Peringatan Marquez
Dok. Kamar Bawah |
Tanpa sengaja saya menemukan novel Tumbangnya
Seorang Diktator di
salah satu toko buku di Makassar. Sepintas saya hanya melihat judulnya saja di tengah
himpitan buku-buku yang lain
yang memenuhi rak toko buku tersebut. Begitu saya meraihnya, sungguh di luar dugaan karena pengarang
novel tersebut peraih Nobel sastra tahun 1982 melalui karyanya yang monumental: Seratus Tahun
Kesunyian.
Seakan masih belum percaya kalau novel
yang berjudul asli El Otono del Patriarca
itu sekarang
sudah di tangan saya, yang merupakan salah satu karya penting Gabriel Garcia
Marquez yang ia sumbangkan untuk kekayaan sastra dunia. Ia dilahirkan di sebuah pulau
tropis terpencil di Kolombia tahun 1928, tetapi perjalanan hidup Gabriel Garcia
Marquez dilalui dari empat negara. Selain di Meksiko ia juga pernah tinggal di
Venezuela dan Paris sebelum bermukim di Barcelona, dan di Spanyol bersama istri beserta
anak-anaknya.
Novel ini memang tergolong buku lama
terbitan Yayasan Obor Indonesia cetakan pertama 1992. Salah satu nilai lebih
dari penerbitan novel edisi bahasa Indonesia ini karena dibubuhi kata pengantar
oleh YB Mangunwijaya.
Lewat kata pengantar itu, Mangunwijaya mengingatkan kepada pembaca kalau ada
kesedihan tersendiri ketika membaca karya sastrawan yang disebut sebagai
maestro realisme magis itu,
dikarenakan oleh kita yang tidak menikmatinya melalui bahasa aslinya yang
memercikkan gelora dan serba hidup yang
merupakan sifat bahasa Spanyol yang sangat cocok dalam mengungkapkan fantasi
dan emosi. Tetapi
terlepas dari itu, kita tetap bisa menghayati makna penting dari novel yang
diterbitkan pertama kali dalam bahasa Spanyol pada tahun 1975.
Pada awal cerita, pengarang sudah
membuka cakrawala pembaca dengan mengantar pada situasi istana presiden yang
sunyi dengan sisa-sisa kejayaan yang sudah usang. Di mana sebelumnya tak seorangpun
rakyat jelata yang bisa melihat seisi perabot istana apalagi menginjakkan kaki
di sana.
Gabriel Garcia Marquez selalu membangun jembatan imajinatif yang memungkinkan
seluruh pembaca dari latar belakang berbeda mampu menangkap kondisi realitas
dalam gubahan khayalnya, mari kita simak berikut ini:
“…dia hadir setiap saat dan di mana-mana bersama kekikiran
yang kaku namun juga dengan kegigihan yang tak terbayangkan untuk orang seumur
dia, sambil dikerumuni gerombolan-gerombolan penderita lepra, orang buta, dan
orang cacat yang berebut minta garam kesehatan dari tangannya, dan tokoh-tokoh
politik berpendidikan dan barisan pemuja tak kenal putus asa yang menobatkannya
sebagai bapak pembetul gempa bumi, gerhana bulan, tahun kabisat, dan
kesalahan-kesalahan Tuhan yang lain…”(Hal. 10).
Penggambaran watak diktator dalam
pucuk pimpinan suatu negara tampak terasa dari alegori yang dibangun, seakan ia
adalah “malaikat” atau bahkan “Tuhan” yang lain dalam imaji masyarakat yang
menafsirkan kebenaran-kebenaran yang harus diamini. Seorang tokoh politik yang
kenyang dengan pendidikan tinggi pun tak kuasa membantah tafsirannya.
Sosok diktator itu adalah Jenderal tua yang menjadi tokoh utama dalam novel ini yang sepak terjangnya sungguh rendah, lahir dari seorang wanita kampungan penjual burung-burung tipuan, tanpa ayah, tanpa harta, namun punya bakat yang luar biasa untuk berkomando, ia juga mengidap penyakit kaki gajah. Akan tetapi dengan naluri politikus rendah yang tak pernah meleset perhitungannya dan selalu berhasil mencapai sasaran dengan segala cara, meski tidak halal. Semua ditempuhnya. Bendicion Alvarado adalah ibunya yang merupakan satu-satunya orang yang bisa membentaknya sekaligus yang paling ia hormati.
Lebih tegasnya, novel ini merupakan bentuk
perjuangan aktif dari seorang sastrawan dunia ketiga dalam mendedikasikan
kesaksian imajinatif yang bisa saja faktual. Karena sebagaimana diketahui sosio
politik negara-negara dunia ketiga pada umumnya dan negara Amerika latin pada
khususnya yang merupakan fokus kerja analisis Gabriel Garcia Marquez, tampak
memperlihatkan praktik kekuasaan yang cenderung diktator. Semua itu dikemas
dengan pembangunan karakter tokoh dengan pendekatan simbolis yang paling rendah
sekalipun untuk menunjukkan kebejatan seorang diktator.
Hal itu diakui oleh Mangunwijaya dalam
pengantarnya kalau tokoh gubahan Gabriel Garcia Marquez begitu subyektif
sehingga yang dialektis terasa obyektif, begitu gaib mistik real rasional
berdiri di tengah-tengah
kita, mengerikan sekaligus lucu, serba paradoks dan penuh teka-teki. Walhasil
semua tokoh dalam novel ini membuat tipisnya jurang antara subyektivitas
manusia dan obyektivitas realitas dan sejarah yang harus dijalani. (Hal. xii).
Dalam karir kepengarangannya, Gabriel Garcia Marquez tidak
hanya menulis novel-novel yang monumental, tetapi juga cerpen. Salah satunya
antologi berjudul Selamat Jalan Tuan
Presiden yang diterbitkan Bentang Pustaka dan mengalami cetak dua kali di tahun 1999. Unsur manusia yang
mengalami kesunyian yang mendalam di tengah gilasan modernitas tetap
menjadi sistem tanda yang dilekatkan pada watak tokoh-tokoh yang dibangun.
Bukan sebatas pada satire politik melainkan juga penjelajahan filsafat penuh
pertanyaan dengan pendekatan dekontruksi nilai-nilai. Hal itulah yang semakin
mengukuhkan dirinya dianggap penganut mahzab tersendiri dari perkembangan
realisme Rusia yang dipelopori Maxim Gorki.
Lebih jauh diceritakan jelajah watak
diktator seorang Jenderal tua dalam menjalankan mesin kekuasaanya ternyata
berujung pada kesedihan yang begitu mandalam bagi ibunya, Bendicion Alvarado yang
mengeluh. Ia
diselimuti kepayahan kasih seorang ibu, tapi sekaligus penuh pengharapan pada
Tuhan yang teramat sulit untuk disebutkan.
“…kepada siapa saja yang mau mendengar
bahwa tidak ada gunanya menjadi ibu seorang presiden yang tidak mempunyai apa-apa
selain dari mesin jahit tua yang memilukan ini, keluhnya. Sambil melihat ke arah anaknya di sana dengan
kereta matinya yang terukir emas, anakku yang malang tidak punya lubang di tanah untuk tempatnya jatuh
mati setelah bertahun-tahun mengabdikan diri pada negerinya. Oh Tuhan, ini
tidak adil, dan ia terus mengeluh bukan karena kebiasaan atau kecewa tetapi
karena anaknya bila mengadakan perubahan pada pemerintahan tidak lagi
membawanya serta dan pula tidak lagi cepat-cepat berlari mendapatkannya seperti
dulu untuk menyampaikan rahasia-rahasia terbaru mengenai kekuasaan padanya…”.(Hal. 63).
Pada akhirnya, diktator tumbang tanpa
pengakuan dari tanah sekalipun yang ikhlas untuk ditempatinya. Bahkan yang
lebih tragis orang yang
satu-satunya sangat dicintainya menyisakan duka sekaligus kekecewaan pengalaman
duniawi.
Kisah novel ini mengingatkan kita akan
sejarah para diktator yang pernah menahkodai sebuah negara. Meski dengan konteks yang berbeda dengan imajinasi
subyektif. Tetapi
tugas seorang pengarang sudah tuntas dalam memberikan kesaksian fantasi yang
mungkin saja bisa menjadi kunci dalam membuka kotak memori setiap pembaca.
Bukankah diktator Mussolini di Italia mati digantung oleh rakyat.
_
Dimuat di harian Fajar, 20 Februari 2011 dengan judul: Perjalanan
Seorang Diktator (Catatan tentang Novel El Otono del Patriarca)
Komentar