Perkara Kematian






Kematian bukan lawan kelahiran. Keduanya kata kerja yang berjalan beriringan. Bila hari ini mendengar kabar seorang bayi dilahirkan. Kematian boleh jadi terwujud di tempat yang lain. Atau, bila keduanya didengar di waktu bersamaan, pengingatan tetap dijalankan. Mensyukurinya sebagai hal yang tak dapat ditolak bila sebab-sebabnya sudah terpenuhi.

Ada peristiwa dalam keluarga besar saya. Ketika dua mempelai telah mengucap ikrar di depan penghulu. Tak lama setelahnya, masih di lokasi pesta, nenek dari seorang mempelai menghembuskan nafas terakhir.

Seribu macam dugaan menyeruak. Tentu ada yang membacanya sebagai kutukan juga simbol yang berdampak pada kelanggengan mempelai di masa akan datang. Sebab pernikahan jalan mempersiapkan kelahiran. Pesta tetap dilanjut menyambut tamu. Walau perlu mendahulukan mengurus jenazah sesuai anjuran syariat. Memandang kematian, demikianlah layaknya. Bukan peringatan guna menyetop langkah proses menyiapkan kelahiran. Tetapi, tapak yang dijalani manusia tersebut perlu disiapkan sebaik-baiknya.

Saat peristiwa tersebut terjadi. Kedua mempelai, tanpa diminta, sepakat mengakhiri perayaan yang dimaklumi para undangan. Mengingat kematian didahulukan sebagai duka mendalam. Kematian merupakan peristiwa dilatari beragama kejadian. Kasus ini, kejadian alamiah. Usia senja menjadi pengantar menyambutnya.

Subagyo Sastrowardoyo, di kumpulan sajaknya, Dan Kematian Makin Akrab. Menjadi tugu peringatan tentang ihkwal perjalanan selanjutnya: ...//Dan kematian jadi akrab, seakan kawan berkelakar yang mengajak tertawa/Itu bahasa semesta yang dimengerti/Berhadapan muka seperti lewat kaca bening....// Potongan larik sajak yang dijadikan judul buku ini. Tegas dituliskan, bila kematian bak kawan menjadi teman berjalan.

Tetapi, kadang kematian menjadi perkara melebihi peristiwa. Kita mengingat, orang-orang yang mengalaminya telah mengundang ajalnya sendiri. Che Guevara, kawan perjuangan Fidel Castro menggelorakan revolusi Kuba di tahun 1959. Telah menduganya ketika masih berusia 17 tahun. Ia menuliskan: Aku mati melawan.

Jelas! Lelaki kelahiran Argentina itu menghampiri kematiannya ketika memutuskan meninggalkan Kuba, negara yang bisa memberinya kemakmuran hingga usia senja kalau saja tidak berangkat ke Bolivia. Soal kematian di sini tentulah hal lain. Bagi Che, juga revolusioner yang lain, kematian telah menjadi jalan perjuangan itu sendiri. Jalan martir.

Perilaku mengundang kematian menjadi ragam nilai sesuai cara pandang. Meruaklah bom bunuh diri sebagai jalan perlawanan yang diyakini ampuh oleh mereka untuk mengubah situasi. Tercatat pula penembakan pembuat karikatur di majalah Charlie Hebdo di Paris. Si pembuat pasti tahu, bila mengolok nabi Muhammad SAW ada pihak yang murkah. Khusus menyangkut ini, teringat ucapan seorang kawan, seorang muslim berpaham liberal sekalipun, akan marah bila Sang Nabi diolok.

Kematian menjadi dongeng. Setelah ada yang mengundang, ada pula yang mengirimkan. Dalam rezim fasis, Tuhan sebatas pelengkap. Dijadikan legitimasi guna meredahkan amarah. Di tapak waktu tahun 1965, sejarah Indonesia dilengkapi kisah ini. Martin Aleida, melalui buku kumpulan cerpen, Mati Baik-Baik, Kawan. Menceritakan kisah pilu orang-orang yang dipaksa mati bahkan mendahului Izrail, malaikat pencabut nyawa.

Demi memuluskan kekuasaan, dendam sesat dijalankan menghabisi warga negara dicap komunis. Termasuk manusia yang baru saja dilahirkan dari rahim dicap merah itu. Kematian menjadi absurd. Mereka menggali lahadnya sendiri. Setelahnya, berondongan peluru menyungkurkannya. Berdesakan dalam satu lubang. Jangan harapkan ada doa, sebab tangis pun ditabukan. Kematian yang sungguh dihinakan.

Namun, bukankah Martin hanya menuliskan cerita pendek. Fiksi yang kadar kebenarannya masih perlu dipertanyakan. Malapetaka kemanusiaan tahun 1965, setelah didiamkan atau sengaja dihilangkan oleh penguasa di sepanjang kariernya 32 tahun. Pemakasaan kematian itu berkelindan menjadi fiksi sekaligus fakta.

Martin, selaku penyaksi, meski menuliskannya ke dalam cerita, perkara bengisnya kematian dipaksakan yang dialami sebagian kerabatnya itu tetaplah data baginya. Cerita pendek tentulah media mengabarkan kesaksian.

Validnya jumlah manusia yang dibantai di tahun 1965, hingga kini hasil usaha sejumlah pegiat mengajukan data berbeda berdasar wilayah kejadian. Hermawan Sulistyo, misalnya, di buku Palu Arit di Ladang Tebu, Sejarah Pembantaian Massal yang Terlupakan, riset dilakukan di Jombang dan Kediri. Sedangkan I Ngurah Syuriawan melalui Ladang Hitam di Pulau Dewa, mengambil data di Bali. Terbaru, melalui film dokumenter Senyap, Joshua Oppenheimer melakukannya di Deli Serdang dan Serdang Bedagai, Sumatera Utara.

Kematian itu pasti, semua agama menyepakti dan memberi prosesi menghormati. Di paragraf akhir cerpen Mangku Mencari Doa di Daratan Jauh, Martin menuliskan: “Persis sebagaimana kau dikuburkan ini, begitulah kematian yang kuinginkan. Mati baik-baik, kawan. Diiringi doa...” Meski yang dikubur itu se ekor kera. Memperlakukan kematian perlu dihormati.

***
Pangkep-Makassar, 11 Januari 2015



Komentar

Postingan Populer