Suara-Suara di Stadion Andi Mattalatta




Sorak suporter di tribun Selatan stadion Andi Mattalatta kala PSM menjamu Persipura dalam uji tanding pada 5 April 2017



“Saya heran, mereka itu ingin menonton pertandingan PSM atau sekadar bernyanyi,” celetuk seorang kawan usai menonton laga perdana PSM dalam kompetisi Gojek Traveloka Liga 1 melawan Persela Lamongan pada Minggu, 16 April lalu.

Berada di tribun terbuka yang menjadi ruang nyanyian ratusan pendukung PSM yang tak henti di sepanjang laga. Terdapat dua hingga tiga orang yang berdiri di pagar pembatas. Merekalah yang memandu para suporter untuk terus bernyanyi. 

Kalah atau menang nampaknya bukan masalah. Intinya mereka datang ke stadion memberi dukungan. Bukan cuma pemandunya saja yang tidak menyaksikan jalannya laga, mereka yang ada di tribun nampaknya cuek juga. 

Lalu, dengan cara apa mereka menilai permainan tim yang didukung dari satu pertandingan ke pertandingan yang lain. Apa pula yang mendorong mereka datang ke stadion. Pertanyaan ini tentu amat pelik untuk dijawab.

Sepakbola telah membuka ruang di sisi yang lain. Dan, mereka, para suporter telah mengisi salah satu ruang itu. Di era ketika sepakbola memasuki atau dimasuki nafas industri. Kenikmatan untuk menyaksikan langsung secara kasat mata sudah dimediumkan ke dalam layar kaca. 

Bahwa apa yang disaksikan penonton di stadion sama persis yang dilihat di depan layar kaca. Malah, replay, bisa membantu penonton kembali mengulang klimaks atas gol yang tercipta atau satu peristiwa yang lain. Belum lagi layanan di You Tube yang dapat diputar setiap saat.

Namun, bantuan teknologi tak sepenuhnya memutus jalan menuju stadion. Ada sesuatu yang lain yang tidak ditawarkan – diresapi bila sekadar duduk di depan layar kaca. Sangat disayangkan bila melewati satu laga tim idola di stadion.

Setiap kali PSM berlaga di kandang, stadion Andi Mattalatta, kawan saya itu selalu menempuh perjalanan menunggangi sepeda motor sekitar satu jam lebih dari Pangkep menuju Makassar. Aktivitasnya itu bukanlah hal baru. Sudah ia lakoni sejak Ali Baba masih aktif bermain. Usianya sudah kepala lima. Dan, setiap kali ia ke stadion, keheranannya menyaksikan satu kelompok suporter yang terus bernyanyi tanpa menonton kembali hadir. 

Nah, pada titik tertentu, ada orang yang sudah seringkali menyaksikan hal serupa tetap merawat keheranan yang sama. Sepakbola selaku olahraga kolektif yang dimainkan sebelas orang dengan perannya masing-masing meski ada peran individu dari pemain yang dilimpahi keistimewaan. 

Di luar itu, di pinggiran lapangan juga tersaji peragaan kolektif. Rombongan pendukung yang datang bersamaan lalu memeragakan pola yang sama. Mereka menonton dengan cara bernyanyi dan bergembira. Apa pun hasil laga. Kesamaannya, keduanya perlu ke stadion dengan cara berbeda merayakan PSM berlaga.

Tentu saja, hal demikian terjadi pada pendukung tim sepakbola yang lain. “Sepakbola menyajikan apa yang tidak kita bayangkan,” kata Eduarado Galeano, penulis buku Soccer in Sun and Shadow asal Urugay itu. 

Membeli tiket hanya untuk berdiri dan bernyanyi di sepanjang 2 x 45 menit sudah memenuhi kriteria disebut absurd. Sama sekali tidak terbayangkan ada orang-orang yang bertindak demikian. Bisakah itu terjadi jika misalnya PSM berlaga dalam sebuah partai final. Tentu saja iya. 

Setiap kali menyempatkan menonton laga PSM di Andi Mattalatta, bagi saya, suara-suara bergemuruh itu menawarkan tontonan yang lain. Ketika PSM bermain di luar ekspektasi, suara-suara itu menjadi penawar kekecawaan. Ekspresi mereka sama, walau PSM kalah atau menang. Mereka akan datang kembali di pertandingan yang lain dengan nyanyian serupa. 
-

Dimuat di Tribun Timur Edisi 20 April 2017




Komentar

Postingan Populer