Pada Sebuah Kapal

Dok. Kamar Bawah


NH Dini menulis novel berjudul Pada Sebuah Kapal yang menjadi salah satu karya terbaiknya. Di novel itu, banyak kritikus menilai kalau NH Dini sedang menuliskan sepetak perjalanan hidupnya sendiri.

Judul novel itu saya pinjam di sini untuk menerangkan buku yang ditulis generasi awal penulis kelahiran Pangkep, H Djamaluddin Hatibu. Di tahun 1988, ia telah menuliskan manuskrip kisah perjalanan sebuah kapal yang menjadi armada perang perjuangan pasukan republik di wilayah Sulawesi Selatan.

Buku ini tipis saja, hanya 27 halaman, itu sudah ditotal dengan halaman judul, daftar isi, kata pengantar, ucapan terima kasih, dan sambutan. Di tahun 2008, Pustaka Refleksi menerbitkannya atas bantuan dari Pemerintah Kabupaten Pangkep. Ir. H. Syafruddin Nur, menjabat bupati kala itu menyebutkan kalau perjalanan kapal di buku tersebut merupakan saksi bisu atas jejak perjuangan anak bangsa melepaskan diri dari penjajahan.

Muasal kapal yang kemudian dijadikan armada perang itu bermula dari jerih pembuat perahu bernama Malla Ali. Bersama koleganya, Malla menyelesaiakan kapal bertipe lete dari gabungan kayu jati dan ulin berbobot 16 ton, panjang 12 meter, dan bagian terlebarnya 3 meter.

Pemilik awal kapal yang dinamai Kapten Baru diluncurkan di pulau Kalukalukuang, kini masuk dalam gugusan pulau Kecamatan Liukang Kalmas pada 23 April 1932. Kapten Baru melakukan pelayaran pertama ke Makassar memuat hasil bumi dikaptengi Juragan Piter dengan tujuh orang sawi, yakni M Riza, Taher, Salam, Mabau, Yamang, Puang Juha, dan Lado.

Fungsi utama keberadaan kapal memang diperuntukkan sebagai moda transportasi laut. Alih guna Kapten Baru bermula ketika pasukan markas pertahanan ALRI daerah III pangkalan seberang dengan komandan resimen Mayor Djohan Daeng Mangung bermarkas di Lawang, Jawa Timur memerintahkan ekspedisi ke Sulawesi Selatan. Dikenal dengan TRIPS (Tentara Rakyat Persiapan Sulawesi.

Konsolidasi perjuangan di daerah mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang telah diproklamirkan sangat urgen dilakukan. Mau tidak mau, pasukan republik perlu meminta bantuan lapisan masyarakat agar membantu perjuangan. Sejak itulah Kapten Baru tidak lagi melakukan pelayaran untuk kegiatan ekonomi. Sepenuhnya menjadi alat pengangkut pasukan republik di beberapa ekspedisi militer.

Kapal ini pernah ditumpangi tokoh militer seperti Hasan Rala, AA Rivai, Andi Mattalatta, tak terkecuali M Yusuf, juga sejumlah petinggi militer dari Jawa yang turut terlibat ekspedisi di Sulawesi Selatan. Perhitungan memilih Kapten Baru tentu saja tidak asal-asalan. Pelayaran menerobos lautan antar pulau di Sulawesi hingga Kalimantan dan Jawa menjadi bukti ketangguhannya.

Setelah metode perjuangan dari kontak fisik ke meja perundingan. Praktis, kegiatan ekspedisi militer tidak lagi dilakukan. Usai direhab di tahun 1960, Kapten Pahlawan Laut kembali digunakan sebagaimana mulanya. Transportasi laut untuk menunjang kegiatan ekonomi masyarakat di wilayah kepulauan. Khususnya, di kepulauan Kalmas di Pangkep.

Di tahun 1962, AA Rivai, mantang Gubernur Sulawesi Selatan, pernah juga menjabat Dirut PT Semen Tonasa mengusulkan perubahan nama menjadi Kapten Pahlawan Laut. Penamaan itu tentulah berkaitan erat dengan kiprah pejuang republik dan kehadiran kapal tangguh itu dalam mengangkut pasukan melakukan pelayaran di sejumlah daerah. Tercatat, ada 9 ekspedisi yang dilakukan sepanjang ekspedisi TRIPS. Mulai di Suppa sebanyak 4 kali. ke Barru 3 kali, sekali ke Takalar dan dan Mandar.

Berselang 14 tahun kemudian. HM Arsyad, mantan Bupati Pangkep mengusulkan Kapten Pahlawan Laut dimuseumkan. AA Rivai dan H Achamd Lamo, juga pernah menjabat Gubernur Sulawesi Selatan sepakat dengan ide itu. Terakhir, H Bakkar Puang Menda, pemilik terakhir Kapten Pahlawan Laut mengamininya.

Jadilah kapal legendaris itu diberangkatkan ke Surabaya pada 1 Juli 1976 setelah kurang lebih sebulan berlabuh di Sungai Pangkajene untuk terakhir kalinya kemudian menuju ke Makassar dan dilanjutkan ke Surabaya. Darwis Wahid memimpin rombongan ditemani tujuh orang sawi, yaitu Menda, Muhammad Tahir, Kaharuddin, Abuhae, Abdul Muttalib, Bakri, dam Haya. Kapten Pahalwan Laut tiba setelah menantang gelombang selama tiga hari.

Dan kini, replika Kapten Pahlawan Laut bisa juga dilihat di sisi jembatan di kota Pangkajene yang dibuat oleh pematung asal Pangkep sendiri, Ahmad Anshari, akrab disapa Pak Anca. Di sisi jembatan lainnya juga dibangun patung hasil bumi kebanggan Pangkep, ikan bandeng, udang, dan jeruk. Jadilah jembatan itu diapit dua patung sebagai perubahan wajah terbaru kota Pangkajene.
_

Dimuat di saraung.com edisi 23 Maret 2016




Komentar

Postingan Populer