Paradoks Suara Pemilih: Bercermin dalam Film India

Repro. Kamar Bawah. Sumber gambar di sini

India dan Indonesia terikat emosi politik dan kebudayaan. Soekarno dan Nehru diingat selaku salah satu tokoh kemerdekaan masing-masing negara. Di zaman kolonial, Indonesia dijajah Belanda dan India dalam cengkeraman Inggris.

Sebagai negara bekas jajahan imprealis Eropa, kedua negara mewarisi luka sejarah. Usia kemerdekaan tidaklah terpaut jauh. Proklamasi Indonesia di tahun 1945 dan India di tahun 1947. Imajinasi kemerdekaan mendesak diperjuangkan membangun negara.
­_

Bila menengok pijakan titik balik praktik demokrasi di Indonesia, Orde Baru paling banyak disepakati sebagai sandungan. Setelahnya, upaya membumikan demokrasi selaku jalan mengubah sistem pemerintahan, utamanya proses suksesi memilih presiden, wakil rakyat, dan kepala pemerintahan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota terus bergulir.

Jalan demokrasi yang terus dipraktikkan perlahan membuka mata, sekaligus melahirkan beragam tantangan. Pelik dan sangat kompleks. Demokrasi tak lagi menjadi jalan menemukan solusi, melainkan berubah menjadi tameng melegalkan kepentingan. Ada banyak contoh yang bisa diajukan untuk hal ini.
­_

Penyelenggaraan pemilu di Indonesia dilakukan KPU dan Bawaslu hingga turunannya ke bawah: PPS dan Panwas. Dua lembaga yang berkolaborasi dalam penyiapan tahapan dan pengawasan.

Di ujung lidah PPS dan Panwas diharapkan mampu menjadi penerjemah regulasi pemilu terkait pengetahuan teknik pemilihan juga bentuk pengawasan. Kita ketahui bersama kalau perubahan tata cara pemilihan, pernah beralih dari mencoblos ke mencontreng dan kembali lagi mencoblos kertas suara.

Kita cukup paham dengan situasi demikian, perubahan yang terjadi selaku respons yang dihadapai di lapangan. Bertahun-tahun mencoblos kertas suara merupakan rutinitas saban pemilihan dan peralihan ke mencontreng adalah upaya yang tidak dibarengi dengan pendidikan dasar.

Mencoblos atau mencontreng hanyalah cara. Di baliknya adalah pemberian delegasi imajiner dari pemilih kepada mereka yang dipilih. Narasi menarik ditampilkan dalam film Newton, garapan sineas India, Amit V Masurkar.

Dikisahkan petugas pemungutan suara bernama Newton Kumar yang akan memimpin pemungutan suara di daerah terpencil, wilayah itu dikuasai Naxal, kelompok pemberontak komunis.

Sejak dalam perjalanan, satuan militer yang mengawalnya sudah menjejalkan situasi yang tak dapat diperkirakan kapan pemberontak akan menyerang. Penjelasan itu mencekam bagi Newton dan dua rekannya dari kota. Untunglah konsep film bergenre drama komedi. Jadilah kita menikmati suguhan humor segar dan gelap.

Sebagai petugas dari kota yang memegang teguh aturan, Newton membentengi dirinya dengan sikap skeptis terhadap pengawalan tentara. Malko, seorang perempuan, petugas pemilihan lokal yang turut membantu, menjadi penerjemah alternatif yang ia percaya. Newton mempunyai komparasi dari penerjemah milik tentara.

Di hari pemilihan, rupanya tak seorang pun warga yang datang menyalurkan suara. Negoisasi yang dilakukan Newton kepada Aamat Singh, komandan tentara, berjalan buntu. Sang komandan menolak ke perkampungan menjemput warga.

Situasi kemudian berubah ketika seorang pemimpin kepolisian menelepon Newton yang, sebelumnya telah berkomunikasi dengan komandan tentara. Tetapi, di sisi lain, Newton menolak jika warga dipaksa datang untuk memilih.

Dan, terjadilah proses pemilihan itu meski warga kebingunan. Mau tidak mau harus dilakukan untuk meloloskan satu adegan proses pemilu yang dianggap demokratis dalam rekaman kamera televisi sejumlah wartawan yang datang meliput.

Sebelumnya, kita menyaksikan situasi komikal ketika warga bingung ketika sampai di bilik suara. di hadapannya terdapat mesin dengan sejumlah tombol yang harus ditekan untuk menyalurkan suaranya.

Alat yang digunakan dalam proses pemilihan di India, rupanya melampaui yang diterapkan di Indonesia yang masih cara manual: mencoblos. Alat yang digunakan menjaring suara di India serupa mesin absensi. Sayang, tidak dijelaskan lebih detail fungsi digital alat itu.

Namun, kita dapat menduga kalau mesin itu menyimpan suara pemilih dan akan terhubung ke data base kantor pemilihan di pusat. Perbedaan lain, rekapan suara tidak lagi dihitung di tempat yang dapat disaksikan pemilih dan saksi.

Hal itu bisa jadi pengecualian mengingat, yang datang hanya petugas didampingi tentara sebagai pengamanan. Sama sekali tidak ada saksi dari partai. Situasi satir ini sempat dilontarkan Aamat Sing kepada Newton yang menuntut jujurnya proses pemilihan tanpa kecurangan.

“Ini bukan pemilihan. Mereka memilih secara acak tanpa tahu siapa yang telah dipilih,” lirih Newton. Ia murka kepada Aamat Singh yang meminta warga untuk memilih saja dengan menekan tombol layaknya mainan. Persoalan siapa yang telah dipilih, itu bukan soal lagi untuk diperbincangkan.

Newton menyadari kejanggalan rentetan peristiwa. Ada yang tidak beres dengan proses pemilihan. Ia berani bertaruh dan melawan. Di perjalanan pulang, ia nekat merebut senapan tentara demi warga yang muncul untuk menyalurkan suaranya.

Pilihan itulah satu-satunya agar tentara mau menuruti kemauan Newton yang memanfaatkan sisa waktu. Pilihan yang kemudian membuatnya dihajar oleh tentara. Lewat film ini, kita disuguhi tentang pertarungan menjalankan proses pemilihan dengan jujur melawan apatisme.

Newton di garis yang lurus walau tak berdaya ketika ada warga yang bertanya tentang manfaat mereka memilih. Aamat Singh mewakili sikap realis menghadapi pemilih yang buta politik. Ia pun menyadari kalau memaksakan pemilihan pada warga hanyalah prosedural.

Pertentangan dua kubu ini berlindung di balik kerja profesional masing-masing. Hanya menjalankan tugas sesuai aturan. Baik Newton dan Aamat Singh membentengi diri untuk tidak mau tahu persoalan yang dihadapi warga.

Potret serupa sangat memungkinkan terjadi pada pemilih yang dihadapi warga Indonesia di daerah terpencil. Memilih karena prosedur namun mengalami alienasi yang membawa pada absurditas. Suara mereka hanya angka-angka yang terjebak dalam paradoks.

“Perubahan tidak datang sehari. Hutan saja butuh waktu ribuan tahun untuk tumbuh,” ucap Malko. Mencoba memahami perasaan Newton. Pemilu yang demokratis sesuai regulasi memanglah satu tahapan selain tantangan yang lain.

Cara pandang Malko menjadi pemantik kalau proses itu penting dan tidak mengejar hasil instan sebagaimana sikap optimis Newton yang mengandalkan kejujuran tanpa pembacaan realitas yang memadai.
­_



Komentar

Postingan Populer