Mahasiswa Dipuji dan Dicaci

Sekali waktu dalam perjalanan pulang dari Makassar, saya salah satu dari sekian banyak pengendara roda dua yang harus berhenti di tengah jalan dengan durasi waktu yang tak bisa ditebak. Kendaraan tak dapat melaju karena jalanan telah berubah fungsi sebagai mimbar bebas oleh para demonstran yang semuanya mahasiswa.

Seolah sebuah teater terbuka bagi siapa saja yang ada saat itu. Semakin lama kendaraan semakin menumpuk dan menjadi pelengkap sebuah analogi untuk menyebutkan sebagai kursi penonton dalam menyaksikan pertunjukan. Awalnya bising, karena setiap pengendara masih menyalakan mesin, bahkan merongrong gas serta membunyikan klakson berulang. Wujud kejengkelan atas pemblokiran jalan oleh para demonstran.

Larut dalam teriakan orasi, beberapa pengendara mulai mematikan mesin lalu menyulut kretek dan mulai membuka dialog sesama pengendara di sampingnya. Mereka pas di depan saya. Melihat itu, saya yang dari tadi mematikan mesin karena sudah menebak kalau aksi itu bakal berlangsung lama melihat jumlah demonstran yang luar biasa banyak dengan pemandangan lain di mana aparat keamanan di seberang jalan sudah berbaris membentuk pagar hidup lengkap dengan seragam anti huru-hara. Hanya beberapa anggota Polisi yang mencoba mengatur jalannya lalu lintas yang terhenti saat itu.

Pengendara di depan saya mengadu komentar dalam dialek lokal: “Bagaimana tidak demo mahasiswaia, tiap tahun BBM naik, baru boska di atas korupsiji na tau”. Komentar itu dibalas pengendara lainnya. “Itumi juga pak, kitami yang dapat kapota’na, bagaimana kalau beginimi, pekerjaan tidak selesai-selesaimi. Tinggalmaki di sini panas-panasan”. Dibalas lagi. “Kenapa tongngi wae itu mahasiswaia. Kalo demoko janganmako di jalan bela, langsungmako ke kantor pammarentaia, ka tidak nadengarjako juga kalo disinijako berteriak-teriak”.

Komentar itu hanya disambut ketus seorang pengendara di samping saya, ia mengisap dalam rokoknya dan menghembuskan asapnya. Nampaknya ia mulai gelisah, memukul sadel motornya keras-keras sambil berteriak: “Yaaa...rewako...takkala recumi! Kontan pengendara lainnya memalingkan perhatian ke arahnya dengan ragam ekspresi. Ada yang tertawa, sebagian malah kaget.

Realitas di atas menunjukkan ekspresi yang akan terus berulang, di satu sisi menunjukkan peran mahasiswa dalam mengekspresikan kekecewaannya ke dalam bentuk perlawanan demonstrasi terhadap keputusan pemerintah yang dianggap tidak bijak bagi publik. Sisi lainnya, para pengguna jalan merupakan bagian publik yang dirugikan dari keputusan pemerintah, atau suara diamyang diperjuangkan mahasiswa yang mana turut dipaksa menjadi penyaksi dari apa yang tengah diprotes oleh mahasiswa. Ini tentu merupakan pelibatan terselubung (hidden under cover)

Saya yakin kalau tak jauh dari obrolan kedua pengendara tersebut, pasti ada pengendara lainnya yang sepakat dengan tindakan para demonstran. Paling tidak, ia akan berucap seperti ini: “Bagusji itu ada mahasiswa yang mau demo, supaya itu pammarentaia natauki kalau keputusaanya menaikkan BBM  merugikan masyarakat”. Meski masih naif, hal itu menunjukkan empati emosional terhadap aksi mahasiswa yang nampaknya akan terus menjawab dengan tindakan demonstrasi bila ada keputusan pemerintah yang merugikan hidup orang banyak. Apa pun itu.

Karena doktrin dari moral force (kekuatan moral) yang dilekatkan pada keidentitasan mahasiswa sejauh ini sebatas diterjemahkan demikian. Sekaligus perwujudan dari agen of change (kelompok pengubah), meski sama sekali tak ada perubahan yang berarti. Sebaliknya jika ada mahasiswa yang memilih jalur politik sedini mungkin, justru dilabeli sebagai sikap pragmatis dan sinonim penjilat kekuasaan.

Hal ini bisa menjadi realitas yang tengah merayapi kamar gerakan para mahasiswa (sebenarnya sejak dahulu). Jadi jalur politik dianggap bukan sebagai instrumen untuk menterjemahkan agen of change.

Pada suatu kejadian di waktu yang lain. Ketika jalanan ramai dengan laju kendaraan dan lampu merah menyala, seketika pula beberapa rombongan menghampiri pengendara untuk mengetuk pintu hati pengendara agar iba terhadap korban gempa di salah satu wilayah di negeri ini. Mereka, tentu saja sejumlah mahasiswa yang turun ke jalan untuk mengaplikasikan moral force dengan isu yang berbeda. Sama dengan mahasiswa yang melakukan demonstrasi, merekapun menghibahkan waktu dan melupakan sejenak rutinitas perkuliahan.

Saya pun kembali menyaksikan pengalaman para mahasiswa tersebut yang mencari derma pengendara. Lalu mendengarkan respons publik, kali ini seorang ibu dari dalam kabin mikrolet. “Bagusna tawwa mahasiswaia, ka biar bukan di sini gempa, mauji juga nabantu nacarikan sumbangan.” Demikian ia berucap sambil menyodorkan selembar uang lima ribu.

Untuk situasi ini. Saya pun kembali yakin kalau tak jauh dari situ, pasti ada pula pengendara yang merasa terganggu atau pesimis, paling tidak ia akan berucap: “Korban gempa itu urusan pemerintah, lagi pula banyakji pasti sumbangannya itu dari pemerintah di daerahnya.” Atau berkata: “Jangan-jangan itu uang, mahasiswaji yang ambilki.”

Pernahkah kita membayangkan kalau jalanan akan lengang dari kedua aktifitas sosial para mahasiswa yang sudah dikemukakan di atas. Di mana situasi di negeri ini masih jauh dari harapan yang diidealkan dalam imaji kita semua. Rasanya absurd jika demikian. Orang yang paling apatis sekalipun pasti akan bertanya-tanya jika jalanan akan sepi dari aktifitas mahasiswa di tengah situasi sosial yang masih sakit.

Begitulah genealogi kesadaran bekerja dalam memetakan kesaksian sosial, ia akan terus berlawanan dan mengalami pergeseran pahaman untuk memaknai satu hal dan hal lainnya. Contoh kasus yang sudah ditampilkan perihal respons masyarakat yang terlibat emosi dengan tindakan mahasiswa menujukkan diskursus kesadaran publik dalam merespons situasi. Kalau pada dasarnya semua orang menginginkan perubahan dan merindukan realitas sosial yang sejahtera. Tapi sekaligus enggan bertindak untuk memulai.

Pada wilayah ini kita tak ingin meyalahkan kondisi masyarakat. Mengingat adanya varian kesadaran yang mengendap di dalamnya. Meminjam pemetaan Paulo Freire (2002). Kapasitas kesadaran itu terbagi tiga. Pertama, kesadaran magis. Pola ini selalu melihat situasi di luar kekuatan manusia, atau sederhananya. Semua kejadian sudah takdir yang tak bisa diubah.

Kedua, kesadaran naif. Situasi ini menterjemahkan realitas sebagai ulah manusia itu sendiri. Kenapa manusia miskin, karena manusianyalah yang malas dan sebagainya. Kesadaran ini pada dasarnya tahu kalau ada yang tidak beres. Tapi menyepelekan sistem yang yang tidak adil. Ketiga, kesadaran kritis. Kualitas kesadaran ini bekerja dengan melihat ketidakadilan sistem yang digerakkan oleh penguasa. Olehnya itu harus di lawan dan diubah.

Tak dimungkiri kalau ketiga pola kesadaran di atas berlaku pada setiap kelompok masyarakat. Termasuk dalam dunia mahasiswa. Jika melihat ragam respons publik terhadap skala perlawanan yang dilakukan mahasiswa, maka tentunya mereka pun meridukan hal yang demikian. Menurut Albert Camus, hasrat untuk memberontak selalu ada pada diri manusia. Hanya saja terhalang hijab kesadaran magis yang masih tertanam kuat. Karena gerak massa yang bergerak membabi buta justru menjauhkan hakikat menuju keadilan sosial itu sendiri. Massa butuh pengorganisasian kesadaran, dan itu membutuhkan tokoh. Pertanyaannya, di mana tokoh itu. Sederhananya, ada pada diri kita masing-masing.

Jadi, jika realitas sosial masih bertahan seperti ini dan respons hanya pengulangan yang monoton. Maka, empati masyarakat terhadap perlawanan mahasiswa, pastilah akan berputar dari judul telaah ini. Layaknya memencet tombol pada sakral lampu. Kalau bukan ‘On’ pasti ‘Off’ (baca: dipuji atau dicaci)
_

Versi pendek dengan judul: On Off Aksi Mahasiswa, dimuat di Tribun Timur 9 Mei 2013



Komentar

Postingan Populer