Siapa Mengingat Kita, Catatan yang Lupa Buat PPIM (Bagian 13)



 
Echy bersama dua putri dan suami (Dok. Pribadi)


Menafsir Ruang Hidup

Pelajar yang aktif di PPIM banyak dari SMU Negeri 5 Makassar, saya mencatat delapan orang. Mulai dari Anton, Awaluddin, Rini, Yuni, Amma, Arin, Anas, Echy, dan beberapa nama yang sudah saya lupa.

Hampir semua kegiatan yang sempat digelar PPIM, nama yang disebutkan di atas selalu hadir. Dan semuanya, saya kira, berandil dalam setiap jengkal kegiatan. Khusus mengenai Echy, sapaan akrab Hasriani, dara kelahiran Desa Sappewali, Kecamatan Penrang, Kabupaten Wajo tahun 1985, sekali waktu terlibat dalam pencairan dana kegiatan di Kantor Gubernur Sulawesi Selatan.

Kejadian bermula ketika saya dan Bim, panggilan Bambang Sampurno, mengecek proposal di sana, rupanya dana sudah siap senilai Rp. 500.000,- hanya saja, nama kami tidak ada dalam proposal kegiatan Workhsop Pelajar se Sulawesi Selatan yang sedang direncanakan saat itu. Aturan pencairan, yang berhak menerima dana, haruslah ketua panitia atau bendahara.

Saya lupa, apakah Hasriani atau Tri Suci GW. Guritno, nama lahir Yuki, yang dituliskan selaku bendahara. Namun yang pasti, saat itu hari Jumat dan pegawai di kantor Gubernur memberi pilihan untuk segera menghadirkan ketua atau bendahara. 

Karena saya belum bisa mengendarai sepeda motor saat itu, saya yang tinggal memastikan pegawai itu tidak kabur dengan alasan ingin salat Jumat. Waktu yang tersisa saya kira cukup untuk proses pencairan dana sebelum ke masjid. Bim lalu berangkat ke kantor Gama College menjemput bendahara. Lalu lintas kota Makassar di tahun 2003 belumlah semacet hari ini. Sehingga, meski jarak kantor Gubernur ke kantor Gama College lumayan jauh, Bim sudah muncul kembali bersama perempuan mungil.

Proses pencairan dana cepat saja. Kami bertiga lalu pulang dengan riang. Sesampai di tempat parkir, dilema lalu muncul, sepeda motor cuma satu dan tidak mungkinlah saya dan Echy membonceng sekaligus. Ah, intinya dana kegiatan sudah didapat. Saya memilih berjalan kaki keluar dan Echy yang membonceng. Saya juga lupa, apakah saat itu Bim kembali menjemput saya atau tidak. 

Jika saya coba mengingat kembali, peristiwa itulah yang tertanam di benak. Di kesempatan yang lain selama di PPIM, saya jarang berinteraksi dengan Echy. Beberapa cuil peristiwa yang saya dengar tentangnya, diceritakan oleh Bim jika di waktu tertentu saya berkunjung ke rumahnya guna membincang banyak hal.

*

Mungkin sikap kita selalu sama, menolak jika sepetak hidup hendak ditelusuri. Hal ini berlaku pula pada Alwia ketika saya mengajukan wawancara. Semula, Echy juga menolak karena menganggap tidak ada yang perlu dikisahkan. Ia menilai perjalanan hidupnya datar saja.

Pada dasarnya, ini menyangkut sudut pandang. Biografi yang tertanam di benak kita melulu kisah hidup orang-orang besar. Hasil konstruksi wacana macam itulah yang meminggirkan kita ke sudut. 

Padahal, liku hidup manusia selalu unik dan mengandung heroisme tertentu sesuai situasi yang dihadapi. Tiga tahun terakhir, satu-satunya media cetak yang masih saya baca, hanya Kompas, saya intens mengikuti rubrik sosok yang tayang saban hari. Kiprah mereka yang dikupas bukanlah orang-orang besar hasil definisi media arus utama, melainkan sosok dari pelosok yang membangun jejak dan menjadi lentera di sekitarnya.

Sebelumnya juga, di program Kick Andi Heroes, melakukan hal yang sama. Mewartakan pada publik perihal kehadiran pahlawan tanpa sorot kamera namun setia menjaga asa. Mereka adalah kesunyian benderang yang luput dari mata kita.

Di tahun 2006, saya merasa ditampar dengan suster Rabiah, oleh sineas muda Makassar, Arfan Sabran, adik kandung Saiful Haq (Kak Iful, salah satu yang mendampingi PPIM selain Kak Irfan dan Kak Marwan) yang mengangkat kiprahnya di ajang film dokumenter Eagle Award Metro TV. Sungguh, tidak ada yang tahu pengabdiannya selama 30 tahun lebih memberikan pelayanan kesehatan di kepulauan terluar di Pangkep. 

Kira-kira, dasar itulah sehingga metode penulisan semacam ini saya tempuh. Saya pikir penting mengawetkan sejarah hidup meski itu masihlah secuil dan belumlah berdampak kemasyarakat luas. Jika ada yang mengatakan kalau pergulatan hidup sebagai orangtua yang sebatas berputar di rumah saja sesuatu tidak penting diketahui publik. Menurut saya itu cara pandang kolonial. Menempatkan diri di ruang inferioritas. 

*

“Sebenarnya, tidak ada yang menarik dalam hidup yang kujalani. Saya juga tidak pernah mendapat penghargaan,” jawab Echy ketika kutawarkan proses wawancara.

Usai meyakinkan mengenai cara pandang bekerja, barulah ia bersedia mengisahkan jejak hidup yang pernah ditapaki. Sebagai anak sulung dari dua bersaudara, kedua orangtuanya berharap banyak padanya dalam mengangkat derajat keluarga. 

Dan, jalan perbaikan taraf hidup itu ditanam di dunia pendidikan. Sejak sekolah dasar di SDN 309 Desa Lawesso, hingga sekolah menengah pertama di SMPN 1 Desa Walanga, Kecamatan Penrang. Echy hanya fokus belajar yang membuatnya tak memiliki pesaing menggenggam peringkat satu di kelas. 

Di masa SMP, ia salah satu pelajar yang berhak mewakili Kabupaten Wajo mengikuti jambore nasional di Kecamatan Batu Jajar, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. Sebelumnya, sewaktu masih sekolah dasar, ia juga mewakili Wajo dalam lomba catur pelajar tingkat Provinsi Sulawesi Selatan. Meski kalah telak di babak penyisihan, ia menolak kalau kekalahannya bukan karena strategi menjalankan bidak. “Papan caturnya saja yang lebih besar dari badan saya sehingga tidak fokus,” kilahnya. Semua kontribusinya itu diingat oleh pemerintah daerah dan diganjar dengan pilihan bebas memilih sekolah menengah atas di Wajo.

Namun, ia menolak hidup dalam tempurung. Kota Sengkang, ibu kota Kabupaten Wajo dirasa sempit. Ia perlu melihat geliat kehidupan di kota yang lain. Tontonan di teve menggugahnya mencoba kehidupan di kota besar. Makassar lalu menjadi pilihan yang dapat ditinggali melanjutkan studi di tingkat sekolah menengah atas.

Selanjutnya di Makassar, ia tinggal di rumah paman dari pihak ibu, pamannya itulah yang menjadi orangtuanya selama menjalani studi di SMU Negeri 5 Makassar. Liku luka hidup tentu saja menghampirinya. Malah, sempat merasa pilihannya ke Makassar keliru. “Rupanya hidup di Makassar tidaklah seindah tontonan di teve. Mungkin karena teve di rumah hitam putih ya,” ujarnya sembari tertawa mengenang awal hijrahnya.

Di satu sisi, ia merasa bersyukur tinggal di rumah pamannya yang telah lapang dada menerimanya. Namun, bagaimana pun, jauh dari orangtua tetap saja ada ruang kosong yang tak terisi. Echy merasakan semua itu. Termasuk mengikuti rutinitas di rumah tersebut lengkap dengan aturan yang perlu dipatuhi. Di titik itu, ia harus meninggalkan kegiatan pramuka di sekolah agar bisa pulang lebih awal.

Sisi yang lain, ia bisa fokus belajar sehingga prestasi kelas tetap diraihnya sebagaimana di masa SD dan SMP. Hingga pelulusan tiba, ia mendapat undangan bebas tes masuk di jurusan Psikologi Universitas Padajajaran (UNPAD) Bandung, Jawa Barat. Hanya saja, undangan itu harus ditampik. Kabar dari orangtuanya, terlalu jauh jika harus melintasi samudera. Biaya dan rindu menjadi sandungan.

*

Echy, nama yang disematkan padanya oleh dua karibnya, Yuni dan Rini kala di kelas satu sekolah menengah atas. Echy yang berarti Enhy kecil dimaksudkan untuk membedakan dengan tiga nama Hasriani yang ada dalam satu ruangan. 

Keterlibatannya di PPIM mengalir saja. Setelah mundur dari kegiatan pramuka, ia melihat peluang untuk membunuh sepi di rumah dengan aktif di PPIM. Lagi pula beranjak di kelas dua, ia juga mengikuti bimbingan belajar di Gama College dimana program PPIM dirancang.

Satu hal yang tak bisa dilupakan waktu terlibat kegiatan di PPIM, waktu itu ia sudah meminta izin pada mertua pamannya untuk menginap di Lec Bukit Baruga. Saat itu pamannya sedang dinas luar kota. Di luar dugaan, sang paman datang memarahinya hingga ia dipukul pakai kursi. “Saya tidak marah, juga tak bisa menangis. Hanya bisa diam dan berdoa semoga paman saya percaya kalau apa yang saya lakukan bukanlah perbuatan hina,” ujarnya. Echy memahami kemarahan pamannya sebagai sikap kasih sayang. Itu tak bisa ditawar karena padanyalah dia tinggal di kota. Kekhawatiran orang dewasa memang kerap demikian.

Memastikan tidak berangkat ke Jawa Barat untuk kuliah di UNPAD, ia mengikuti Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SMPTN), pilihannya memilih arsitektur tergugah dengan sepak terjang Dame Zaha Mohammad Hadid yang akrab dikenal Zaha Hadid, arsitek perempuan Inggris kelahiran Irak. Lebih dekat karena pamannya juga arsitek. Dua sosok inilah sehingga ia membelokkan pilihan yang sebelumnya ingin masuk di Fakultas Sosial dan Politik (Sospol) dan mengabaikan impian ibunya agar dirinya berkarier sebagai dokter.

Sayang, impian membangun karya arsitektur dalam imajinasinya terhalang kekuatan politik dan pemodal tertentu yang mengedepankan ruang sebagai misi meraup modal ketimbang menghayati karya arsitektur sebagai wahana memanusiakan manusia. Mengenai penggusuran rakyat miskin di bantaran sungai, umpamanya, oleh pemerintah disebut sebagai relokasi. Menurut Echy, kawasan di sana bisa dilakukan dengan cara lain agar warga tetap dapat hidup layak jika yang disoalkan mengenai kekumuhannya. Ia sepakat dengan konsep yang pernah dikembangkan Mangun Wijaya di Kali Code di Yogyakarta.

*

Tiga tahun tinggal di rumah paman dirasa sudah cukup. Menapaki jejak baru sebagai mahasiswa, ia memilih indekos agar ruang yang selama ini dirindukan dapat direngkuhnya. Ia ingin hidup mandiri dan menjalankan hidup sederhana. “Selama kuliah, bisa dihitung jari saya berkunjung ke mall. Jika ada kesempatan, itu artinya saya diajak teman yang mungkin kasihan melihat hidup saya di kosan,” tuturnya.

Kuliah di jurusan di arsitektur sebenarnya tidak mudah. Diperlukan tunjangan alat gambar yang memadai. Nah, semua itu tidak dimiliki oleh Echy, ia juga tak memaksa orangtuanya membelikan alat yang terbilang mahal itu. Jangankan alat peraga, hape saja tak digenggam. Namun, ia tak merasa harus malu. Keluwesannya bergaul dan kemampuan belajarnya yang tinggi menjadikian dirinya selalu mendapat dukungan dari teman-temannya. Selain dipinjamkan alat gambar, ia sering sekali ditraktir makan sebagai imbalan berbagi ilmu.

Ruang berorganisasi yang dulu terpotong sewaktu sekolah, menjadi balas dendam ketika kuliah. Tentu aturan ia sendiri yang buat selaku anak indekos. Selain menyibukkan diri di himpunan, ia terlibat pula di organisasi pecinta alam. “Suatu kesyukuran tersendiri berinteraksi dengan organisasi yang dominan lelaki. Artinya, saya tidak perlu menambah uang belanja untuk berdandan ke kampus,” pungkasnya. Sebab itulah hingga sekarang, meski sudah menjadi ibu dua orang putri, tetap saja tak memiliki lipstik. 


Dalam nomenklatur Jerman, ada istilah klasik desain interior yang disebut raumdeuter, mengacu pada sempitnya ruang, karena itulah dibutuhkan kejelian memanfaatkan ruang yang sedikit itu agar bermanfaat dan tepat guna. Nah, saya kira Echy telah melakukan itu dalam hidupnya. Keterbatasan yang dimiliki menempuh jurusan arsitektur tidak membuatnya diam. Ia tetap bisa menuntaskan studi tepat waktu dan terlibat dalam proyek prestius dalam pengembangan tata ruang masa depan di Sulawesi Selatan yang dikenal Mamminasata (Makassar, Maros, Sungguminasa, dan Takalar) yang dipimpin Danny Pomanto, wali kota Makassar saat ini.


Selesai kuliah, ia salah satu dari sepuluh alumnus terbaik yang direkomendasikan pihak Unhas terlibat dalam proyek pembangunan infrastruktur di Kabupaten Luwu Timur di tahun 2008 yang dijalani setahun. Kemudian, terlibat kerja proyek lagi di Indosat, juga selama setahun. Hasilnya, ia menghadiahkan sebuah mobil bekas buat orangtuanya. Dan, di sini pula ia berjumpa dengan lelaki yang kelak menjadi pendamping hidupnya.

Echy terus menafsirkan ruang-ruang baru guna menemukan hal yang lain dan bermanfaat dalam hidupnya. Lepas dari kontrak kerja yang lain, ia terikat lagi dengan kontrak yang baru. Lebih menantang, tentu saja, dimana ia bisa bertualang. Maka jadilah ia ke wilayah terpencil di lokasi tambang nikel eksplorasi perusahaan PT. Integra Mining Nusantara di Kolonedale, Morowali Utara, Sulawesi Tengah di tahun 2010 hingga 2012. Andai lelaki yang telah dikenalnya ketika bekerja di Indosat tidak memberinya harapan, besar kemungkinan ia bertahan di lokasi tambang.

Setelah memegang harapan berumah tangga, ia meninggalkan lokasi tambang dan mencari pekerjaan di kota. Tantangan yang dihadapi serasa kisah sinetron, lelaki pujaan melamar ketika ia harus menjalani diklat perbankan. Echy lulus kerja di BNI Syariah ketika itu. Tibalah dia pada dua pilihan, melanjutkan karier di bank atau menikah. Aturan kontrak di bank, diharuskan tidak menikah dalam tempo dua tahun. Jika kontrak dibatalkan maka harus membayar denda sesuai di kontrak. 

Setelah melakukan konsultasi dengan calon suami, Echy memilih menikah karena undangan sudah disebar dan selanjutnya ia mengikuti suami yang bekerja di Gorontalo. Setahun usia pernikahan, ia dianugerahi anak perempuan yang dilahirkan dengan cara operasi cesar. “Melahirkan cesar itu rupanya meninggalkan luka tersendiri. Serasa bukan ibu yang sempurna,” ia membatin. Pilihan cesar saat itu karena menurut dokter pinggulnya kecil, rawan jika dipaksakan secara normal.

“Saya niatkan jika kelak dikaruniai anak lagi. Maka saya harus berjuang supaya melahirkan normal,” tekadnya. Dua tahun di Gorontalo, ia memutuskan pulang ke Makassar setelah membeli rumah. Pertaruhan dimulai setelah ia hamil anak kedua. Jauh dari suami tentu memunculkan khawatir tak terjabarkan. Ia lalui sendiri karena suami juga berada di dua pilihan, antara mendampingi istri di masa kehamilan tua atau tetap bekerja memastikan ekonomi keluarga berjalan normal.

Karena sudah diniatkan sejak awal, Echy rajin melakukan tukar pendapat dengan seseorang yang dianggap mampu memberinya keyakinan mengenai melahirkan normal. Bahkan menjalin konsultasi dengan dr. Reza Gunawan, ahli hypnobirthing. Di tapak itu, ia masih seorang diri mengasuh anak pertama dengan segala aktivitasnya. Apa yang dilakukannya ini sengaja tak disampaikan pada suami. Ia tak ingin suaminya turut mengaduk emosi mengenai keberadaannya. 

Echy memegang teguh prinsip kalau suami harus tenang menjalani rutinitas kerja, apalagi sang suami di rantau. Ia meneguhkan dirinya sebagai perempuan Bugis yang kokoh bagai karang ditinggal jauh suami mencari nafkah.

Dan, ia melewati proses melahirkan normal dengan baik. Ia berjuang selama empat hari di rumah sebelum ke rumah sakit Siloam Makassar. “Saya melahirkan anak kedua Jumat malam, 14 Agustus 2015, kira-kira pukul 20.20 Wib. Begitu anak saya lahir, tak lama Nagita Slavina, istri Raffi Ahmad, juga melahirkan,” pungkasnya.

Suaminya heran mendengar kabar baik itu. Saking herannya, ia memberinya hadiah berupa kendaraan roda empat. Satu hal yang tak disangka oleh Echy kalau sang suami bakal segembira itu. Setelah berhasil melewati masa itu, ia sempat ingin membuat blog mengenai Varginal Birth After Cesarean (VBAC) sebagai upaya berbagi tips dan pengalaman sesama perempuan yang sebelumnya melahirkan cesar kemudian menjalani persalinan normal. Hingga kini, impiannya itu masih dipendam dan berusaha diwujudkan sebagai ruang mengisi waktu di sela aktivitas mengurus bua hati.

Di usia empat tahun pernikahannya, ia kukuh sebagai ibu rumah tangga yang mengasuh dua anak, semuanya perempuan, Insyirah Janeeta Ihsan dan Indira Khairani Ihsan dijalaninya dengan ikhlas. Ijazah sudah ia simpan dengan sadar kalau semuanya akan berjalan baik-baik saja meski tidak melanjutkan karier sebagai arsitek. 

“Menjalani hidup selaku ibu rumah tangga memang tidak gampang,” tuturnya. Ia menolak berkarier di dunia kerja sebagai upaya melepas rutinitas mengurus anak yang bisa saja ditalangi pengasuh anak. Sebab baginya, ingin memastikan anak-anaknya tumbuh di tangannya sendiri sebagaimana dulu ia dirawat oleh ibunya.

Ibu rumah tangga bukanlah jalan mengurung diri di rumah. Ruang bersosialisasi tetap bisa dijalankan. Memang perlu pandai membahagiakan diri ketika suami jauh. “Selama empat tahun berumah tangga, saya memosisikan diri sebagai perencana keuangan keluarga. Menjadi istri yang luwes agar suami nyaman menjalankan tugas,” ujarnya lagi.

Begitulah. Meresapi kembali ketangguhannya menjalani hidup, sudah ditempah sejak SMU hingga aktif di Mapala ketika kuliah. Kamus hidupnya sudah penuh dengan tantangan. Sisa ia menafsirkannya ke dalam bentuk ruang sebagai tempat menjalankan roda hidup.

*
Pangkep, 6 Oktober 2016

Komentar

Postingan Populer