Tiada Oranye di Paris





Sumber

Judul di atas bukan plesetan atas buku Seno Gumira Adji Darma, Tiada Ojek di Paris. Ini menyangkut pertaruhan tim sepakbola sebuah negara yang dijuluki Tim Oranye, Belanda. Setelah kalah di pertandingan terkahir kualifikasi Piala Eropa 2016 dari Republik Ceko dengan sekor 3-2. Praktis, tidak ada lagi tiket menuju Paris, ibu kota Perancis di mana pertarungan tim nasional benua biru digelar.

Akhirnya, pesimisme Arjen Robben: “Kami sedih karena nasib tim bukan lagi kami yang tentukan” menemui wujudnya. Tiada oranye di Paris. Meskipun Belanda memenangkan laga terakhir dengan skor 100 kosong sekalipun, tetap saja bukan jaminan. Perbuatan paling keji, Belanda harus berdoa agar Turki kalah dari Eslandia. Mengapa, sebab itulah garansinya supaya Belanda mengikuti babak playoff merebutkan empat tiket tersisa.

Dalam sejarahnya, Belanda telah tiga kali gagal melangkah ke putaran final pertandingan besar, justru ketika dalam tim masih bercokol pemain hebat. Ruud Gullit, Frank Rijkaard, Marco van Basten harus memupus impian berlaga di Piala Dunia tahun 1986 di Meksiko. Patrick Kluivert, Denis Bergkamp, Jaap Stam, termasuk Clarence Seedorf dan si gimbal Edgar Davids tidak merumput di Jepang-Korsel kala Piala Dunia tahun 2002 digelar di dua negara itu. Dan kini, kembali, Belanda alpa di Perancis, seolah mengulang peristiwa 31 tahun silam ketika kota Paris tidak diwarnai lautan oranye di Piala Eropa 1984.

Belanda sebagaimana negara Eropa yang lain, memiliki pembibitan pemain muda yang apik sehingga tidak pernah kehabisan stok pemain hebat di zamannya masing-masing. Tim Oranye hari ini, yang gagal meraih tiket ke Perancis, masihlah sisa Piala Dunia tahun 2010 dan 2014. Tulang punggung tim ada pada Wesley Sneijder, Arjen Robben, Nigel de Jong, Robbin van Persie. Senior ini dipadukan dengan pemain muda bersinar di Piala Dunia 2014, Memphis Depay atau Daley Blind.

Berpijak pada statistik, mestinya Belanda melewati kualifikasi dengan baik-baik saja. Bukankah sisa fondasi tim selaku finalis di Piala Dunia tahun 2010 dan juara ketiga di Piala Dunia berikutnya, tahun 2014 masih berlaga. Tetapi, ada yang belum dapat dijawab oleh pelatih pengganti Louis van Gaal, Guus Hiddink yang, malah mundur usai menerima lima kekalahan dari sepuluh laga selama kualifikasi.

Melanjutkan sisa perjuangan, Danny Blind selaku asisten naik jabatan menemani pasukan Tim Oranye melewati hari-hari penuh teror. Belanda pincang dan tidak dapat menjalankan kerangka kerja Total Footbal sebangga-bangganya. Perlu diketahui kalau van Gaal menolak menggunakan pola menyerang klasik 4-3-3 dan lebih senang mengoptimalkan potensi setiap pemain dengan pola 5-3-2. Hasilnya, Belanda menambah catatan selaku juara tanpa trofi.

Legenda Belanda, Johan Cruyff, menyimpulkan kalau pencapaian di Brasil tidak dianalisis secara tepat, dan pelajaran tidak dipelajari. Sebenarnya apa yang ingin dipelajari dari Brasil. Belanda menempati urutan ketiga setelah mengalahkan tuan rumah 3-0. Cukupkah dikatakan kalau Belanda harusnya berjuang ke Perancis kemudian memasang target masuk empat besar saja. Tentunya tidak, Belanda yang alpa di tahun 1984 akhirya juara empat tahun kemudian di Piala Eropa tahun 1988 di Jeman Barat, Gullit dan van Basten menumbangkan Uni Sovyet dengan masing-masing sebiji gol. Itulah yang diingat Belanda selaku juara yang menjalankan Total Footbal sehormat-hormatnya.

Pelajaran yang tidak dipelajari, adalah peralihan skuat tim. Selepas Piala Dunia 2010, sejumlah punggawa menungundurkan diri dan dilanjutkan calon legenda yang lain. Giovanni van Bronckhorst dan Mark van Bommel mau tidak mau harus angkat kaki akibat seleksi alam, saat itu usianya sudah kepala tiga. Sedangkan John Heitinga yang mendapat kartu merah di partai puncak didepak van Gaal, juga faktor usia sehingga jajaran bek Belanda di Piala Dunia 2014 dijaga wajah baru.

Nah, lantas yang perlu dipelajari dari kritik Jhon Cruyff terletak di mana. Lumayan sulit diterjemahkan. Namun, jika merujuk pada dua gelaran piala dunia. Legenda Tim Oranye itu hendak mengatakan kalau perlu penyegeran di tubuh tim. Tidak perlu semuanya karena seeokor anak ayam butuh bimbingan induknya. Namun, bukankah semua tim melakukan metode yang sama. Perpaduan pemain senior dengan yunior. Sampai di sini, perlukah Belanda belajar pada Spanyol yang menampik penyerang karismatik Raúl González di Piala Eropa tahun 2008. Si Tua Bangka Luis Aragones bertaruh dengan memainkan penyerang muda 24 tahun Fernando Torres dan David Villa 27 tahun.

Sebenarnya kuota pemain muda di Belanda tidak jauh berbeda dengan Jerman dan Inggris. Artinya, skuat tim Jerman dan Inggris masih diisi pemain berkepala tiga dipadu dengan pemain berusia muda. Jika ukurannya sama, sebab apa Belanda gagal memaksimalkan kekuatan pemain senior dengan yunior.

Menggunakan pola 4-3-3 ataupun 5-3-2, Belanda tetap bergantung pada Robben. Sialnya, dua laga krusial di penyisihan, pemain yang bertumpu pada kaki kirinya itu absen akibat cedera. Memphis yang digadang sebagai suksesor kewalahan berkembang. Kelihatan sekali kalau lapangan tengah tidak mengalami koneksi secara teratur. Sneijder sepertinya kepayahan bila operannya langsung ke depan buntu. Biasanya ia punya ruang di sisi kiri yang ditempati Robben.

Kaus yang Tertukar

Sebagaimana Sneijder, van Persie tumbuh di Tim Oranye dengan bayang-bayang pesaing. Huntelaar, adalah penyerang langganan Belanda selain eks bomber Arsenal dan MU itu. Usia keduanya sama, kini 32 tahun, pembedanya, di hari-hari mudanya Huntelaar lebih banyak duduk di bangku cadangan Real Madrid hingga AC Milan ketika di waktu bersamaan van Persie telah menjadi tumpuan di Arsenal sebelum ke MU. Besar kemungkinan itulah alasan Huntelaar sebatas bayang yang setia duduk di bangku cadangan.

Di Tim Oranye, komposisi di Piala Dunia 2014, misalnya, Huntelaar memakai nomor 19 dan van Versie nomor 9. Situasinya jelas, nomor 9 pemain inti dan 19 hanyalah pelapis. Di pertandingan kualifikasi penggunaan nomor punggung kadang tidak begitu pakem. Menggunakan pendekatan semiotik, perubahan pemakai nomor punggung dapat dibaca perubahan situasi.

Filsuf asal Perancis, Roland Barthes, secara sederhana kajian semiotiknya dapat dijabarkan ke dalam dua kategori. Pertama, disebut Denotasi yang berarti makna sesungguhnya dari fenomena yang selama ini dilihat. Jadi, nomor 9 sangat identik dengan pemain berposisi penyerang. Sebelum van Persie, denotasi nomor 9 adalah Kluivert. Setelahnya barulah van Persie. Dan, di laga penyisihan melawan Ceko, nomor yang digunakan Huntelaar adalah 9 dan van Persie memakai kaus nomor 19.

Kembali menyambung kajian semiotik Barthes, setelah denotasi ada konotasi yang bermakna telah terjadi pergeseran namun tetap identik dengan tanda teresebut. Mengapa Huntelaar dan van Persie bertukar kaus. Memang di pertandingan kualifikasi sebagaimana disebutkan sebelumnya, penggunaan nomor punggung tidaklah pakem yang juga terjadi pada tim yang lain. Namun, konstruksi antara van Persie dan Huntelaar yang bermain secara bersamaan menunjukkan tegasnya pergeseran menyangkut ujung tombak, terlepas kemudian gol bunuh diri yang dilakukan van Persie.

Selain penyerang, bayang kembar juga terjadi di lini tengah antara Sneijder dengan Rafael van der Vaart. Usianya terpaut setahun, Vaart 32 tahun dan Sneijder 31 tahun. Di karier klub, Sneijder lebih dulu di Real Madrid (2007-2009) sebelum Vaart masuk di tahun 2008 hingga 2010.

Sneijder menemukan kecemerlangan bermainnya kala di Seri A berseragam Internationale Milan dan meraih trible winner di musim 2009-2010. Sedangkan Vaart usai tersisih dari Real Madrid, ia hanya bermain sebanyak 63 kali dengan 24 torehan gol dari tahun 2010 hingga 2012 di Tottenham Hotspur tanpa juara tentunya. Penampilan di Tim Oranye, sejak 2003, Sneijder telah mencatat 100 lebih dan Vaart yang lebih dulu bermain di tahun 2001 baru mencatat 93 caps.

Jelaslah data persaingan dua gelandang serang ini di Tim Oranye, adanya dua kekuatan yang hampir seimbang menjadi sandungan tersendiri bagi pelatih. Apakah ini nasib sial dua pemain dari generasi yang sama di mana salah satunya harus terlupakan. Persis di sinilah apa yang dialami pemain Belanda, nampaknya terjadi benturan generasi atau terpotongnya siklus pemakai baju oranye. 
***

Makassar, 16 Oktober 2015

Dimuat di PanditFootbal dengan sedikit editing dari redaksi media Sepakbola paling keren itu




Komentar

Postingan Populer