Tikus dalam Dua Wajah





Tulisan Agus Dermawan T di Kompas (30/1) berjudul Hikayat Tikus, menyegarkan pemahaman menyangkut tikus yang sejauh ini menjadi predikat bagi manusia yang gemar mencuri.

Perkembangan selanjutnya, tikus menjadi simbol. Malah, tikus sudah bergerak menjadi bahasa itu sendiri. Perhatikanlah warta melalui teks bergerak di televisi, di sana dihimbau kepada warga mengenai adanya tikus-tikus bandara. Mengacu pada kejadian pencurian yang dilakukan oleh petugas di salah satu maskapai.

Seakan kontras dengan beberapa riwayat di beberapa daerah di negeri ini. Tikus dianggap binatang pandai sehingga disematkan penamaan yang baik sebagai bentuk penghormatan. Agus menceritakan ulang dalam catatannya, adat tradisional di Bali, tikus disebut Jero Ketut yang berarti ‘si bungsu keluarga sendiri’. Tradisionalisme di Jawa menamainya Den Bagus, berarti: lelaki tampan.

Tikus memang menjadi musuh petani ketika musim panen tiba. Segera setelah itu, jalan yang ditempuh di masa lalu, ialah melakukan acara doa menghormati kawanan tikus agar menjauh dari pemukiman warga. Masih dari tradisi Bali, di Tabanan, bila ditemukan tikus mati, dikumpulkan kemudian dikremasi.

Namun, entah mengapa tikus sudah terlanjur dianggap simbol koruptor. Iwan Falls, penyanyi balada legendaris, mengawetkannya ke tembang Tikus-Tikus Kantor. Itu bentuk kritik yang marah terhadap perilaku pegawai yang menilep uang kantor di tempat mereka bekerja. Secara sadar, di lirik: “…tikus tahu sang kucing lapar, kasih roti jalan pun lancar…” merupakan pengakuan kalau tabiat tikus merupakan kecerdikan. Mempunyai kuasa dalam mengatur strategi. Dan, itu merupakan kecerdasan membaca situasi.

Mencermati adaptasi binatang ke dalam karya popular. Umpamanya saja, kartunis Walt Disney menghidupkan tokoh Mickey Mouse kemudian menjadi idola tontonan anak-anak di belahan dunia, tentu perlu diresapi pemilihan karakter tikus tersebut. Di serial komik Teenage Mutant Ninja Turtles, akrab dikenali Kura-Kura Ninja, empat kawanan kura-kura berguru pada Splinter, sosok tikus yang menguasai bela diri cara pikir filosofis. Menjadi pertanyaan yang perlu dicarikan jawaban.

Di Eropa, tepatnya di Jerman dan kawasan Baltik berkembang dongeng tentang seorang peniup suling yang menggiring tikus. Rattenfanger von Hameln, judul dongeng itu. Dikisahkan sebuah peristiwa di kota Hamelin sedang diserang hama tikus. Pemangku kebijakan kota tak kuasa mengantisipasi serangan. Tidak ada yang bisa dilakukan selain pasrah dan membiarkan warga berusaha semampunya sendiri melawan tikus-tikus.

Hingga kemudian muncullah lelaki menghadap Wali Kota kalau dirinya bisa mengusir tikus. Dengan catatan, lelaki itu diupah dengan perjanjian yang telah disepakati. Usai melakukan konsolidasi dengan pejabat yang lain, lahirlah keputusan politik. Wali Kota sepakat dengan tawaran lelaki misterius tersebut.

Pada waktu yang dirasa tepat, lelaki itu mulai meniup serulingnya. Syahdan, gerombolan tikus menghampirinya dan menuruti perintah agar meninggalkan kota Hamelin. Karena di kota terdapat sungai Weser, lelaki itu meminta kawanan tikus berenang saja agar tidak kelelalahn berjalan.

Usai menunaikan tugas dengan sempurna. Kembalilah si lelaki menghadap ke Wali Kota meminta upah yang telah disepakati. Namun, gaji yang diperoleh tidak sesuai dengan perjanjian awal. Si lelaki sadar kalau sebagian telah dikorupsi. Ia marah dan merancang aksi balas dendam.

Di hari perayaan Santo Yohanes. Lelaki kembali meniup serulingnya dan dihampiri ratusan anak-anak. Selanjutnya ia berjalan menuju hutan yang terus diikuti anak-anak yang terpesona dengan bunyi seruling. Dalam perjalanan terdapat tiga anak mengalami musibah dan tidak bisa melanjutkan perjalanan. Ketiganya mengalami kelumpuhan, tuli, dan buta. Merekalah yang menerangkan kesaksian kalau ratusan anak-anak mengikuti lelaki peniup seruling.

Di akhir dongeng, 100 anak-anak yang tidak kembali itu hidup bahagia di hutan ditemani tikus-tikus lucu. Sedangkan Wali Kota dan pejabat yang lain mendapat tugas mencari anak-anak hilang itu.

Teringat ungkapan orang-orang di kampung saya, di beberapa kesempatan ketika para petani duduk bercerita, ia berbagi cara dalam mengatasi hama tikus di sawah. Di tengah kejengkelan, mereka tetap ceria menceritakan tingkah tikus bertindak tanpa putus inovasi. Setelah lubang persembunyiannya ditutup, esoknya akan muncul lagi lubang yang baru. Sebenarnya, tikus tidaklah memakan padi begitu banyak karena itu kehadirannya hanya dibatasi saja. Sebab, bila tidak ada tikus, hama yang lain akan muncul. Saya menyadarinya kalau petani sedang membahas adanya rantai makanan yang terjadi.

Di sawah, kita tahu kalau ular juga mencari hidup. Jika ular dibasmi hingga tak tersisa. Maka tikus akan merajalela. Itulah mengapa petani membiarkan ular tetap hidup jika dijumpai sedang ada di sawah, ular hanya diusir saja agar tidak menganggu petani yang sedang menanam atau lagi panen. Hal yang sama diperlakukan pada tikus. Kehadirannya tetap dibutuhkan sebagai predator bagi satwa perusak padi lainnya.

Hal menarik, berbeda dengan ular atau satwa yang lain. Tikus memeroleh sebutan khusus. Padanya dilabelkan sapaan yang biasa dipakai manusia. Yakni penyebutan ‘Daeng’ orang-orang menyebutnya Daeng Makkidong. Pamali menyebut balesu, bahasa Bugis yang berarti tikus. Tikus akan semakin menggila jika tidak didekati dengan cara halus. Penyebutan Daeng Makkidong merupakan sapaan halus yang secara harfiah merujuk pada ekornya (kidong). Jadi Daeng Makkidong berarti orang yang memiliki ekor panjang.

Manusia berdasarkan kuasa pengetahuan yang dimiliki, mengetahui adaptasi karakter satwa atau binatang untuk melekatkannya pada tingkah manusia. Padatnya kendaraan di jalan kota menuntut manusia untuk menembus kesemrawutan lalu lintas agar segera sampai ke tempat tujuan. Lahirnya istilah jalan tikus sebagai tindakan menembus jalan kecil yang jarang dilalui orang. Bukankah tikus dalam dunianya sudah menjadikan pola bertindak demikian sebagai peta dalam hidupnya. Dan, itulah inspirasi dari tikus bagi manusia dalam menembus keterbatasan. Perangkat komputer yang digunakan juga sulit dilespakan dari benda yang disebut mouse.

Kembali mengutip Agus, ia menawarkan sebutan lain bagi para koruptor, yaitu kecoak. Mengapa kecoak, entahlah, tidak dijelaskan mendetail. Tetapi, mengingat cerita Gregor Samsa yang menemukan dirinya berubah menjadi seekor serangga, meski Kafka, penggubah cerita itu di dalam novelnya, Metamorfosis, tidak memberikan spesifikasi jenis serangga dimaksud. Namun, terjemahan yang memungkinkan dipahami, kecoak adalah perubahan wujud itu. 

Setelahnya, Samsa perlahan dilupakan, ayahnya bahkan hendak membunuhnya karena menjadi aib dan tidak lagi menguntungkan. Padahal, Samsa sebelum berubah bentuk, dialah tulang pungung keluarga. Ia bekerja banting tulang agar kehidupan ibu, ayah, dan adiknya tercukupi.

Kecoak adalah serangga yang banyak dihindari manusia, padahal wujudnya tidaklah menyeramkan amat. Tetapi, reaksi ketika melihatnya di toilet atau di kasur, rasa ingin menghabisinya membuncah.   

***
Pangkep-Makassar, 15 Februari 2016




Komentar

Postingan Populer