gejala baru di tengah masyarakat.

Jika ditilik lebih jauh, balik di akhir abad ke 18. Revolusi industri di Eropa menjadi jalan atas kebutuhan masyarakat di sana. Di fase inilah awal mula teknologi dibutuhkan sebagai media manusia dalam menjawab kebutuhan yang makin meningkat. Dengan teknologi, efisiensi kerja terjamin.

Jadi, semula masyarakat Eropa telah melewati fase revolusi mental (pergulatan pemikiran). Sadar akan apa yang dibutuhkan menjadi pemantik munculnya sosok penemu di bidang teknologi yang memuluskan jalannya revolusi industri yang terus berkembang hingga sekarang.

Kita tahu, beragamnya ponsel di gerai toko elektronik semuanya produk impor. Kita bukanlah bagian masyarakat yang telah melewati dua revolusi yang telah disebutkan. Tegasnya, kita tak pernah melewati revolusi itu. Maka menjadi mungkin, kehadiran benda-benda canggih itu hanyalah produk konsumsi semata. Keinginan memiliki bukanlah bagian atas kesadaran.

Lantas, apakah kehadiran teknologi informasi itu dijadikan musuh atau kawan. Keduanya bisa tumbuh. Menguat menjadi musuh jika mengedepankan hasrat konsumtif. Karena merupakan keniscayaan, teknologi ini masihlah memiliki ruang yang bermanfaat. Misalnya saja, lahir website fenomenal kawalpemilu.org pada Pilpres lalu kreasi anak muda, Ainun Najib sebagai ruang partisipasi masyarakat dalam memberikan, memantau, dan mengawasi suara. Atau, change.org yang menjadi teriakan protes berbasis petisi di dunia maya.
                                                                            
Sela itu bukanlah cela. Paling tidak, walau dasarnya kita tidaklah menjadi bagian pangkal revolusinya. Memanfaatkan ruang melalui benda canggih itu memungkinkan menjadi dasar tersendiri memulai tradisi berpikir berbasis kesadaran agar remah dua revolusi di Eropa itu menjadi bagian yang pernah dialami juga. Ini perlu, agar revolusi teknologi yang tak dialami tidak serta merta menempatkan kita selaku konsumen saja.
_

Dimuat di Tribun Timur edisi 16 Desember 2014


Komentar

Postingan Populer