Siapa Mengingat Kita, Catatan yang Lupa Buat PPIM (Bagian 12)
Lelaki
Berkacamata Itu
Saya tidak ingat pasti kapan mulai akrab
dengan Awal. Di beberapa pertemuan PPIM yang saya ikuti ia jarang terlihat. Jika
ada hal tak terlupakan tentangnya, itu terjadi di pelataran Monumen Mandala.
Kerumunan pelajar dari pelbagai sekolah sudah berkumpul. Semuanya sudah bersiap
mengikuti longmarch aksi damai
menentang invasi militer AS ke Irak.
Waktu terus bergerak dan tak tahu harus
berbuat apa memulainya. Sudah terdengar suara pelajar menanti kapan dimulai
bergerak. Mereka jenuh duduk saja. Mereka tak tak sabar lagi terlibat dalam
peristiwa yang mungkin, tak pernah lagi diwujudkan pelajar di belakang hari. Meredam
kebosanan itu, pelajar dipinta berbaris sesuai asal sekolah masing-masing.
Saya juga tidak tahu pasti apa yang
ditunggu. Saya merasakan keherenan tersendiri menyaksikan jumlah pelajar yang
ada. Sungguh di luar ekspektasi. Jika tidak keliru, yang membuat bingung adalah,
rute perjalanan yang akan ditempuh. Aksi turun ke jalan ini diharapkan tidak
menganggu arus lalu lintas. Lah, kalau massanya berjibun begini bagaimana bisa
tidak memacetkan laju kendaraan.
Anton mengajak menentukan rute saat itu
juga. Sesaat Alwia muncul, Ipa, Jamil, Bim, dan tentunya teman-teman yang lain.
Saya lupa siapa saja yang turut terlibat dalam breefing mendadak. Tidak ada yang dapat memberikan kepastian rute
yang bakal dilalui. Tentu saja tidak. Pasalnya, tidak ada yang hafal betul
lokasi di situ.
Sampai akhirnya terdengar suara. Seorang
pelajar berkacamata bernampilan rapi. Tas punggung melekat di punggungya. Dalam
hati, siapa anak ini, berani sekali mencampuri perbincangan. Tetapi, semuanya
diam dan, pelajar itulah yang menjelaskan nama jalan apa saja yang akan
dilalui.
Itulah kali pertama melihat Awal,
pelajar berkacamata dan berbadan tambun. Walau semua pelajar di PPIM sudah
kenal satu sama lain. Tetap saja terbangun jalinan khusus sesama pelajar. Misalnya
saja, Awal membangun hubungan khusus dengan Anton. Keduanya serasa dua sisi
mata uang. Tak terpisahkan. Meski mereka berbeda sekolah. Mungkin karena
keduanya mengikuti kelas bimbingan belajar di Gama College. Keduanya menabung
rahasia masing-masing sebagaimana yang terjadi pada teman-teman yang lain.
*
Awaluddin L, atau yang diakrabi Awal. Lahir
di kota berjuluk Bandar Madani, Kotamadya Pare Pare di tahun 1984. Ia anak
tunggal dari pasangan Lachamuddin Dandeng dan Hj. Arwati Adama. Dibesarkan
dalam kultur keluarga religius. Sejak kecil dididik berdisiplin dan bersikap
santun dalam pergaulan.
Di usia tiga tahun enam bulan, ia ditinggal
pergi sang ayah untuk selamanya. “Ayah saya adalah panutan dalam keluarga besar
yang berada di Polewali Mandar. Ibu sayalah yang sering menceritakan di waktu
tertentu,” kenangnya.
Lewat ibunya pula, ia mengetahui kalau
ayahnya mengenyam pendidikan di Akademi Pemerintahan Dalam Negeri dan menjabat
Bagian Protokol Kantor Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan. “Ayah saya meregang
nyawa karena kecelakaan. Beliau tak sengaja memegang kabel listrik bertegangan
tinggi.”
Kehangatan ayah tidak mengiringi
perkembangannya. Bahkan, sangat sedikit momen indah yang dapat diingatnya. Usia
tiga tahun belumlah cukup menampung memori. Meski begitu, ia beruntung dikasihi
ibu yang sekaligus menjelma sebagai ayah baginya. Berkat dorongan ibu, ia menuntaskan studi hingga selesai kuliah.
Sejak kecil, Awal tumbuh seiring
berubahnya wajah kota Makassar. Awal kecil bermain dan bernyanyi di Taman Kanak
Merpati Pos lalu melangkah ke SD Inpres Tamamaung, Kecamatan Panakkukang. Sejak
kelas 5, ia sudah aktif di Pramuka. Bekal yang terus menuntunnya mencintai
organisasi.
Lulus di tahun 1997, ia berhasil meraih
satu bangku di sekolah favorit, SLTP Negeri 8 Makassar. Lagi, ia aktif di
Pramuka sejak mula dan terlibat sebagai pengurus OSIS ketika menginjak kelas
dua. Pada saat kelas tiga, bersama teman-temannya mengikuti Diklat Dasar PMR. Ia juga tercatat sebagai penggagas
pertama berdirinya organisasi Palang Merah Remaja Madya 08.
Setamat SLTP, ia harus kembali ke tanah
kelahirannya di Pare-Pare melanjutkan sekolah. Di sana ia diterima di SMA
Negeri 1. Namun tak lama berselang, selepas catur wulang pertama. Ia kembali ke
Makassar dan masuk di SMA Negeri 16. Meski berbadan tambun, ia tak kalah gesit
dengan pelajar yang lain. Kembali ia menemukan keasyikan meluangkan waktu di
organisasi.
Namanya tercatat menjadi anggota
Paskibra, OSIS, dan PMR Wira Smunels. Di akhir masa sekolah, ia berkhidmat di
PPIM. “Saya beruntung bisa berjumpa dengan Anton, Bim. Alwia, Okta, Yuni, Irex,
Rini, Ayu, Ari, Arief, Anas, Echy, Amma, Arin, Fika, Yuki, Jamil, dan
teman-teman pelajar yang lain. Kebanggaan tersendiri pula bisa dibimbing
langsung sama Kak Iqbal, Iful, Marwan, dan Irfan,” terangnya.
Tahun 2003, ia lulus dengan predikat
terbaik ke dua dengan nilai UAN tertinggi di sekolahnya. Sayang, presetasi itu tidak
menjadi jaminan lulus di sejumlah sekolah Ikatan Dinas dan Perguruan Tinggi
Negeri (PTN), baik yang ada di Jawa maupun di Sulawesi Selatan. “Saya sempat
putus asa. Ibu saya lalu meyakinkan kalau sekolah negeri bukanlah tujuan utama.
Intinya kehidupan dapat berguna bagi masyarakat.”
Dorongan sang ibu membuatnya tidak
meratapi kegagalan. Ia lalu memilih mendaftar di Universitas Muslim Indonesia
(UMI) dan bebas tes di Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM). Situasi kampus yang
dijumpainya berkebalikan dengan impiannya. Banyak mahasiswa justru terjebak
pada gaya hidup hedonis. Tidak ada pilihan lain, ia tak mungkin lagi pindah
kampus hanya karena situasi itu. Ia bertahan di kampus perjuangan, label yang
disematkan pada UMI sejak peristiwa AMARAH (April Makassar Berdarah) tahun
1996.
Selama kuliah di UMI, tentu saja ia
aktif di beberapa organisasi, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Makassar
dipilih sebagai ruang belajar di luar kampus. Di internal kampus, ia mencurahkan
waktu di Senat FKM UMI dan menduduki jabatan srategis. Ia juga menggerakkan
Socrealthy, Study Club Angkatan 2003. Di sini ia dipercaya sebagai Dewan Pembina.
Sebelum menuntaskan studi, menjabat Ketua Umum Majelis Perwakilan Mahasiswa FKM
UMI Periode 2006-2007.
Satu titik balik dalam hidupnya
diperoleh ketika mengikuti Pencerahan Kalbu di Pondok Pesantren Darul Mukhlisin,
Padang Lampe, Pangkep. Di UMI memang tengah digalakkan program itu dan menjadi
kewajiban bagi mahasiswa.
Di sanalah ia merenungi kembali makna
hidup. Di sana pula ia berjumpa kembali dengan karibnya di PPIM, Bambang, yang
juga melanjutkan kuliah di UMI. Keduanya lalu mengajak teman-temannya yang lain
membentuk wadah alumni Pencerahan Kalbu. Forum Halaqah Islamiyah, nama forum itu.
Walau berjubel kegiatan di organisasi, Awal
masih mampu meraih presetasi akademik sebagai mahasiswa berprestasi di tahun
2006. Paduan antara prestasi akademik dengan pengalaman berorganisasi, ia
selalu disepakati sebagai pemimpin. Sepotong jejak itu dijalani ketika
menjalani Kuliah Pengalaman Belajar Lapangan di Kecamatan Galesong Selatan, Kabupaten
Takalar di tahun 2005-2006. Ia dipercaya selaku koordinator kecamatan.
Begitu pula saat KKN Profesi di tahun
2007, kembali ditunjuk sebagai Koordinator Puskesmas Minasa Upa. Tidak sampai
di situ, selama menjalani proses kuliah, dirinya selalu mewakili mahasiswa FKM mendampingi
dosen tingkat fakultas maupun univeritas di pelbagai penelitian di Sulawesi Selatan
dan Sulawesi Barat.
Kecintaanya dengan dunia kesehatan
masyarakat terus digeluti, ia aktif di Lembaga Kesehatan Mahasiswa Islam (LKMI)
cabang Makassar hingga menjadi pengurus besar BAKORNAS LKMI. Di lembaga ini ia
banyak mendapat pengetahuan tentang kesehatan yang saling menunjang dengan
pengetahuan disiplin ilmu yang dimiliki. Dari tahun 2006 hingga 2008, dipercaya
sebagai sekertaris di Muda Berdaya Yayasan Hati Kita Makassar, lembaga yang
bergerak pada konsentrasi penanganan Narkoba dan HIV/AIDS.
Dalam fase hidupnya, kembali ia harus
menjumpai titik kegagalan. Serasa mengulang roda nasib setamat SMA. Usai menuntaskan
studi di kampus, ia berusaha mengikuti jejak mendiang ayahnya menjalani hidup
selaku abdi negara. Tetapi, sekali lagi, jalur ke sana tidak bersambut. Saat itulah
pesan ibunya kembali terngiang: “Kehidupan harus berguna bagi masyarakat”.
Berkat pengalaman organisasi dan keilmuan
yang dikuasai. Ia membulatkan tekad memenuhi wawancara di Komisi Penanggulangan
AIDS Provinsi Sulawesi Selatan pada tahun 2009. Dan, ia memenuhi kualifikasi sebagai Pengelola
Monitoring dan Evaluasi hingga saat ini. “Saya bersyukur dan tidak sia-sia
menjalani proses kuliah di UMI. Pengetahuan dan pengalaman yang saya dapatkan menjadi
penunjuk jalan di mana saya harus melangkah mengabdikan hidup bagi masyarakat,”
pungkasnya.
Di lembaga itulah ia mengabdikan ilmu dan menghibahkan waktu
hidupnya hingga tahun-tahun yang akan datang. Baginya, saat ini HIV dan AIDS
adalah sebuah masalah yang tumbuh di masyarakat. Selama di KPA (Komisi Penanggulangan Aids) ia mengetahui
lebaih detail mengenai estimasi pemetaan populasi. Hal itu mengantarnya di tahun
2014 lalu menjadi koordinator Pelaksana Survei Cepat Perilaku Pengguna Napza
Suntik.
Berangkat dari pengalaman di penanggulangan HIV, ia juga banyak
dilibatkan dalam kegiatan tingkat nasional dan di daerah terkait pengembangan
KPA Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan. Jiwa berorganisasinya tetap saja
tumbuh. Bersama sejawatnya, ia membentuk Monever’s, merupakan forum para
pengelola monitoring dan evaluasi KPA se Indonesia yang setiap tahun bertemu
untuk memantau kemajuan penanggulangan HIV. Di Monever’s ini, ia diberi amanah
sebagai wakil ketua untuk merangkul pengelola di 34 provinsi di Indonesia.
Sudah sepuluh tahun ia
bergerak di isu ini. Ia mengakui kalau banyak kalangan akademisi meliriknya
untuk dengar pendapat mengenai ilmu dan pengalaman. Ia kemudian menjadi asisten
dosen untuk membawakan mata kuliah HIV dan AIDS di beberapa universitas di kota
Makassar.
Lelaki tambun berkacamata itu telah banyak
memunguti pengalaman dalam hidupnya. Meski begitu, satu fase kehidupan yang
dilalui di Padang Lampe tegas menjadi penuntun. “Satu hal yang tidak pernah saya
lupakan. Kita harus bersyukur atas apa yang diberikan serta senantiasa berzikir.
Barangsiapa bersyukur, niscaya bertambah nikmatku. Tetapi, barangsiapa yang
kufur, maka azab Allah sangat pedih,” pesannya.
*
Pangkep, 22 September
2016
Komentar