Membicarakan Kota seperti Membincang tentang Cinta
Sumber Foto di sini |
Beranjak dari jalan Sultan Alauddin
selepas magrib menuju gedung kesenian Societeit de Harmonie di jalan Riburane. Jalanan
yang kulintasi nampak lengan saja. Sungguh jauh dari kemacetan di beberapa titik
yang selama ini kuakrabi.
Sepeda motor hanya kuhentikan jika
lampu merah menyala. Mengalami hal seperti ini di jalan kota Makassar sudah
menjadi keajaiban tersendiri. Tetapi, hal demikian tidak akan berlangsung lama.
Mungkin saja, warga kota kelas menengah ke atas singgah makan di restoran cepat
saji sehingga kendaraan roda empat tidak banyak mengaspal. Dugaan yang lain,
pengguna kendaraan roda dua lagi antre mengisi bensin di SPBU.
Saya memastikan tiba di halaman gedung
kesenian ketika orang-orang yang memiliki niat yang sama memarkir kendaraan
mereka. Senin,28 Desember, hari terakhir pertunjukan Kala Teater yang
mementaskan tiga reportoar yang dirangkum ke dalam tema City In Theatre
Project. Masing-masing: Jalan Raya Petaka, Sampah dan Kegaduhan Kata-Kata, dan
Ancaman di Musim Hujan.
Info pertunjukan ini kuperoleh di
laman Facebook sejak seminggu lalu. Lama sekali baru bisa menonton teater, jika
kuingat, terjadi tahun 2013 di gelaran Makassar Art Day. Saya sepakat kalau di
Makassar perlu diadakan pertunjukan teater secara rutin. Bukan cuma teater,
kegiatan seni yang lain juga perlu, seperti musik, sastra, rupa, film, dan yang
lain.
Mengapa perlu, karena itu akan menjadi
tontonan alternatif di tengah gempuran hiburan yang membonsai kesadaran.
Tontonan yang tidak membicarakan persolan yang kita hadapi sebagai warga kota.
Dari tiga reportoar, semuanya bagai
godam yang mengantam kepala lalu tumpah ke lantai dan membentuk koloni.
Tersortir dengan sendirinya ke dalam sikap dan perilaku yang selama ini
dilakukan. Bahwa kitalah yang tidak sabar di jalan raya dan memeragakan
layaknya pebalap di sirkuit menuju garis finis. Kita juga bagian dari korban
tilang dari polisi lalu lintas yang, dalam prosesnya muncul dialog dan
kesepakatan justru jauh dari edukasi agar orang tidak lagi melanggar aturan
berkendara.
Hem! Adakah dari kita bukan bagian
dari lahirnya sampah. Realitas ini bukanlah barang baru, tentu saja, sampah
lahir seiring aktivitas manusia. Menjadi bagian dari produktivitas,
pemandangan, kebiasaan, kegiatan ekonomi hingga dianggap sebagai masalah.
Situaasi kota yang dihadapi
menunjukkan kalau turunnya air ke bumi bukanlah berkah. Jika kebanyakan, bakal menjadi
derita bagi sebagian warga. Air menjadi musuh yang membawa segala nahas. Air
hujan kehilangan ruang untuk menjadi teman yang baik bagi warga. Tanah lapang
di Karebosi pun menolak menampungnya. Jika sudah demikian, jangan tanyakan lagi
pada got. Jalan raya dan area perumahan menjadi pelampiasan hingga hujan reda.
Berdasarkan catatan sustradara, Shinta
Febriany, naskah City in Theatre Project melibatkan sudut pandang masyarakat
yang direkam melalui pendekatan kuesioner dan wawancara dari 200 warga.
……Saya menggunakan modus penciptaan teater dokumenter
(yang disebut Sartre, filsuf Prancis, sebagai theatre of fact) untuk tiga
reportoar tersebut. Hasil riset, berita koran, video, rekaman, menjadi sumber
penciptaan karya yang kemudian direpresentasi ke atas panggung dengan
pertimbangan-pertimbangan estetis……
Penggalan catatan pengantar di atas
menunjukkan kalau proses kreatif yang dilakukan Shinta Febryani beserta pemain
dan kru yang terlibat secara sadar menempatkan kalau warga kota yang setiap
hari berjibaku dengan realitas yang dijalani termasuk kita semua yang
berdomisili atau pun sekadar berkunjung ke kota sudah tentu akrab dengan tiga
reportoar.
Paulo Freire, tokoh pendidik progresif
asal Brasil, memilah tiga varian kesadaran yang disebut magis, naïf, dan
kritis. Ditegaskan kembali, Kala Teater mengajak khalayak guna menetapkan
posisi di mana berdiri guna mengidentifikasi sikap (kesadaran).
Kembali meminjam kalimat Shinta di
catatan pengantar:
......Di posisi manakah kita berdiri?
Gerombolan warga yang melulu membicarakan kebodohan pemerintah? Atau,
sekelompok warga yang menyadari pentingnya melakukan aksi atas sejumlah
persoalan kota Makassar?
Tipologi kesadaran ala Freire,
menempatkan orang yang banyak tahu dan bicara seolah kritis tetapi sebatas
mencari kesalahan masihlah berkesadaran naïf. Bagi berkesadaran magis ialah
orang yang menganggap permasalahan sudah bagian dari takdir dan tidak bisa
diubah. Selanjutnya, kesadaran kritis melihat masalah sebagai tantangan yang
perlu diubah agar manusia terbebas dari lingkungan yang mengakibatkan manusia
terasing di lingkungannya.
Tiga rangkaian reportoar mengajak kita
melakukan refleksi kesadaran dalam merespons masalah perkotaan. Di akhir
pementasan, dilakukan dialog yang menampilkan M Nawir, penggiat gerakan
transformasi gerakan di kalangan rakyat miskin kota selaku narasumber yang
memberikan pengantar ulang terkait tiga reportoar.
Membicarakan tentang kota lengkap
dengan segala deritanya memang tidak pernah tuntas. Serupa membicarakan cinta
yang takkan pernah usai selama manusia masih ada. Posisinya, di mana kita
berpijak dan bagaimana memandangnya?
Melalui teater, sudah tentu sebatas
respons untuk bersuara. Kala Teater menetapkan posisi selaku kelompok dalam
masyarakat yang gelisah terhadap tiga permasalahan kota yang sudah menjadi
klise di masyarakat. Lebih dalam, M Nawir menuturkan kalau pertarungannya sudah
sampai pada level korporasi dengan pemerintah atau warga dengan korporasi dan
pemerintah kota terkait penentuan arah keputusan penataan kota. Lingkaran pertarungan
itulah yang bergulir. Sialnya, pemerintah kekurangan ruang dalam melakukan
proses rekonstruksi ulang penataan kota. Alasan inilah yang paling masuk akal
hingga pemerintah melakukan penggusuran. Mau tidak mau jalan pedang inilah yang
ditempuh.
“Jika kita mengamati dengan cermat
adegan di tiga reportoar, maka rekonstruksi kekerasan yang dihadapi warga kota,
sangatlah keras.” Ungkap M Nawir.
Para aktor dengan properti ban bekas,
tumpukan sampah, kemudian terjatuh hingga terpeleset di luar dari akting sudah
cukup membuktikan kepada kita kalau kehidupan di kota dengan dengan tiga tema
yang dibicarakan memang membuat kita jengah.
Tetapi, kehidupan di kota haruslah
tetap berjalan. Karena itulah di posisi mana kita berdiri dalam membicarakan
kota. Dan, yang terpenting, apakah dalam pembicaraan itu ada cinta.
***
Komentar