Puncak Tertinggi dari Horor adalah Humor

Buku Seno Gumira Ajidarma
Dok. Kamar-Bawah


Salah satu teman di Facebook justru tertawa usai menonton film The Nun. Sedangkan beberapa hari kemudian, teman di tempat kerja malah merasa ketakutan setelah menonton film horor itu. Dua persepsi yang tidak mendorong saya menonton film tersebut.

Film horor, apa pun dan siapa pun pemeran atau sutradaranya, saya tidak akan meluangkan waktu menonton. Sikap ini bertumpu bukan pada buruk tidaknya produksi film bergenre horor. Melainkan saya sendiri tak kuasa membayangkan adegan yang menyeramkan yang bisa saya bawa di kehidupan sehari-hari.

Dulu saya sering menonton film Suzanna di televisi. Hasilnya, sejumlah adegan meyeramkan membuat saya ketakutan dan membawanya ke dalam mimpi sampai taraf di kehidupan nyata. Itu terjadi bila saya sedang sendiri di rumah atau di tempat yang sunyi. Guna mengubur sisa ingatan yang terus ada, saya menonton film komedi sebanyak yang mampu saya akses.

Potongan ingatan-ingatan di atas menyeruak usai membaca kembali cerpen Seno Gumira Ajidarma (SGA) yang terangkum dalam buku Saksi Mata. Buku Kumcer itu persisnya sudah saya tuntaskan di tahun 2017 lalu dan membacanya sekali duduk saja. Selain Iblis Tidak Pernah Mati, juga buku kumcer SGA yang sering saya baca berulang. Saksi Mata juga demikian.

Kemarin, sepulang bekerja sambil menunggui masakan istri matang dan menjagai dua anak yang tidak mau diam. Buku Saksi Mata menjadi jeda dari aktivitas itu. Membaca ulang beberapa cerpen di buku itu selalu memberikan kesan berbeda. Mungkin dulu waktu menuntaskannya saya tidak menangkap muatan ataukah, ada hal lain yang ditangkap di balik peristiwa fondasi cerpen itu.

Usai menuntasakn cerpen Saksi Mata dan Telinga. Ingatan status teman di Facebook dan pengakuan teman usai menonton film yang sama menyeruak. Saya menepikan semangat penulisan kedua cerpen itu yang bertumpuh pada teknik realisme magis dan, utamanya menceritakan kekerasan yang dialami manusia di dalamnya. Itu benar-benar horor bagi kemanusiaan dan saya tertawa karenanya.

Barangkali saja humor menjadi oase atas titik lemah manusia ketika sedang tidak berdaya menghadapi situasi. Kasusnya bisa bermacam latar, tetapi itu menyangkut harkat selaku manusia yang dinistakan manusia yang lain atas nama kemanusiaan itu sendiri. Tentu ini absurd, namun begitulah kekuasaan bekerja.

Kita bisa lihat tindakan akhir seorang bandit di hadapan seorang juru tembak dalam film, umpamanya, kemudian menertawakan lawannya sesaat sebelum kepalanya ditembak. Adegan serupa dengan segala bentuknya sering berulang dalam film dan menjadi klise.

Cerpen dalam Saksi Mata semuanya merekam satu peristiwa saling terkait: Horor yang yang dialami manusia. Kita segera mengaitkan satu peristiwa ke peristiwa yang lain yang tak henti berputar dari tahun ke tahun.

Merujuk pada tahun pembuatan atau publikasi cerpen dari 1992 hingga 1997 dan latar profesi SGA selaku wartawan, memungkinkan ia memiliki data yang bisa dan mampu diolah menjadi kesaksian ke medium cerpen. Di fase itu, cerpen macam begini sangatlah lain dibanding cerpen yang tersiar di tahun-tahun yang sama. Pembaca kritis segera menangkap kalau SGA sedang melakukan eksperimen menulis berita dan meminjam cerpen sebagai wadah. Itu sudah cukup sebagai humor menertawakan para penguasa yang kelewat pandir untuk menangkap apa yang tersirat di balik muatan cerpen.

Jika kembali membaca kumcer ini dengan situasi zaman yang sudah berbeda. Barulah fungsi imajinasi yang membangun karya fiksi dapat dipenuhi. Patok ini berlaku bagi pembaca melankoli dan berdaya kritis bagi saya, tetap memandang kumcer ini layaknya sastra sebagaimana fungsinya. Melengkapi yang tidak tercatat dalam sejarah resmi. “Penguasa datang dan pergi. Cerita saya masih ada.” Tulis SGA di catatan pengantar.

Di cerpen Pelajaran Sejarah, Bapa Guru Alfonso di hadapan murid kelas VI yang diajaknya bertamasya ke pekuburan melengkapi narasi itu. Ada sejarah yang tidak diajarkan di ruang kelas.

Jika kematian manusia yang dipaksakan oleh manusia itu sendiri adalah horor. Maka kesaksian atasnya menjadi lelucon tentang bagaimana manusia dengan tindakan keji macam begitu mampu terus bertahan hidup. Sekali lagi, SGA melakukannya di cerpen Saksi Mata dan Telinga. Kekuasaan memang bekerja dengan serius dan kita menyebutnya humor.

Cerita kekejaman berakhir menjadi humor dan megantar menuju dunia parodi. Sebab itulah mungkin kekuasaan yang dibangun para tiran menjadi ilham generasi yang membaca dan menjadikannya meme meski penguasa tiran itu telah mangkat.
_



Komentar

Postingan Populer