Menduga Pilkada Pangkep

Empat hari sebelum hari jadi kabupaten Pangkep ke 55 tahun, 8 Februari. Pasangan peraih suara terbanyak pada Pilkada tahun 2010, Syamsuddin Hamid dan Abdurahman Assegaf, pecah kongsi. Keduanya, di hari bersamaan (4/2) mendaftar di partai yang sama, Partai Persatuan Pembangunan (PPP)

Langkah tersebut menjelaskan bentuk keseriusan bertarung memperebutkan suara rakyat di suksesi kepala daerah Pangkep. Bahkan, Syamsuddin Hamid, bupati juga ketua Golkar Pangkep, masih di hari yang sama mendatangi lagi dua partai politik, PDIP dan PKB.

Andai, perubahan tata cara pemilihan kepala daerah yang digodok Koalisi Merah Putih (KMP) di pusat berhasil mengembalikan ke parlemen. Konstalasi politik di daerah tentulah tidak berubah.

Mengingat komposisi kekuatan politik di parlemen Pangkep, Golkar (10 kursi), Gerindra (4 kursi), PPP (5 kursi), PKS (2 kursi) dan PAN (2 kursi). Tentulah petahana melenggan mulus menahkodai Pangkep kali kedua. Sedangkan di kubu KIH dengan komposisi PDIP (2 kursi), PKB (4 kursi), Nasdem (1 kursi), dan Hanura (1 kursi). Jikapun Demokrat (4 kursi) merapat, KMP tetap menang telak.

Tetapi, kalkulasi di atas hanyalah takaran pengandaian. Realitasnya tak mungkin demikian. Pasalnya, DPR sudah menerima Perrpu No 1 tahun 2014 menjadi undang-undang. Artinya, aturan main Pilkada tetap melibatkan partisipasi warga dalam menentukan pemimpin yang dikehendaki. Untunglah.

Terselubung

Sejak dilantik bupati dan wakil, Abdurahman Assegaf melakukan gerilya lebih cepat dan padat ke ruang publik ketimbang Syamsuddin Hamid. Di masa tahapan kampanye pun, Abdurahman sedikit lebih menonjol, ia memasang badan di hadapan pasangan calon lainnya. Termasuk seorang diri menghadiri debat pasangan calon.

Sejumlah rangkaian dialog publik yang diadakan penggiat demokrasi di rentang 2010 hingga 2012, di era ini sedang berlangsung Sekolah Demokrasi Pangkep (SDP) yang diinisiasi Lembaga Pendidikan Anak Rakyat (LAPAR) atas dukungan Komunitas Demokrasi untuk Indonesia (KID)

Melalui program pelibatan unsur demokrasi dalam satu forum, pemerintah, kelompok pengusaha, masyarakat sipil, dan pers. Di lingkar eksekutif, tak pernah diingat Syamsuddin Hamid selaku bupati hadir melibatkan diri berdialog. Walau tak semua program diikuti, Abdurrahman Assegaf, setidaknya pernah meluangkan waktu.

Di fase itulah kemudian berembus desas-desus, wakil bupati sedang melakukan penggarapan ruang sosial. Selanjutnya, seolah sudah menjadi keharusan, jika ada lembaga sosial, pendidikan, mahasiswa, atau komunitas yang akan menggelar kegiatan. Surat untuk mengundang membuka acara secara resmi, langsung ditujukan ke wakil saja. Bahkan, celetuk seorang kawan, wakil bupati tak perlu diundang melalui secarik surat resmi. Cukup melalui pesan pendek, maka ia akan melowongkan waktu bertandang.

Desas-desus itu kini menjumpai realitasnya, Abdurrahman Assegaf menegaskan diri menantang Syamsuddin Hamid di Pilkada mendatang. Kesangsian menghampiri, eks kepala kantor pelayanan terpadu tahun 2008 hingga 2010 itu bukanlah politisi dalam artian sudah berjejak diingatan warga. Impiannya pupus bila PPP menampiknya dalam bursa bakal calon bupati.

Alternatif

Dari enam pasangan calon di Pilkada tahun 2010, Andi Mansyur-Hasan Basri menempuh jalur independen. Meski lolosnya pasangan ini tidaklah direken dalam kalkulasi kemenangan. Kehadiranya tentu memberikan resonansi tersendiri, bahwa ada dukungan massa tanpa kartel partai politik.

Hal tersebut bisa menjadi cermin bagi Abdurahman Assegaf sebagai jalur alternatif yang bisa ditempuh jika kehilangan akomodasi partai. Rilis yang ditayangkan Tribun Timur (5/2), bursa bakal calon juga mencatat Sangkala Taepe (Legislator PAN Sulsel), Syahban Sammana (Kepala Bappeda Pangkep), Syamsul Rijal (Dekan di UNM), Tamzil Linrung (PKS-DPR RI), Tajuddin Laode (KBKDP), Alwi Fatahillah (Penasihat Bupati), dan Fian Abadi (Nasdem)

Apa yang menguak belumlah final, segalanya bisa berubah ke depan. Namun, kesediaan majunya Abdurahman Assegaf telah memberi jawaban menyangkut situasi kelola pemerintahan di Pangkep. Efeknya tentulah berdampak pada persoalan publik, mengingat keduanya masihlah pasangan legal dalam menentukan keputusan.

Perkara publik yang baunya bisa diendus, ialah kisruh penetapan pegawai kategori dua (K2) yang sepertinya belum tuntas. Ini menjadi bola panas yang terus bergulir menghampiri kaki bupati dan wakil. Jika dibiarkan mengendap hingga berakhirnya masa tugas, dugaan publik membacanya sebagai bahan kampanye.

Di titik inilah kemudian terjadi tarik menarik dukungan. Sayang sekali bila harus kesampaian. Menunjukkan miskinnya gagasan politik sebagai jalur pembumian impian. Dapat dibayangkan, wacana kampanye berisi teriakan basi seputar derita pegawai yang nasibnya digantung.

Sakitnya tidak hanya di dada, tetapi melukai cara pandang kita selaku warga yang belum mau bergabung dalam mazhab hedonisme. Syamsuddin Hamid dan Aburahman Assegaf belumlah menuntaskan satu fase perihal visi misi yang dijadikan manifesto. Pilkada, misalnya, hanyalah satu variabel menjalankan tahapan demokrasi. Sesudahnya, jalan melunasi dan menuntaskan gagasan.

Demokrasi barang tentu hanyalah media, menguncinya dalam kurungan Pilkada yang dimaknai sebatas mengukur kalkulasi pendukung. Maka, dugaan pemilihan langsung kali ketiga di Pangkep hanyalah pengulangan suksesi sebelumnya.
_

Catatan HUT Pangkep ke 55 (8 Februari 2015)



Komentar

Postingan Populer