Sejarah Membaca (Bagian 2)


“Apakah semua buku yang telah kau beli itu sudah dibaca.” Itu adalah pertanyaan purba yang diajukan orang-orang di sekitar ketika mengetahui kalau kita memiliki perpustakaan mandiri di rumah. Apa boleh buat, pertanyaan macam itu tidak memiliki jawaban dan kita dongkol.

Faktanya memang demikian. Banyak buku terpajang saja di rak. Menjadi hiasan dan diselimuti debu. Apakah itu suatu kesalahan. Tidakkah lebih baik jika buku itu dijual atau disumbangkan saja kepada perpustakaan komunitas.

Istri menganjurkan premis pertama dan beberapa teman sering meminta buku setiap kali berjumpa. Dan, kakak tertua saya malah curiga kalau buku-buku yang menumpuk itu berisi paham teroris dan kelak menyaksikan berita di televisi kalau saya adalah salah satu pelaku bom bunuh diri. Hadeeuuuh.

Orang-orang mengawetkan pikirannya dalam buku dan kita malah mengawetkan buku itu di rak. Ini adalah pledoi yang mengantar saya mencuri buku yang layak saya baca di sejumlah perpustakaan dan pernah menerapkannya di toko buku. Seingat saya, dari banyak percobaan hanya sekali ketahuan.

Di fase itu, membaca buku (hanya buku) benar-benar menjadi rutinitas. Patoknya dimulai di tahun 2001 hingga 2008. Hingga akhir 2004, melakoni membaca buku dikerjakan berkelompok di sekretariat UKM Retorika (Lihat: Sejarah Membaca Bagian I). Setahun saya jalani sendiri di kampung kemudian dua tahun selanjutnya di tanah rantau, Sorong, Papua Barat.

Di kota Sorong terdapat satu-satunya toko buku yang, nampaknya cuma saya yang betah berlama-lama di sana membaca buku dan jika ada kesempatan satu judul saya bawa pulang. Tanpa membayar, tentu saja. Nampaknya pemilik toko buku tidak menyadari kalau buku jualan mereka ada yang hilang. Di Sorong pula saya mencuri buku Di Bawah Tiang Bendera jilid II di perpustakaan Universitas Al Amin.

Mau bagaimana lagi, membaca buku satu-satunya pilihan guna mengisi ruang kosong dalam diri. Di Sorong, selain bekerja, saya tidak memiliki jadwal yang lain. Berkumpul sesama anak rantau sama sekali bukan pilihan. Ya, sesekali saja saya bergumul dan lebih banyak menyendiri di bilik indekos jika tidak sedang bekerja.

Memenuhi kebutuhan membaca di rantau, tidak semua saya dapatkan dari mencuri. Berbekal beberapa buku yang kubawa sendiri dan membacanya berulang, juga terkadang saya memesan buku di Makassar. Saya meminta kakak lelaki membelikannya di Gramedia atau di toko buku Papirus dan mengirimkannya jika ada sanak yang hendak kembali ke Sorong. Itu salah satu pilihan selain memintanya mengirimkan buku lewat jasa Pos. Begitu pulang dari rantau, saya membawa tiga kardus buku.

Setahun selanjutnya saya kembali meninggalkan kampung halaman menuju kota kabupaten yang jaraknya kurang lebih tiga jam perjalanan kendaraan roda dua atau empat. Saya mengamini ajakan teman lama di IPRI untuk membangun kafe baca di tanah kelahirannya. Soppeng. Persisnya tidak sampai setahun. Hanya terhitung bulan saja.

Di sana, kami seolah mengulangi aktivitas membaca layaknya di IPRI. Tiada hari tanpa buku. Kami duduk berdampingan atau baring bersebelahan dengan buku di tangan masing-masing. Tidak ada tegur sapa. Kami suntuk dengan buku masing-masing. Begitulah hingga saya harus memilih pulang dan mengangkuti buku-buku kembali ke rumah.

Rentang tahun dari 2001 ke 2008 adalah tahun-tahun memeluk buku begitu erat. Saya tidak menargetkan berapa buku yang harus dibaca. Semangatnya iri saja jika teman kompolotan sudah membaca buku itu dan ini dan saya belum.

Genre bacaan berputar pada buku filsafat, agama, dan wacana sosial. Hanya beberapa teman yang mencoba membaca karya sastra. Melihat itu, saya ikut tertarik mencobanya dan menemukan oase tersendiri. Kira-kira setelah itu, Bacaan tidak melulu buku, saya mulai membaca majalah dan koran guna menemukan bacaan pendek. Seperti opini, esai, atau cerpen.

Jika ada uang, saya memberanikan diri membeli majalah bekas Tempo di loakan masjid Al Markaz dan suntuk membaca Catatan Pinggir Goenawan Mohamad. Majalah sastra Horison juga saya kumpulkan dan selalu berusaha membeli koran Kompas atau Fajar edisi Minggu. Saya mengkliping cerpen, resensi buku, dan puisi yang terbit di dua koran itu.

Senang saja membaca ulasan di koran atau di majalah tentang suatu buku. Menurut saya, kala itu, si penulisnya mampu menyederhanakan satu topik ke dalam tulisan pendek. Esai macam itu menjadi pengantar atas buku yang telah maupun yang akan saya baca.
_



Komentar

Postingan Populer