Menunggu Antitesa atau Godot

Mencermati pernyataan beberapa pemimpin partai menanggapi hasil hitung cepat pemilihan calon legislator yang telah dilaksanakan, nampaknya serupa membuka pintu lebar-lebar bagi siapa saja. Pasalnya, dari 12 partai nasional yang telah bertarung, tak satupun yang memperoleh suara hingga 20%. Itulah indikasinya.

Jadi, ada sejumlah kemungkinan koalisi yang akan terbangun dalam menentukan penetapan bakal calon presiden dan wakil. Jalan itulah yang selanjutnya akan ditapaki oleh elite partai. Jelas, di jalur itu suara rakyat tak lagi berfungsi. Misalnya, saja, jika partai A berkoalisi dengan partai C. Suka tidak suka, itu harus diterima. Terserah kemudian bila ada pemilih yang tidak senang dengan koalisi itu.

Andai, jika koalisi pun harus ditempuh dengan mengandalkan pilihan rakyat. Pasti ribet dan terlalu menyita waktu dan biaya. Namun, di situlah salah satu letak medan tafsir yang selanjutnya akan dimaknai ulang oleh pemilih. Tentulah terbuka kemungkinan bila ada pemilih yang akan mengubah haluan bila ia tidak sreg dengan sebuah koalisi.

Tetapi sudahlah, sesuai sistem presidensial yang tersepakati di negeri ini, koalisi adalah keniscayaan. Itulah mengapa tidak ada partai yang jauh hari menetapkan pasangan presiden dan wakil kecuali Hanura. Dan, realitas getir itulah yang kini dirasakan partai nomor urut 10 itu.

Padahal, kita tahu kalau SBY tidak akan dicalonkan lagi oleh Demokrat. Tetapi rupanya, partai pemenang pemilu tahun 2009 itu berada di lingkaran 5 besar perolehan suara (versi hitung cepat). Bagi saya, ini bukan kemunduran, melainkan sebuah momentum. Pikir saja, dugaan kasus korupsi yang menimpa kader maupun prahara yang terjadi dalam biduknya, belum juga membawa partai ini terseok di urutan buncit.

Dengan perolehan suara yang dimiliki, Demokrat masih berpeluang merancang skenario koalisi yang bisa saja menakutkan partai pemenang atau koalisi yang lain. Dengan demikian, pemilu tahun 2014 bisa jadi bukan antitesa rezim sebelumnya.

Koalisi itu merupakan jalan setapak agar tidak lepas dari infrastruktur kekuasaan. Berdasarkan sejarahnya, Demokrat tentulah bukan PDIP yang setia menempuh jalan sunyi di luar garis kekuasaan. Sulit membayangkan kalau Demokrat akan menjadi oposisi. Jika tak bisa membonceng di punggung Banteng moncong putih, pilihannya tentu saja membangun koalisi. Dengan kata lain, jika Demokrat harus menjadi oposisi PDIP, itu bukan karena garis ideologis, tetapi mengalami penolakan.

Di sisi lain, perolehan suara PDIP bisa dibaca sebagai cerminan antitesa. Menjadi oposisi selama sepuluh tahun bukanlah waktu yang singkat dan menolak masuk ke kamar kekuasaan rezim SBY bukanlah tanpa alasan. Boleh jadi itu persiapan menjadi antitesa. Dan, Sekaranglah momentum itu, mandat bagi Jokowi adalah pembuktian Megawati bahwa kekuasaan bukanlah tujuannya.

Hanya, perlu diingat kembali, bila di masa Megawati menduduki kursi RI Satu, jajaran infrastruktur kekuasaan tak sepenuhnya antitesa dari rezim Soeharto (Orba). Lihat saja, Boediono yang sekarang wakil presiden merupakan menteri keuangan dan Dorodjatun Koentjoro Jakti sebagai menko perekonomian kala itu. Bagaimana membaca gejala ini, bahkan di era Gusdur pun, Widjojo Nitisastro dan beberapa anggota mafia Berkley, menjadi bagian penasihat ekonomi pemerintah. (Tarli Nugroho: 2014).

Bukankah Megawati dan Gusdur secara pribadi antitesa dari Soeharto dan rezimnya. Masih menurut Tarli Nugroho, peneliti di Mubyarto Institute, Yogyakarta ini mengatakan kalau semua itu terkait dengan infrastuktur kekuasaan. Megawati dan Gusdur hanyalah sopir baru sebuah kendaraan lama. Bekerja sama dengan infrastruktur usang, itu pilihan yang tak bisa dihindari. Di situlah letak deritanya jika perlawanan tidak dibarengi dengan penguatan infrastruktur kekuasaan tandingan sejak awal.

Dan kini, 15 tahun setelah kemenangan meyakinkan di tahun 1999. PDIP kembali meraih suara terbanyak. Tantangan pun membentang tak hanya dari situasi politik hari ini, tetapi juga hantu sejarah di masa lalu. M Qasim Mathar, dalam opininya (Tribun Timur, 8/4) mengingatkan dosa politik poros tengah yang mengharamkan seorang perempuan menjadi pemimpin.

Namun, Megawati telah urung, apakah hantu koalisi akan menjanggal Jokowi? Itulah tantangannya. Di salah satu acara televisi nasional ketika Jokowi tampil bersama Abu Rizal Bakri, ketua partai Golkar itu terang mengatakan kalau dirinya terlalu tua menjadi wakil bagi Gubernur DKI Jakarta di Pilpres mendatang. Sebaliknya, Jokowi memegang teguh mandat yang telah diamanahkan.

Lantas, apakah jawaban Jokowi itu peringatan sebagai tanda terwujudnya antitesa? Atau, jangan-jangan kita hanya menunggu Godot, naskah drama Samuel Beckett yang berkisah tentang penantian manusia yang tak jelas. Sebab, koalisi perlu dijajaki yang artinya menerangkan pembagian kekuasaan.
_

Dimuat di Tribun Timur, 12 April 2014


Komentar

Postingan Populer