Memoar Relawan Sokola
Iklan Koran Kompas yang kerap
tayang di layar kaca di awal tahun 2000 an, salah satu serialnya menampilkan
sosok perempuan berbadan kurus bersama anak-anak di dalam hutan. Perempuan itu
peraih gelas master namun memilih menghibahkan hidupnya belajar mengajar
anak-anak di hutan.
Gambar perempuan bernama Butet
Manurung itu juga termuat di harian Kompas. Karena menarik, saya mengklipingnya
bersamaan dengans serial iklan serupa. Jika tidak salah, ada juga seorang
lelaki paruh baya petugas rel kereta api. Semuanya dalam bingkai iklan Kompas.
Jauh hari setelahnya, terbit buku
Sokola Rimba. Dan, Beberapa tahun
kemudian sutradara Riri Riza merilis film yang mengadaptasi isi buku itu. Kisah
belajar mengajar bersama Suku Anak Dalam di Bukit 12, Jambi.
Praktik belajar mengajar demikian
tentu mengingatkan pada kerja-kerja yang dilakukan Paulo Freire di Brasil atau
yang pernah ditapaki di Guinea Bissau. Di buku Pendidikan Sebagai Proses (Surat Menyurat Pedagogis dengan para
Pendidik Guinea Bissau Pendidikan, Paulo Freire melakukan refleksi dengan
koleganya di sana. Lewat buku itu kita kemudian tahu kalau semangat
meng-Afrika-kan kembali Afrika, istilah yang dicetuskan Amilcar Cabral dalam
kampanye mengusir warisan kolonial.
Praktik sekolah seperti itu menjadi
antithesis atas kungkungan sekolah formal. Roem Topatimasang sudah
menuliskannya dengan sederhana di buku Sekolah
Itu Candu. Kisah yang dituliskan Fawaz semakin menegaskan kalau
mengembalikan sekolah sebagaimana awal mulanya sebagai waktu luang bukan lagi
utopia.
Di Makassar, Sulawesi Selatan
terdapat Sokola Pesisir dan Sokola Kajang di Bulukumba, semuanya bagian program
Sokola. Nah, jelajah Fawaz di Asmat, Papua juga bagian mata rantai. Ia ke sana
melanjutkan program literasi dasar yang telah dirintis sebelumnya. Kehadiran
Fawaz mengawal literasi terapan bagi anak-anak di Mumugu Batas Batu.
_
Meski berupa kumpulan catatan
yang bisa dimulai dari judul naskah yang dirasa menarik. Saya mengikuti
petunjuk Butet Manurung di kata pengantarnya. Harus dimulai dari awal. Sebisa
mungkin pula saya membuat secangkir teh ketika menyicil bacaan sebagaimana
pesan Fawaz yang dituliskan di halaman depan.
Fawaz juga nampaknya telaten
menyusun catatannya menjadi buku yang renyah dibaca. Memilah naskah agar
terstruktur yang memudahkan pembaca menyelami perjalanannya menjadi guru
relawan di Sokola Asmat.
Membaca tulisan Fawaz pertama
kali saya temukan di Mojok Dot Co di tahun 2016. Mengabarkan kisah anak-anak
Papua tempatnya mengajar, belajar, dan bermain dengan pendekatan humor yang
bernas. Itu tentu bagian dari pengalamannya.
Pengalaman pertama menginjak
tanah Papua dikisahkan dengan realis. Perjumpaan dengan perantau dari beragam
suku di Indonesia. Bugis, tulis Fawaz, disebut suku penjelajah. Menuju Asmat,
tentu ia harus transit di Timika terlebih dahulu.
Andai Fawaz cukup waktu
berkunjung ke pasar, tentulah ia menemukan manusia Bugis selaku pengendali
ekonomi selain orang Buton dan Jawa. Andai pula ia menumpangi kapal laut, maka
ia transit di kepala burung, mengacu pada kepala Cenderawasih yang, jika
melihat peta Papua, kepala burung itu berada di Sorong, Papua Barat.
Terkejut. Itulah yang dirasa oleh
siapa pun yang kali pertama ke Papua. Tahun 2004, saya sungguh merasakannya
ketika merantau ke Sorong. Sebagai orang Bugis, sompe (Bahasa Bugis: merantau) lebih dari hijrah menuju suatu
tempat untuk perbaikan nasib. Merantau menjadi jalan hidup itu sendiri dengan
tujuan beragam.
Dan, sepi itu tentu saja menusuk
kuat ketika lebaran tiba. Berada di Papua serasa memang berada di dunia yang
berbeda. Meski pemukiman yang saya tempati saat itu terbilang ramai dan
semuanya merayakan lebaran. Sepi tetap saja tak dapat dielakkan. Ada yang lain.
Dalam kisah Lebaran Haji dan Kesunyian yang Kian Menjadi. Fawaz melukiskan
kesunyian yang ditapaki di Mumugu Batas Batu. Ia seorang diri setelah Habibi
dan Ansel, dua temannya sudah meninggalkan lokasi. Ia bahkan tak tahu kalau
lebaran haji sudah tiba akibat minimnya akses informasi.
_
Meski bukan fiksi, membaca buku
ini serasa membaca novel. Saya rasakan ada kemiripan dengan Kisah-Kisah Penculikan karya Gabriel
Garcia Marquez. Struktur kisahnya mendekati prosa.
Yang
Menyublim di Selah Hujan, salah satu judul kisah yang
dijadikan judul buku sudah mengantarkan asosiasi ingatan kita pada karya prosa.
Andai tidak diberikan keterangan judul: Cerita
Tentang Pengalaman Belajar Mengajar di Sokola Asmat. Maka pelabelan novel
atas buku ini tak terhindarkan.
Perjalanan ke kampung Mumugu
Batas Batu, Distrik Sawaerma, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua. Dimulai Fawaz
dari Jakarta menuju Timika, lalu ke Ewer kemudian menuju Agats dan barulah
sampai ke Mamugu Batas Batu. Membela Teluk Flamenggo dan Sungai Pomats di atas
kapal bermesin tempel. Jika perjalanan dimulai di pagi hari dari Agats dan
tidak ada halangan seperti terjangan ombak, maka akan sampai di Mamugu Batas
Batu di sore hari.
Mamugu Batas Batu, sebagaimana
daerah Asmat yang lain, adalah dataran rendah. Fawaz melukiskannya sebagai
negeri di atas papan. Bersama Habibi, rekannya dari Sokola Pesisir di Makassar,
Fawaz menyelami kehidupan warga dan membangun interaksi. Habibi hanya
mengantarnya dan selanjutnya balik ke Makassar.
Ada periode Fawaz seorang diri
mengampu Sokola Asmat. Di tengah kesendirian itu, ia diserang malaria. Nah,
inilah salah satu tantangan yang perlu dihadapi. Sangat jarang ada perantau
yang tidak terkena malaria di Papua.
Sewaktu di Sorong, selama dua
tahun, saban hari saya selalu mengonsumsi obat anti malaria layaknya permen.
Tetapi, malaria tetap saja menyerang. Padahal saya tinggal di daerah kota.
Bagaimana dengan Fawaz yang membangun jejak hidup di perkampungan terpencil.
_
Buku ini bisa disebut komplet.
Selain menceritakan kegiatan belajar mengajar, Fawaz mampu merekam denyut
kehidupan warga. Ia mengenalkan tokoh-tokoh yang turut andil mewarnai struktur
sosial di Mamugu Batas Batu.
Ia mengenalakn polisi yang yang
bertugas di Asmat sejak tahun 1986, Lucas Swabra, Pastor Hendrik yang disebut
menjalankan Teologi Pembebasan karena tidak menolak adat lokal dalam
menjalankan misa di gereja, juga beberapa Suster yang sangat toleran, oleh
Suster Dorothea, Fawaz selalu diingatkan untuk mendirikan salat lima waktu.
Fawaz bukanlah superman yang
datang untuk menyelesaikan semua masalah. Jejak hidup yang dijalani justru
berkelindan dengan kehidupan warga. Ia terlibat dalam pesta adat, ikut berburu
buaya bersama Lucas Swabra, memangkur sagu bersama warga, dan bermain bersama
anak-anak di Sungai Pomats.
Selain membimbing anak-anak, ia
juga menyelam untuk belajar. Jadi, intisari pendidikan Paulo Freire yang
mengedepankan dialog benar-benar diterapkan. Diakui, meski anak-anak mengalami
perkembangan dalam membaca dan berhitung, menekan emosi murid yang kadang marah
dan serta merta ingin memukul tak dapat dielakkan. Ada sejumlah kejadian
seperti ini yang dialami.
“Tak
bisa dimungkiri, anak-anak adalah peniru terbaik di bumi. Mereka akan dengan
cepat dan mudah meniru apa saja yang mereka lihat. Saat hampir setiap hari
mereka melihat tontonan orangtua penghuni Mumugu yang berkelahi dan menggunakan
senjata tajam untuk modal mereka berkelahi. Anak-anak tentu saja akan meniru
orangtuanya. Jangankan kami yang baru dua tahun berinteraksi dengan warga
Mumugu Batas Batu, pihak gereja yang sudah cukup lama masuk Mumugu saja belum
bisa menghapus itu semua. Butuh proses memang. Dan, proses itu masih
berlangsung dan akan terus berlangsung.” (Hal. 294)
Aksi,
Refleksi, Aksi
Fawaz yang sebelumnya juga terlibat
di Sokola Rimba di Bukit 12, Jambi. Pada satu titik melakukan refleksi atas
realitas warga Suku Anak Dalam dengan warga Mumugu Batas Batu. Dari luar,
komunitas ini mengalami kekuatan besar yang perlahan akan menggeser praktik
kehidupan mereka.
Warga di Mumugu mencukupi
kehidupannya dengan mencari dan mengolah bahan makanan yang bersumber dari
hutan. Hal yang sama pula dilakoni oleh Suku Anak Dalam. Pendatang lalu membawa
corak kehidupan berlawanan. Adanya transaksi berupa uang mau tidak mau menyeret
kehidupan dua komunitas ini. Sialnya, mereka tak punya bekal dan tertipu.
Bagaimana tidak, model transaksi demikian tentulah baru bagi mereka.
Menjual tanah yang luas dengan
sekantong uang. Tetapi, nilai nominal uang di dalam kantong itu tidaklah
diketahui limitnya. Mengelolanya pun perkara lain yang tak kalah rumitnya
sehingga sekantong uang itu bisa habis dalam sehari.
Kira-kira, literasi terapan
mencoba menjadi medium penyadaran sehingga warga mampu dan memiliki daya tawar
dan tidak terus menerus berada di titik pembodohan. Dengan mengetahui alat ukur
tanah dan nilai tukar uang. Mereka bisa menuntut hak dari transaksi yang
terjadi.
Pada akhirnya pendidikan bukanlah
alat yang mengukuhkan satu komunitas di atas komunitas yang lain. Pendidikan
yang ditawarkan melalui program Sokolah Asmat, lebih pada pembangunan jembatan
dialog agar warga bisa menempatkan diri sejajar dan kekuatan dari luar, juga
menyadari kalau praktik pembodohan yang dilakukan perlahan mampu diputus
mengingat posisi sudah berada di titik yang sama.
Dengan demikian, praktik
pendidikan yang sesungguhnya tidaklah terpisah dari apa yang dipelajari dengan
tantangan yang dihadapi dalam kehidupan. Pendidikan adalah jalan menuju
pembebasan yang memanusiakan.
_
Pangkep-Makassar,
29 Mei 2017
Komentar