Putra Daerah dan Kekuasaan
Jika mencermati
perhelatan Pilkada, barang tentu kita akan menyaksikan kekuatan lokal yang akan
berseteru. Segala kekuatan yang saling terpaut, seperti jaringan keluarga dan
modal menjadi amunisi guna merebut kuasa.
Sulit dipungkiri
jika orang-orang di daerah yang memiliki kultur kekuasaan mau merelakan
kepemimpinan pada orang baru, politisi muda, misalnya. Itulah mengapa pemenang
Pilkada masih didominasi rumpun politik dari masa lalu. Lalu mengapa hal ini
bisa langgeng? Ada banyak perspektif, saya mengajukan tiga pranata yang mungkin
bisa dijadikan analisis dasar.
Pertama, jaringan
keluarga. Ini sebutan lain dari gen politik, akumulasi ingatan pemilih sedikit
banyaknya akan terikat dengan emosional kesejarahan aktor. Bentuk ini
sebenarnya bagai pedang bermata dua, jika dulu terjadi penyimpangan (cacat
sosial), boleh jadi masyarakat ogah memilihnya, sebaliknya demikian.
Kedua, kuasa modal,
dalam perkembangannya, asumsi pertama (cacat sosial) kadang tertepiskan dengan
kekuatan modal. Praktik inilah yang mengacaukan rasionalitas demokrasi,
sehingga menguatkan orang-orang dungu yang berkelimpahan harta dan melemahkan
subtansi pemilihan kepala daerah.
Ketiga, obsesi
pemulihan dan kenaikan derajat sosial. Terbukanya suksesi kepemimpinan di
daerah adalah jalan bagi penapakan itu. Kembali merujuk pada hal pertama,
kaitannya dengan cacat sosial. Situasi ini sebenarnya anomali politik yang
terus dipertahankan, menganggap kalau pencapaian karir politik sebagai media
pemulihan harkat. Itulah kemudian mengapa masih saja ada orang yang mau
berjejal di Pemilukada meski sebelumnya telah terlibat kebiadaban (korupsi).
Produksi Kuasa
Sumbunya memang
dari kaum elite di daerah yang menguasai pusaran ekonomi sehingga dengan mudah
menjadi patron legitimasi, dari sini akan mudah membentuk skema untuk merebut
kuasa di pemerintahan.
Sebenarnya ada
yang bergeser dari perkembangan kaum elite ini, di masa lalu, kelompok elite
merujuk pada orang-orang yang berkualitas baik, menduduki jabatan strategis
sosial politik dan tidak sekadar
dikaitkan dengan kepemilikan harta yang berlimpah, memang tak dipungkiri jika mereka
berasal dari kelas orang kaya. Tapi, ada sirkulasi kecakapan yang melekat
sebagai bekal dalam menjalankan roda pemerintahan.
Kuasa modal
tidak menjadi mahar politik, inilah yang membedakannya dengan situasi sekarang.
Kolaborasi modal dan kaum elite menjadi faktor penentu untuk merebut kekuasaan.
Dianggapnya kepemimpinan di daerah merupakan bentuk pencapaian obsesi pribadi,
keluarga, dan kroni. Pemahaman yang
demikian sungguhlah keliru, sebab menapikan tanggung jawab kepemimpinan.
Bukankah jabatan politis merupakan amanah masyarakat, karena itu, jika ada
kepala daerah yang masih sibuk dengan urusan pribadi, maka ia telah
mengkhianati konstitusi. Dan, tentu tak layak dijadikan panutan.
***
Dari lalu lintas
perhelatan pemilihan kepala daerah, baik tingkat satu dan dua. Tersirat maupun
tidak, Isu putra daerah selalu menjadi jualan yang laris. Sebab menjadi lem guna
mempererat emosional pemilih, meski yang bertarung semuanya putra daerah. Hanya
saja, isu ini senang jika dimaknai sempit sebagai seseorang yang lahir, besar
dan berkarya di daerah yang bersangkutan dan tak memiliki catatan hijrah dan
berkarir di daerah lain.
Di bagian ini,
yang terbentuk dan berkembang bukanlah pada keinginan untuk mengubah kondisi.
Melainkan pemenuhan asumsi ketiga (harkat). Kita bisa lihat dari menggeliatnya
kepala daerah untuk terus menanjak. Memilih cuti untuk berpartisipasi dalam
perhelatan pemilihan yang lain meski yang bersangkutan masih legal menjabat
sebagai kepala daerah.
Memang itu hak
dan dijamin regulasi, tapi membingungkan sekaligus semakin menunjukkan adanya
obsesi kuasa yang berlebih. Sepertinya tak sudi jika orang lain yang menjabat.
Lalu, ke mana tanggung jawab atas mandat masyarakat yang telah direbut. Apakah hal
itu sebagai permainan kekuasaan semata? Boleh jadi demikian.
Pemilihan kepala
daerah secara langsung memang masihlah berusia belia, konsep ini merupakan
salah satu penanda dari penghancuran sistem pusat yang dulu dirawat Orba.
Karena itu, seyogianya dijadikan ruang untuk bertumbuh sesuai nafas tuntutan
masyarakat yang mendiaminya.
Saya kira
masalah kita bukan lagi pada persoalan kewilayahan. Di sulsel ini, 24
kabupaten/kota memiliki luas wilayah yang begitu lapang, hal tersebut tentulah
berkah. Bukan alasan untuk menyepakati asumsi keliru kalau luasnya wilayah
merupakan penyebab kelambatan distribusi kesejahteraan dan kemajuan daerah.
Kecakapan kepala
daerahlah yang dibutuhkan. Ini perlu diingat, bahwa merebut pucuk kepemimpinan di
daerah bukanlah adu kekuatan modal, pemanfaatan jaringan keluarga, apalagi
proses penanjakan harkat. Bahwa berkuasa itu penting. Itu, iya. Tapi sebagai
media mengubah keterpurukan sosial menjadi wahana kehidupan egaliter. Kuasa
yang demikianlah yang dirindukan, agar putra daerah tak berakhir sebagai isu
yang dangkal.
***
Makassar, 28 Mei 2013
Komentar