Merindukan Sosok Rabiah di Pulau, Daratan, dan di Gunung


Bagi Anda yang telah menyaksikan film dokumenter Suster Apung garapan sineas muda Makassar, Arfan Sabran, tentulah teraduk nurani menyaksikan perjuangan tanpa lelah dan menolak imbalan dari masyarakat dalam menjalankan tugasnya selaku suster di wilayah kepulauan terluar Pangkep.

Film dokumenter ini menjadi pemenang pertama di ajang Eagle Award tahun 2006 yang diselenggerakan Metro TV. Tak disangka, justru lewat film inilah kiprah Rabiah baru diketahui publik Pangkep secara luas. Padahal ia sudah menggenapi takdir hidupnya selama puluhan tahun menjadi pelayan kesehatan di pulau.

Ia bukanlah lulusan dokter spesialis tertentu dari universitas ternama. Ijazah formalnya hanya setingkat sekolah petugas kesehatan (SPK). Dulu disebut penjenang. Tetapi, masyarakat yang dihadapi tidak mau tahu soal itu. Yang ditahu, Rabiah bertugas di Puskesmas dan wajib melayani pengobatan di tengah masyarakat.

Rabiah menerima anggapan general itu dan berusahan bekerja semaksimal mungkin. Tak mungkinlah ia menjelaskan apalagi mendebat masyarakat mengenai fungsi tugas sebenarnya yang sedang diemban. Kecintaan pada profesinya mengalihkan dirinya untuk tidak menuntut terlalu muluk pada apa yang menjadi haknya ke pemerintah daerah.

Bertugas di wilayah kepulauan. Barang tentu dirinya tidak mengetahui situasi pelayanan kesehatan di wilayah yang lain. Soal dilaporkannya Misbah Maggading, umpamanya, warga Desa Bantimurung, Kecamatan Tondong Tallasa oleh dokter yang bertugas di Puskesmas di kecamatan itu ke Polres Pangkep karena menganggap status Misbah di akun Facebooknya merupakan pencemaran nama baik.

Barangkali, jika hal ini disampaikan kepadanya, ia pasti bingung. Apa yang dimaksud dengan pencemaran nama baik. Andai, pada salah satu pengalamannya yang nekat memberikan cairan infus kadaulwarsa pada pasiennya berujung kematian. Tentulah noda yang tak termaafkan dalam dunia kesehatan. Sebab Rabiah sadar akan apa yang dilakukan. Tetapi, saat itu, hanya itu pilihannya. Hasilnya, di luar nalar, si pasien malah menunjukkan gejala kesembuhan.

Membaca jejak hidup Rabiah seakan mengeja kisah para nabi. Sungguh, pengabdiannya meruntuhkan semua sisi kemanusiaan kita yang kadang penuh kepura-puraan. Ia tidak mengurus proses mutasinya ke wilayah daratan walau jalan itu lapang dan sudah memenuhi kriteria. Ia tetap tinggal di pulau dan seolah tidak memiliki jadwal pulang ke kampungnya di Segeri.

Bertugas di Puskesmas Kecamatan Liukang Tangaya, wilayah kerjanya mencakup 25 pulau, di antaranya berdekatan kepulauan Flores, Nusa Tenggar Timur. Sebelum dikenal luas dan memeroleh hibah dari Jusuf Kalla untuk membeli perahu yang layak. Rabiah hanya menggunakan katinting, perahu kecil ditempeli mesin sebagai penggerak. Namun, tak jarang, ia hanya diangkut menggunakan sampan, perahu lebih kecil lagi yang mengandalkan dayun saja untuk melajukannya di lautan. Semuanya dijalani dan tidak menolak jika masyarakat sudah membutuhkan jasanya.

Pengalaman kerjanya yang pernah terdampar tujuh hari tujuh malam di pulau tak berpenghuni karena perahu yang ditumpangi menghantam karang. Mengingatkan sepetak kisah dalam film Life of  Pi. Kisah yang diangkat dari novel karya Yann Martel, penulis kelahiran Salamanca, Spanyol.

Dikisahkan tenggelamnya kapal barang Tsimtsum di Samudera Pasifik yang sedang berlayar dari Madras menuju Canada. Pelik sekali, hanya ada satu sekoci diturunkan. Di atasnya menampung hyena, zebra dengan kaki patah, orang utan betina, harimau seberat 225 kilogram dan anak usia 15 tahun bernama Piscine Molitor Patel, disapa Pi. Selama lebih dari tujuh bulan sekoci itu terombang-ambing di lautan lepas. Di sinilah sebagian kisah Pi berlangsung.

Apa yang dialami Rabiah, tidaklah serumit Pi dan beberapa binatang. Tetapi, merasakan hidup di ujung tanduk amatlah memerikan. Rabiah dalam batinnya tentu bertanya. Apakah pengabdiannya selama ini ada yang keliru sehingga harus dibalas dengan naas ini. Sekali lagi, Rabiah tidak jerih. Ia tetap bertahan di pulau.

Setelah kisah hidupnya difilmkan. Rabiah tidak berubah. Ia tidak berlagak megak terhadap rekan seprofesinya. Ia kembali menjalani petak hidup di kepulauan. Tenggelam dalam rutinitas kerjanya yang sunyi. Sayang sekali. Narasi ini tidak dilengkapi penuturan langsung darinya diakibatkan tidak adanya akses menghubunginya via telepon apalagi bertatap langsung. Rangakaian ini saya susun kembali mengandalkan sebaran informasi yang bisa diakses di sejumlah situs online dan juga narasi yang pernah saya tulis sebelumnya dan terangkum di buku Mereka Bicara Fakta, Wajah Sistem dan Regulasi Kesehatan Indonesia diterbitkan Insist Press kerja sama Forum Peduli Kesehatan Rakyat (FPKR) di tahun 2013. (Sila baca Rabiah, Suster yang Bermain Dadu).


Narasi kehidupan Haja Andi Rabiah, nama lengkapnya, tentu bisa dijadikan dasar untuk menarik kesimpulan bahwa Rabiah sedikit banyaknya pasti mengalami pula cibiran dan kritik dari masyarakat. Hanya saja, Rabiah tak sampai kepikiran kalau perlakuan yang demikian harus dilaporkan ke pihak berwajib. Profesi sebagai tenaga kesehatan sebagaimana profesi yang lain tentulah mengandung risiko. Rabiah bukanlah prototipe, tetapi lentera yang dapat dijadikan suluh menerangi kegelapan.

Seketika sosok Rabiah dirindukan jika terkuak lagi petugas layanan kesehatan yang dibiayai negara justru bertindak di luar akal sehat. Bukannya menawarkan obat malah memberikan teror. Namun, saya percaya, sebagaimana Anda, sosok Rabiah akan muncul di tiga ruang di Pangkep, di pulau, daratan, dan di pegunungan. Saya meyakini itu.
_

Dimuat di saraung.com edisi 23 Juni 2016




Komentar

Postingan Populer