Zidane, di Antara Bunda Teresa dan Pembunuh Berantai


12 Juli 1998, saya turut begadang bersama teman-teman menunggu perhelatan final Piala Dunia di rumah seorang pemain sepak bola terbaik di kampung. Hamka Syamsuddin. Dari puluhan orang, saya yang paling muda, 14 tahun.

Semua menjagokan Brasil karena tim itulah yang paling banyak memenangkan tropi sepakbola paling bergengsi sejagad. Saya diam saja dan tidak banyak bicara. Segala komentar yang keluar dari mulut yang semuanya pemain sepakbola di kampung mengiringi duel dua tim terus menggema. Sesekali, semuanya diam jika ada peluang menciptakan gol. Mata fokus menatap layar kaca berukuran 14 Inc.

Dari dengar-dengar itulah, nama Zidane dan Ronaldo menancap di benak. Di laga final, Ronaldo tidak tampil, posisinya diisi Bebeto, tandem mautnya. Saya tidak begitu paham dengan taktik yang dibicarakan. Sekali lagi, saya lebih banyak diam dan lebih dalam mendengar. Itu pilihan terbaik melewati gelaran Piala Dunia 1998 sebagai piala dunia pertama bagiku. Selaku penonton, tentu saja.

Dua tahun kemudian. Gelaran Piala Eropa bergulir di tahun 2000. Di tahun itu saya sudah rajin membaca Tabloid Bola di rumah Amiruddin, masih, salah satu pesepak bola di kampung. Dalam penuturannya, Ruddin, demikian ia disapa, memperoleh barang mewah itu dari temannya yang juga pesepakbola jika sekali waktu ia bertandang ke rumahnya di Makassar. Tabloid yang ia peroleh bukanlah edisi terbaru melainkan stok lama. Tetapi bagi Ruddin, stok lama maupun baru sama saja. Di kampung sulit memperoleh bacaan seputar bola. Dan, dari sanalah saya memperoleh banyak informasi menyangkut sepak bola.

Dari edisi lama, saya tahu kalau Ronaldo bermain di Intenazionale Milan dan Zidane menggunakan kostum nomor 21 di Juventus. Di tahun itu, liga yang paling ditunggu beritanya hanya Serie A Italia.

Di sisa sore selepas bermain bola di lapangan, mencuri dengar perbincangan pemain bola dewasa merupakan tambahan rutinitas. Hanya duduk-duduk saja melepas lelah sebelum magrib mengurung dan semuanya beranjak ke rumah masing-masing.

Sumber Foto di Sini
Jadwal Piala Eropa sudah beredar dan taruhan mulai memanas. Di antara pemain sepakbola di kampung membuat undian menjagokan tim idola masing-masing menjadi juara. Metodenya, jumlah dana taruhan dikumpul berdasar nominal yang disepekati. Siapa pemenangnya, ditentukan oleh tim mana yang menjuarai Piala Eropa. Jika dalam prosesnya, ada seorang menjagokan tim A, misalnya, namun gugur di babak penyisihan. Maka sudah pasti ia sudah kalah.

Berdasarkan curi dengar dari pemain bola dewasa di hari-hari sepanjang perhelatan Piala Eropa, ia sangat yakin dan menegaskan kalau Prancis bakal juara. Ia mengajukan penjelasan taktikal. Tim Ayam Jantan, julukan Prancis, bermain sangat atraktif, semua pemain bergerak dinamis membangun serangan dan bertahan.

Materi pemain memang tidak jauh berbeda ketika menundukkan Brasil 3-0 di laga final Piala Dunia 1998. Zidane yang menjadi buah bibir menjadi perbincangan dan sebisa mungkin mengikuti caranya mengocek bola. Saya dan teman-teman sejawat tidak mau ketinggalan memeragakan kaki kanan menginjak bola sembari melompat memutar badan kemudian kaki kiri menggantikan kaki sebelumnya untuk menarik bola guna melewati atau mengelabui lawan sebagaimana Zidane sering melakukannya.

Daurus, nama pemain sepakbola di kampung saya itu, yang meramalkan Prancis akan mengawinkan gelar juara Piala Dunia dengan Piala Eropa. Para pesepakbola yang beradu sewa menyingkirkan ramalan itu. Kalah atau menang bukan soal. Intinya tim idola tetaplah idola walau dikalah berkali-kali. Selanjutnya sejarah mencatat, Prancis membuktikan kalau birunya Ayam Jantan lebih biru ketimbang Azzuri, julukan tim Italia. Prancis seolah berucap, kalau Italia sebaiknya mengenakan kaus warna hijau saja. Bukankah di benderanya biru memang tidak ada.

Meski sebuah tim sepakbola adalah perkumpulan lebih dari satu orang untuk dikatakan tim. Seseorang yang menonjol dari sebelas pemain yang berlaga akan tetap dicari, dirindukan, dan dijadikan peta dalam menempuh perjalanan di sepenjang pertandingan. Dan, Zidane pemain yang memeroleh keistimewaan itu di tim Prancis.

Di tahun 2004, Zidane berusia 32 tahun. Angka yang menunjukkan bukan lagi usia emas seorang pesepakbola. Mundurnya Zidane bukan berarti Prancis kehilangan segalanya. Pemain hebat bermunculan mencari bentuk. Hanya saja, setelah dua gelar bergengsi yang telah direbut di era Zidane, Prancis memulai lagi proses memenangkan tropi. Di tahun 2005, umpamanya, para pesepakbola kembali merintis jalan menuju perhelatan akbar Piala Dunia di Jerman. Sialnya, Prancis terseok menjalani laga kualifikasi. Melihat itu, Zidane memutuskan kembali ke timnas.

Kembalinya Zidane di usia senjanya, menyegarkan kembali ingatan kita perihal umur tua bukanlah jalan menuju akhir. Piala Dunia 2006 mencatat pertarungan luka lama dua tim biru di benua biru. Prancis kembali bersua dengan Italia. Brengseknya, Materazzi, bek Italia, melakukan provokasi yang membuat Zidane merasa perlu melakukan perlawanan ketika pertandingan masih berlangsug.

Kontak fisik yang dilakukan Zidane ke Materazzi bukan hal pertama semasa ia bermain. Ada banyak kejadian ketika ia perlu memukul atau menendang lawan main. Di Piala Dunia 1998, ia dikartu merah karena gerakan kakinya sengaja menginjak pemain Arab Saudi. Kala bermain di Juventus, sikap kasarya juga sering muncul. Dan, menjalani laga El Clasico bersama Real Madrid, terlihat jelas dengan tangannya mencotok mulut Luis Enrique, kini pelatih Barcelona.

Kadang, Zidane melampaui ekspektasi jika melakukan hal brutal di luar nalar. Ia memang lebih banyak diam, tidak mengumbar kata-kata di depan wasit atau pemain yang membuatnya murka. Langsung saja ia membalas dengan fisik. Di sisi lain, ia sungguh santun. Jarang kita mendengar sikap brutal di luar lapangan. Usai menjalani pertandingan terakhir bersama El Real, ia bertukar kaus dengan Requelme, gelandang elegan asal Argentina. Keduanya berpelukan dan saling melempar senyum. Kedua pemain berposisi yang sama itu tahu kalau baru saja menjalankan tugas selaku pemikir di lapangan. Musisi senior Prancis, Jean Louis Murat, melukiskan Zidane tesenyum seperti Bunda Teresa dan menyeringai layaknya pembunuh berantai.

Kehadirannya di tim dianggap sebagai penyejuk. Striker merasa lebih mudah mencetak gol dan para bek tidak perlu bersusah payah menghalau bola. Dengan penguasaan bola mumpuni, seperdua lapangan dijejelajahi guna memastikan tim lawan kalau bola masih melekat di kakinya. “Zidane berasal dari planet lain. Ketika Zidane masuk ke lapangan, sepuluh pemain lain tiba-tiba menjadi lebih baik. Sesederhana itu.” Pengakuan Zlatan Ibrahimović

Setelahnya, tidak ada lagi Zidane di sepanjang kompetisi La Liga di musim 2006-2007. 7 April di tahun itu merupakan laga emosional yang menjadi penampilan terakhir Zizou, julukannya, mengenakan kostum Real Madrid kala menjamu Villareal. Selesailah sudah petualangan Zidane selaku pesepakbola di kompetisi resmi. Selanjutnya, ia hanya melakoni laga amal sesama pemain veteran.

Kini, mitos Zidane hidup kembali. Menggantikan Benitez selaku pelatih kepala Real Madrid. Sebagai pemain ketika membela Los Blancos, tendangan voli kaki kirinya ke gawang Leverkusen di final Piala Champion Eropa tahun 2002 megantarkan Madrid merengkuh tropi berkuping besar untuk kesembilan kalinya.

Menggasak Devertivo La Coruna 5-0 di pertandingan perdananya sebagai pelatih, menjadi langkah awal menelusuri sisa musim di mana Barcelona dan Atletico Madrid menjadi pesaing berat.

***

Makassar, 11 Januari 2016





Komentar

Postingan Populer