Kepala Anak Muda Itu Kantor Paling Sibuk di Dunia


“Saya cuma menumpang lahir di Makassar, kedua orangtua saya orang Pangkep. Jadi saya juga orang Pangkep.” Ujar Rahmat HM. Pemuda lajang kelahiran tahun 1988 di balik hadirnya Pangkep English Club dan Pop up Library, ruang baca di ruang publik di kota Pangkajene, ibu kota Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep), Sulawesi Selatan.

Letak Pangkep berjarak sekitar 50 km di sisi utara Makassar, ibu kota provinsi Sulawesi Selatan. Dari 24 kabupaten dan kota, Pangkep dikenal sebagai kota industri tambang. Pabrik semen terbesar di Indonesia Timur bercokol di sini sejak tahun 1964. Bentangan karst hingga ke kabupaten tetangga, Maros, menjadi nomor dua terbesar di dunia setelah Republik Rakyat Tiongkok (RRT).

Sebagai wilayah yang dianugerahi sumber daya alam melimpah. Selain pabrik semen, terdapat pula ratusan perusahaan tambang marmer. Faktor inilah yang menjadikan Pangkep selalu menempati tiga besar di Sulawesi Selatan mengenai pencapaian Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Tetapi memunculkan ironi, sebab Pangkep juga penghuni urutan bawah Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Sulawesi Selatan. Hanya mengalahkan Kabupaten Jeneponto.





Sebagaimana kabupaten yang lain. Tentu di Pangkep terdapat pula sekolah mulai dari taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi. Hanya saja, kehadiran sekolah formal bukanlah kunci mendongkrak IPM. Pangkep seolah wilayah yang tak mampu mengurusi dirinya sendiri dengan ruang teramat luas. Selain wilayah pegunungan, Pangkep juga menyelimuti ratusan pulau-pulau yang terbagi ke dalam empat kecamatan kepuluan: Liukang Tupabiring, Liukang Tupabiring Utara, Liukang Tangaya, dan Liukang Kalmas.

Banyak generasi muda di Pangkep lebih memilih ke luar kota bila ingin melanjutkan jenjang pendidikan ke tingkat universitas. Rahmat termasuk salah satunya. Tidak tangung-tanggung. Yogyakarta menjadi pilihan. Mengampuh jurusan International Program of Accounting di Universitas Islam Indonesia (UII). Menempuh studi di Yogyakarta memengaruhi cara pandang Rahmat mengenai geliat sosial. “Saya memilih Yogyakarta untuk mengembangkan diri lebih terbuka, juga menjalani tantangan hidup mandiri.” Terangnya.

Sebagai kota pendidikan dengan akses penunjang studi melimpah. Menjadi wajar jika Rahmat lebih leluasa menjalankan kulihanya dengan baik. Di Yogyakarta, kita tahu, buku menjadi salah satu gurita bisnis. Di Shoping Centre, buku ditawar layaknya pakaian bekas. Semasa kuliah di sana, Rahmat sering meraih kesempatan menjalani pertukaran pemuda dan mahasiswa di beberapa negara.Bekal yang didapat mengantarkannya memiliki kesempatan membangun pergaulan antar pemuda lintas negara.

Setelah menyelesaikan strata satu (S1), Rahmat melanjutkan Master of Business Administration di Universitas Gadja Mada (UGM). Dengan gelar  prestius itu. Andai Rahmat mau. Ia sudah punya bekal hidup tenang mensyukuri posisinya di ruang kelas menengah tanpa perlu menjadikan kepalanya sebagai kantor paling sibuk di dunia. Meminjam puisi M Aan Mansyur:

engkau tahu? kepalaku: kantor paling sibuk di dunia.
anehnya, hanya seorang bekerja tiada lelah di sana.
tidak mengenal hari minggu atau hari libur nasional.
tidak pula mengenal siang dan malam. tidak mengenal
apa-apa kecuali bekerja, bekerja, bekerja, dan bekerja….//


Pasalnya, setelah bekerja di Makassar dari Senin hingga Jumat, Sabtu dan Minggu ia harus ke Pangkep menjalankan kegiatan komunitas yang dibentuknya awal tahun 2015. Dalam setahun terakhir, Rahmat selalu menyempatkan pulang ke Pangkep guna mengabdikan diri dan ilmunya kepada masyarakat.

Liku kehidupan Rahmat mengingatkan petak jalan yang pernah ditempuh Butet Manurung, peraih dua gelar kesarjanaan, Sastra Indonesia dan Antropologi dari Universitas Padjajaran, yang memilih masuk hutan demi mengenalkan abjad kepada anak rimba di Taman Nasional Bukit Dua Belas, Jambi.

Meski tidak seradikal Butet yang meninggalkan kesenangan di kota. Rahmat juga membagi pengetahuannya. Merancang ruang belajar bahasa Inggris gratis bagi remaja di Pangkep yang menjadi salah satu program rutin Pangkep Initiative, komunitas yang dibentuknya.

Ketika terlibat selaku relawan di pelakasanaan kelima Makassar International Writers Festival (MIWF) tahun 2015 lalu, kegiatan literasi pertama dan sejauh ini satu-satunya di Indonesia Timur. Ia bercakap dengan Ridwan Alimuddin, penggerak perahu pustaka asal Majene, Sulawesi Barat.

Lewat kisah Ridwan, Rahmat tergerak menampilkan hal serupa di Pangkep. Bersama relawan di Pangkep Initiative, mereka membawa buku ke pulau Pala dan Lamputan, kecamatan Liukang Tupabbiring untuk mencari pembaca. Mereka mengangkut sekaligus membuka ruang agar anak-anak di kepulauan memiliki akses terhadap ragam pengetahuan yang tersimpan di buku.

Rahmat juga tergugah dengan kisah petualang asal Amerika Serikat, Blake Mycoskie yang menuliskan perjalananannya di buku Start Something That Matters. Walau kisah Blake tidaklah menyangkut buku melainkan kegetirannya melihat anak-anak miskin di Argentina yang kekurangan sepatu sehingga mendorongnya memasarkan sepatu produk lokal merk Toms ke negaranya agar dari penjualan sepasang sepatu itu berbuah donasi sepasang sepatu buat anak-anak di Argentina.

Kisah Blake menyuntikkan semangat untuk berbagi. Dan, Rahmat menghayati kemudian mewujudkannya ke dalam bidang literasi. Sadar dengan beratnya tantangan jika harus rutin membawa buku ke pulau dengan tingginya akomodasi yang harus disediakan.

Rahmat tidak jerih. “Sebisa mungkin program yang dijalankan minim penggunaan dana karena Pangkep Initiative berupaya menggugah kemanusiaan setiap manusia untuk berbagi,” Imbuhnya. Di titik itulah kepalanya sungguh menjadi kantor paling sibuk di dunia. Tanpa libur. Harus membagi porsi berpikir antara kerjaan yang sedang dilakoni dengan ruang kemanusiaan yang sedang ditapaki di ruang lain. Kualleangi tallanga na towalia, petuah yang menjadi pemantik orang Makassar dan Bugis yang berarti lebih baik tenggelam daripada harus kembali.

Buku-buku yang sudah ada hasil donasi dari relasi dan warga dipindahkan ke ruang publik saban Sabtu atau Minggu sore. Di Pangkep terdapat sejumlah ruang publik yang dapat dijadikan area Pop up Library. Selain kawasan kuliner di pinggir sungai Pangkajene, Taman Musafir dan Tribun Lapangan Citra Mas menjadi pilihan. Kegiatan ini rutin digelar sebagai upaya mendekatakan buku ke khalayak, utamanya bagi warga yang bertandang ke taman. Dengan gagasan tersebut, Rahmat telah membumikan ide pemikir mazhab Frankfurt, Jerman, Jurgen Habermas, kalau ruang publik harus menjadi ruang pertukaran ide.

Pangkep Initiative selaku komunitas yang terbuka bagi siapa saja yang hendak terlibat. Pastilah dalam geraknya Rahmat tidak seorang diri bekerja sebagaimana alamat yang ditujukan dalam puisi M Aan Mansyur. Namun, sebagai inisiator, di sudut malam tertentu, Rahmat bakal berkelahi dengan dirinya sendiri memikirkan program dalam melanjutkan kerja literasi yang sedang dijalankan.

Di salah satu kesempatan. Bekerjasama dengan komunitas Kelas Menulis Kepo, Pangkep Initiative menggelar program, Media dan Communication Workshop, ruang pelatihan menulis. Hal ini dimaksudkan sebagai tandem dari aktivitas membaca. Kegiatan amal juga dilakukan bersama Kelas Inspirasi Pangkep dengan mengunjungi SDN No 60 Bung, salah satu sekolah terpencil di Pangkep. Harus melewati hutan dan lembah dengan medan terjal agar bisa sampai di lokasi. Mereka mendonasikan buku dan alat tulis bagi siswa.

Di pelaksanaan MIWF tahun 2016, Rahmat didaulat sebagai Master of Ceremony (MC) di malam pembukaan. Untuk kali pertama pula, atas usaha Rahmat, Pangkep menjadi salah satu lokasi program satelit MIWF, menghadirkan Maman Suherman, Gina S Noer, dan Irfan Ramly untuk berbagi kisah dan motivasi mengenai pentingnya gerakan literasi di daerah.

Eka Kurniawan mengungkapkan di launcing novel barunya, O, di MIWF 2016, kalau rendahnya minat baca masyarakat, salah satunya diakibatkan minimnya distribusi buku. Dominan berpusat di kota besar dan toko buku sangat elitis. Seorang pembecak tentu sungkan masuk ke Gramedia. Andai di sekitar mereka terdapat toko buku layaknya warung kopi di pinggir jalan. Tentulah masalah distribusi buku ini dapat diatasi.

Di situlah tantangannya, di Pangkep toko buku hanya satu, Toko Pelajar, itu pun lebih banyak menyajikan buku paket mata pelajaran sekolah ketimbang ragam buku bacaan. Pernah ada toko buku diupayakan anak muda yang tergabung di Pangkep Indie Books, tetapi serasa perwujudan pepatah saja: hidup segan mati enggan. Namun, kita sepakat upaya demikian patut diapresiasi.

Rahmat turut meyakini kalau persoalan distribusi merupakan masalah pokok yang perlu dipecahkan. Memang ada Perpustakaan Daerah ditunjang program perspustakaan keliling. Hanya saja, kegiatan tersebut harus tunduk pada keputusan birokratis. Jika anggaran operasi sudah habis, maka selesai pula program.

Rahmat menyelasikan sekolah dasar hingga menamatkan sekolah menengah atas di Pangkep. Di era itu, ia melewati pergantian waktu di kota kecil yang jauh dari riuh perbincangan literasi. Apa boleh buat, Pangkep bukanlah ekspektasi bagi mereka yang menjadikan buku sebagai kebutuhan sebagaimana banyak berlaku di sejumah kota di negeri ini. Bukan suatu yang mengherankan memang bila Indonesia selalu digolongkan negara minim minat baca.

Rahmat miris dengan pelabelan demikian. Berbekal inspirasi dan kegelisahan, ia menabung dendam agar bisa berbuat. Berandil dalam memutus siklus minim baca di tengah masyarakat. Berbekal penguasaan bahasa Inggris mumpuni dipadukan dengan menggalakkan kehadiran buku di tengah masyarakat yang mudah dijangkau.

Terwujudlah Pangkep English Club dengan Pop up Library. “Kegiatan ini merupakan pendidikan dan kampanye menggalakkan minat baca di Pangkep.” Rahmat menerangkan lebih lanjut kalau ke depan akan mencoba menaklukkan perkampungan di pegunungan Pangkep. Ia setuju kalau buku mesti mencari pembacanya. Itulah wujud distribusi ala relawan. Digerakkan bukan karena motif uang melainkan sifat kemanusiaan.
_

Catatan: naskah ini pernah dimuat di Qureta
Dimuat juga di saraung.com edisi 14 Oktober 2016

Komentar

Postingan Populer