Selamat Tinggal Mitos Selamat Datang Mitos

FINAL Liga Champions Eropa musim 2016-2017 lebih dari perjumpaan kenangan dan dendam. Kedua tim memikul mitos yang harus dihancurkan. Di sepanjang gelaran antar klub se Eropa yang dimulai pada musim 1955-1956, Juventus sudah 9 kali menembus final, dua di antaranya berhasil sebagai pemenang dan 7 kali keok. Jika dihitung dari perubahan pola kompetisi yang dinamai Liga Champions, tercatat Juventus sudah 5 kali melenggang ke final dan semuanya berakhir juara kedua.

Di tiga final, termasuk musim 2016-2017, Juventus sudah tiga kali kalah dari klub Spanyol. Sekali ditaklukkan Barcelona di musim 2014-2015 dan, dua kali dihempaskan Real Madrid (1997-1998 dan 2016-2017). Pahit, memang. Mitos tak pernah menang di empat laga final sebelumnya menjadi hantu bagi si Nyonya Tua.

Dua kata ini: kenangan dan dendam, serupa sisi mata koin. Saling memunggungi sekaligus tak ingin melepaskan. Keduanya harus tetap seperti itu agar keberadaannya tetap ada. Zidane memiliki talian kenangan dengan Juventus begitupun dengan dua pemain yang masih aktif: Khedira dan Higuain yang memperkuat Juventus.

Real Madrid sendiri kesandung mitos tidak adanya juara bertahan kembali juara sejak musim 1992-1993. Sejak kembali juara di musim 1997-1998, perlu jedah semusim baru bisa kembali mengangkat trofi Champions yang diraihnya di musim 1999-2000 dan 2001-2002. Selanjutnya butuh 12 musim baru kembali ke jalur juara pada 2013-2014 kemudian Barcelona memberinya jedah sebelum meraihnya kembali di musim 2015-2016.  
_

MITOLOGI, memakai pendekatan Barthes, bukanlah sesuatu hal yang tak dapat dinalar. Itu ciptaan manusia yang mengarahkan cara pandangnya ke lorong buntu. Jauhkan asumsi mitos dengan mitologi dewa-dewa dalam epos Yunani.

Era pencerahan (Age of Enlightenment) yang digelorakan di Eropa pada abad ke 18 dan menjadi pijakan merombak cara pandang tradisional, sepenuhnya tak dapat menciptakan sempurnanya rasionalitas. Di dalam masyarakat tetap lahir asumsi di luar pencernaan ilmiah. Di sela itu itulah ruang mitologi yang dipersepsikan Barthes.

Mitos produksi masyarakat modern tak lain adalah cara pandang itu sendiri. Tidak bebas nilai dan temporal adanya. Misalnya, saja, perempuan Eropa yang berjalan di ruang publik dengan memperlihatkan sepotong payudaranya di balik kaos ketatnya bukanlah tanda mengumbar erotis. Lain hal jika ini terjadi di Indonesia atau di Arab Saudi.

Dengan kata lain, mitos tidaklah anti nalar. Menjadi perilaku dan menjadi pesan tersendiri. Dapat diciptakan sesuai kepentingan ideologi. Seberengsek-berengseknya Orde Baru, Soeharto tetaplah dirindu sebagai komparasi tentang situasi hidup yang tenang dan aman pada periode tertentu. Siapa yang mencipta itu, ialah cara pandang.

Selama dua dasawarsa lebih, mitos tidak adanya juara Champions yang mampu mempertahankan gelar menjadi hantu bagi klub sepakbola di Eropa. Di musim 2014-2015, Juventus mengokohkannya kembali. Real Madrid si juara bertahan dihentikan di fase semi final.

Masyarakat Eropa kadang menyembunyikan kejengkelan mereka dengan mencipta mitos-mitos sebagai perisai. Diusirnya Cristiano Ronaldo dari Theatre of Dream di tahun 2009 digemborkan mengulangi nasib David Beckham, bahwa kebintangannya akan meredup karena berani membantah Sir Alex Fergusson.

Meski Beckham memenangi satu titel La Liga bersama Real Madrid dan melengkapi impian Florentino Perez tentang Galaticos. Terbukti, Beckham lalu dipinjamkan ke AC Milan sebelum menyudahi karier di La Galaxi. Itu sudah cukup menguatkan anasir tentang bintang redup. Meski, tentu saja, asumsi itu masih bisa diperdebatkan.

Ketika Real Madrid memberi jeda Barcelona merebut trofi La Liga di musim 2011-2012 di bawah arahan Mourinho, mitos itu perlahan dilupakan. Seturut kemudian, gelar Champions di musim 2013-2014.
_

KUNTOWIJOYO dalam esainya Selamat Tinggal Mitos Selamat Datang Realitas yang dibukukan dengan judul yang sama (Mizan: 2002), menguraikan dua kaidah bagaimana mitos bekerja. Pertama, menghindari realitas dengan pendekatan simbol. Kedua, bertindak dengan berpikir abstraksi.

Ia mengajukan Gusdur sebagai contoh terbaik. Di tahun 2000 dalam satu forum terbuka yang dihadiri sejumlah tokoh. Perlu diingat, di tahun itu dampak krisis ekonomi dan politik menjadi ancaman disintegrasi bangsa. Gusdur dalam catatan Kontowijoyo, dinilai emosional menanggapi pertanyaan Ny Hartati Murdaya. Gusdur menegaskan komitmennya pada kemanusiaan bukan pada ekonomi.

Ekonomi adalah realitas dan kemanusiaan itu abstraksi menurut Kuntowijoyo. Dan, Gusdur menempuh corak berpikir abstraksi (mitos) dalam menghadapi realitas negara. Inilah alasan mengapa Gusdur gemar melakukan kunjungan kenegaraan sebagai jalan diplomasi agar negara tidak bubar akibat krisis ekonomi. Ia menempuh jalur politik sebagai lem memperat kesatuan. Gusdur butuh legitimasi dari dunia luar dan bukan dari dalam (memperbaiki ekonomi).

Zidane yang mendampingi Anceloti selaku asisten pelatih mencatatkan Real Madrid merengkuh gelar Champions kesepuluh (La Decima). Hal yang tidak dapat dibuktikan Mou yang didatangkan ke Bernabeu. Mitos Mou sebagai pelatih yang pernah menjuarai Champions dari dua klub berbeda. Porto FC di tahun 2004 dan Internazionale Milan di tahun 2010 dengan demikian sirnah.

Sebagai pemain, Zidane sudah dua kali melenggang ke final Champions bersama Juventus. Semuanya berakhir runner up. Dormunt mencurinya di musim 1997-1998 dan Real Madrid merampasnya di musim berikutnya. Kepindahan Zidane ke Real Madrid melengkapi imajinasi Los Galaticos merupakan langkah berpikir konkret. Ia menghilangkan simbol Juventus di dirinya dan menuju realitas dengan seragam Los Blancos. Sepakan voli indahnya di final Champions di musim 2001-2002 ke gawang Leverkusen membongkar mitos dan menempatkan dirinya sebagai mitos baru di skuat Real Madrid. Pemain dan pelatih yang pernah mengantar Real merengkuh si Kuping Besar.

Membaca ulang perjalanan Juventus dan Real Madrid menuju final di musim 2016-2017 adalah upaya klub-klub Eropa memotong dominasi klub Spanyol. Patoknya bisa dimulai lima tahun ke belakang atau lebih. Patut diingat, sebelum berganti menjadi Liga Champions di musim 1992-1993, Real Madrid, malah, juara beruntun lima kali sejak dimulai di musim 1955.


Total sudah 17 kali trofi Champions ke Spanyol terbagi antara Barcelona yang meraihnya 5 kali dan Real Madrid sudah 12. Dari Italia 12 kali, AC Milan terbanyak dengan 7 trofi, Internazionale Milan 3 kali, dan Juventus 2 kali. Menyusul Inggris 11 kali dengan 5 klub. Manchester United dan Nottingham Forest masing-masing 2 kali, Chelsea serekor Aston Villa yang meraihnya 1 kali. Terbanyak Liverpool 5 kali.

Portugal menempatkan wakilnya Benfica yang merebutnya 2 kali dan sekali Porto FC. Belanda diwakili tiga klub, Ajax 4 kali, Feyenord dan PSV 1 kali. Jerman juga diwakili tiga klub, Bayern Munchen 5 kali, Hamburg dan Borussia Dormund masing-masing sekali. Sedangkan Prancis, Skotlandia, Rumania, dan Serbia sejauh ini hanya diwakili satu klub. Seturut: Marseile, Celtic, Fc Steaua Bucuresti (akrab disebut Bucarest), dan Red Star Belgrade (kini, berdasarkan data di Wikipedia, klub ini sekarang bernama FK Crvena Zvezda).
_

MENILIK performa Juventus di Liga Champions tiga tahun terakhir amatlah mengesankan. Meski di musim 2014-2015, Juventus dipecundangi Barcelona di final. Namun, Real Madrid dipaksa berpikir ulang untuk memulangkan striker mereka, Alvaro Morata ke Bernabeu. Morata menjadi antagonis bagi Los Blancos di dua pertandingan di musim itu.

Setelah Benitez didepak di kursi pelatih setelah kekalahan memalukan 4-0 dari Barcelona, Zidane tampil menyambung kepemimpinan. Cibiran tentu saja menyertainya selaku pelatih minim pengalaman dalam menangani klub semegah Real Madrid.

Di beberapa cuplikan latihan yang dapat ditonton di kanal You Tube, Zidane nampaknya tidak menempatkan dirinya selaku pelatih. Di fase latihan tertentu ia terlibat sebagai pemain. Kepiawaiannya tidaklah memudar. Beberapa pemain dikolongi. Sebuah tindakan yang dapat meruntuhkan mental pemain sekali itu dalam latihan.

Berisi pemain bintang di segala lini, tetapi Real Madrid disebut-sebut sebagai dua tim. Di pertandingan tertentu, skuat yang diturunkan adalah mereka yang dikategorikan tim utama. Di pertandingan lain diisi pemain tim kedua. Pelabelan ini tetulah cara pandang dari luar. Sebab dari dalam, itu merupakan strategi yang dijalankan Zidane.

Pemakai nomor 10, James Rodrigues, el pibe mutakhir yang dimiliki tim nasional Kolombia malah lebih banyak dicadangkan dan sering mengisi sebutan tim kedua itu. Morata setali tiga uang dengan James. Situasi seperti ini mengundang Carlos Velderama, legenda Kolombia yang sebelumnya dijuluki el pibe, sebutan untuk pemain istimewa di Kolombia menunjuk batang hidung Zidane sebagi penyebab turunnya performa James.

Perjalanan Real Madrid menuju final hanya sekali kalah di laga tandang melawan Atletico dengan skor 2-1. Sedangkan Juventus tak pernah menelan kekalahan dan hanya mampu diimbangi. Barulah di final, mentalnya diruntuhkan dengan 4 gol berbalas sebiji gol lewat tendangan salto Mario Mandzukic hasil umpan segitiga tanpa menyentuh permukaan lapangan.

“Mereka yang hidup dalam mitos tak akan bisa menangani realitas,” lanjut Kuntowijoyo. Abstraksi yang menyelimuti Juventus dengan sosok tua Buffon yang ingin melengkapi perjalanan kariernya dengan trofi Champions sebelum menyingkir di bawah mistar gawang menyerahkan nasibnya pada Dani Alves, bek kanan pemilik umpan kunci terbanyak si Nyonya Tua di gelaran Champions musim 2016-2017.

Alves, menurut Buffon, adalah pemandu jalan mencari harta karun si Kuping Besar. Perlu dicermati pula mitos yang lain di Champions, ialah siapa yang mengalahkan Barcelona di semi final maka klub itulah pemenangnya. Chelsea melakukannya di musim 2011-2012. Dan, Juventus melewatinya dengan sempurna. Tetapi, layakkah argumentasi seperti itu diagungkan.

Utak atik strategi yang diterapkan Zidane barangkali saja metode dalam menghadapi realitas. Ia sadar Real Madrid tidak hanya terlibat dalam satu kompetisi. Copa del Rey lepas dan fokus pada La Liga dan Champions. Bukankah pula infrastruktur Los Blancos ketika menjuarai Champions tahun lalu tetaplah sama dengan tahun ini.

Namun, membongkar mitos lama disadari atau tidak meneguhkan mitos yang lain. Realitas yang nampak mewujud menjadi fondasi mitos yang baru itu. Konstruksi pola pikir Kontowijoyo nampaknya menegasikan yang demikian. Bukankah pemahaman atas mitos itu bagian dari konstruksi realitas.

Real Madrid yang menjuarai Champions dua kali berturut-turut di era modern (merujuk pada model Liga Champions yang dimulai pada musim 1992-1993) telah mengubah mitos tidak adanya juara bertahan kembali juara sekaligus mencipta mitos baru bagi dirinya sendiri dan klub yang lain.

_



Komentar

Postingan Populer